Ada dua alasan utama terjadinya perubahan iklim global, yaitu perubahan medan magnetik bumi dan gas rumah kaca (GRK) di lapisan bawah atmosfer bumi.Â
Selama satu dekade terakhir, pengaruh aktivitas antropogenik signifikan meningkatkan konsentrasi GRK (misal: CO2) yang menyebabkan pemanasan global hingga perubahan iklim.Â
Aktivitas antropogenik yang menghasilkan emisi CO2 seperti penggunaan bahan bakar fosil, deforestasi akibat kebakaran hutan dan lahan, kegiatan industri, dan emisi kendaraan bermotor. Hal ini telah menimbulkan masalah lingkungan yang serius.Â
Perubahan iklim berdampak terhadap menurunnya produksi pertanian, kekeringan, penurunan kualitas tanah dan air, penurunan keanekaragaman hayati, hingga kenaikan permukaan air laut.Â
Ada pula meningkatnya risiko bencana, gangguan kesehatan, serta menurunnya kualitas lingkungan yang pada akhirnya akan menyebabkan kerugian di berbagai sektor.
Dampak buruk perubahan iklim dapat dihindari dengan menjaga kenaikan suhu global. Menurut Paris Agreement tahun 2015, kenaikan suhu di bumi harus tetap di bawah 2°C dibandingkan dengan tingkat pra-industri, dan peningkatan suhu bumi harus dibatasi di bawah 1,5°C.Â
Berdasarkan sebuah studi yang dilakukan oleh Van-Soest et al. tahun 2017, perlu dilakukan penangkapan (capture) dan penyimpanan (storage) setidaknya 1 gigaton (Gt) CO2 setiap tahun hingga tahun 2030.Â
Implikasinya, laju emisi gas rumah kaca harus dikurangi sekecil mungkin dan mencapai net zero emission (NZE) pada paruh kedua abad ke-20.Â
NZE berarti sisa emisi yang ada dapat diserap oleh hutan dan lahan atau menggunakan teknologi seperti penangkapan dan penyimpanan karbon sehingga emisi bersih menjadi nol.
Indonesia telah meratifikasi Paris Agreement melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016. Sebagai salah satu negara yang meratifikasi Kesepakatan Paris, Indonesia telah menyampaikan dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) yang pertama tahun 2016, dokumen Update NDC (UNDC) tahun 2021, dan dokumen Enhanced NDC (ENDC) tahun 2022.Â