Mohon tunggu...
Qoniatul Izza
Qoniatul Izza Mohon Tunggu... Lainnya - Mari menulis.

Sedang belajar dan akan terus belajar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bubur di Malam Senin

9 September 2021   15:01 Diperbarui: 9 September 2021   15:08 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bakso keliling seharga lima ribuan itu sudah tandas. Semua anggota rumah dengan model huruf L tersebut sudah mulai mengantri untuk mengambil air wudhu karena adzan maghrib sudah berkumandang. 

"Bu, nanti jadi ke rumah Mbah?." Tanya Niar. 

Ibu yang baru saja selesai mengambil wudhu terakhir hanya mengangguk dan mengacungkan jempolnya. Gadis itu kembali melanjutkan agenda cuci piringnya kala semua keluarganya tengah menunaikan ibadah sholat maghrib berjamaah. 

Setelahnya, mereka semua mulai menyibukkan diri dengan memilah mana baju yang pantas dikenakan di luar rumah. Satu persatu keluar dengan Niar yang terakhir mengunci pintu rumah. 

Malam senin berbeda dengan malam-malam di hari lain. Biasanya, selepas maghrib, rumah akan riuh dengan suara anak-anak tetangga dan keluarga yang ikut mengaji di rumah. Malam senin jatahnya mereka libur. Sebenarnya bukan libur, tapi digantikan dengan mengaji di rumah atau di langgar masing-masing untuk yang laki-laki. Hal ini dilakukan dengan tujuan supaya langgar juga bisa menjadi majelis ilmu dan lebih hidup karena suara-suara mereka, bukan hanya sebagai tempat ibadah wajib saja. 

**

Rumah Mbah terletak tak begitu jauh dari kediamannya. Cukup hanya dengan melewati beberapa rumah dan kebun singkong dengan penerangan yang sangat minim, akan sampai. 

Bermodal flash hp, Niar berjalan paling depan. Suasana desa yang masih sangat sepi tak membuat ia takut sama sekali. Toh, di belakangnya masih ada dua adik perempuan serta bapak dan ibunya. 

Derap langkah lima anggota keluarga serta kekehan dari sang bungsu membuat perjalanan petang ini terasa ramai. Sumur kosong yang sudah lama tak terpakai di belakang rumah Mbah itu tak ada apa-apanya dibanding kepercayaan diri mereka saat ini. 

**

Bulik Shofa -adik ipar Ibu- tengah berteriak kegirangan karena masakannya sudah siap. Bulik Shofa, orang paling cerewet di keluarga itu memang jago memasak bubur kacang hijau. Kacang hijaunya lembut, kuahnya kental, ketan hitamnya banyak, manisnya juga pas. Apalagi disajikan hangat-hangat di malam hari. Ia segera menuangkan bubur kacang hijau yang masih mengepul tersebut ke dalam sebuah mangkok besar yang ia punya. Di letakkannya mangkok bubur tersebut diatas piring keramik dan dibawanya ke ruang tengah. 

"Dek, ayo anter Ibuk ke rumah Mbak Niar." Perintahnya pada Aji, putra sulungnya. 

Aji yang tengah menata mainan adiknya itu segera mengangguk. Ia mengambil senter kecil kesayangannya yang ia beli satu minggu yang lalu. 

"Adek ikut nggak? Apa mau di rumah sama bapak? Ibu sama kakak mau ke rumah Mbak Niar."

"Ikuuuuut. Mau ke Mbak Niar."

Setelah berpamitan dengan sang suami, Bulik Shofa segera keluar menuju rumah Mbak Niar yang hanya bersekat satu rumah dari rumahnya. Dari pintu depan rumahnya, sudah kelihatan jendela-jendela rumah Mbak Niar. 

Satu tangannya memegang piringan bubur sementara satunya lagi menggandeng tangan Adik, sementara Aji berjalan paling depan. 

"Assalamu'alaikum. Mbaaaaak. Mbak Niaaar. " Teriak Aji dan Adek lantang. 

Mbak Niar memang sangat dekat dengan kedua adik sepupunya itu. 

20 detik belum ada jawaban, Aji kemudian menggedor pintu lebih keras sementara Adek kembali melantangkan suaranya. 

Tok tok tok. 

"Assalamualaikum. Mbaaaak. Adek datang."

"Waalaikumsalaaaaaaam." Jawab suara dari dalam. 

Mbak Niar memang khas menjawab salam dengan nada ceria. Namun itu yang membuat Bulik Shofa seperti ditarik pada memorinya beberapa menit ke belakang. Saat ia mendengar derap langkah dan riuhnya keluarga Ibu yang tadi melewati samping rumahnya. Bulik hafal betul kebiasaan keluarga Ibu yang selalu mengunjungi rumah Mbah tiap malam senin saat kegiatan mengaji di liburkan. 

Secepat mungkin ia membawa Adek dalam gendongannya dan menarik Aji. 

"Kak, ayo pulang." Ucap Bulik tergesa-gesa. Napasnya memburu. Jantungnya berpacu cepat. Tangannya gemetar tak karuan sementara sautan salam dari dalam pun terdengar sekali lagi. 

"Bu, tapi itu Mbak Niar sudah jawab salam."

Sang Ibu tak peduli, ia segera pergi meninggalkan rumah itu dengan Aji yang mengekorinya di belakang. 

**

Jam dinding sudah menunjukkan pukul setengah sembilan. Keluarga Ibu segera pamit pulang dari rumah Mbah. Saat melewati rumah Bulik dan masih terdengar suara Aji yang masih bermain tembak-tembakan dengan adiknya, Bapak mengajak mampir. Semua mengiyakan. 

Bapak segera melebur dan bergabung dengan Paklik dan beberapa rekan kerjanya sementara Mbak Niar dan adik-adiknya segera bergabung dengan Aji dan Adek. 

Berulang kali mata Bulik Shofa terlihat gusar. Mbak Niar yang menyadari itu menatapnya penuh tanda tanya. 

"Kenapa?."

"Mbak Niar ke rumah Mbah habis maghrib kan ya?."

"Iya. Kan tadi pasti dengar kan pas kita sekeluarga lewat."

Wajah Bulik mendadak tegang. Raut mukanya terlihat gelisah dan tak nyaman. 

Ruang tamu mendadak sepi. 

Bapak, Paklik, Ibu, serta rekan kerja Paklik mulai menyimak pembicaraan. 

"Tadi Bulik ke rumah Mbak Niar sama Aji sama Adek. Niatnya mau nganter bubur kacang hijau." Terangnya. 

"Tapi nggak jadi kan, Lik? Mana buburnya. Mau makan sini aja. Tak angetin ya." Ucap Mbak Niar. Ia hendak bangkit menuju dapur rumah Bulik. 

"Jadi. Terus salam kaya biasa. Terus ada yang jawab dari dalam. Suaranya persis Mbak Niar."

Jelas Bulik dengan satu tarikan nafas. 

"Tadi Mbak sudah jawab salam. Tapi malah Aji disuruh pulang sama Ibu. Ibu gendong Adek sambil lari. Aji di tinggal di belakang." Bocah berusia 7 tahun itu ikut menambahkan. Tangannya masih sibuk memainkan mobil remot miliknya seperti tak terjadi apa-apanya sebelumnya. 

Mbak Niar diam. Lututnya lemas sementara yang lain masih menyelam dengan pikirannya masing-masing. 

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun