Mohon tunggu...
Qoniatul Izza
Qoniatul Izza Mohon Tunggu... Lainnya - Mari menulis.

Sedang belajar dan akan terus belajar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Desa Apa Ini?

2 Maret 2021   20:53 Diperbarui: 2 Maret 2021   21:24 561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Saat itu bulan Agustus. Aku tidak paham tepatnya kapan, yang ku tahu pasti cuaca agak mendung malam itu. Sebut saja Nila, gadis berambut pendek yang tengah membawa sepeda motor berwarna merah bercampur hitam kilap itu menepi lalu menyunggingkan senyumnya.

"Ayo, langsung saja ya, biar tidak kemalaman" tuturnya.

Aku mengangguk.

Ditanganku sudah ada kue tart berwarna cokelat yang sudah kita beli satu jam sebelum memutuskan untuk menemui Gia, gadis cantik yang tengah berbahagia karena hari ini adalah hari ulang tahunnya.

Jam sudah menunjukkan pukul enam lewat sepuluh. Berbekal aplikasi penunjuk arah, Nila mulai melajukan motornya sesuai petunjuk yang ada di aplikasi.

Aku masih ingat tentang Gia yang mengatakan bahwa tak sampai setengah jam mengendarai motor melewati hutan dan jalanan perbatasan kecamatan yang sepi, ia sudah sampai di kediaman Nila. Namun bagi kami berdua, inilah pertama kalinya kita mengunjungi kediaman Gia melewati jalanan perbatasan yang ia ceritakan tadi. Terlihat seperti omong kosong namun nyatanya Nila, dan aku tentunya, belum pernah ke rumah Gia yang dengan jarak tempuh setengah jam tersebut bisa di bilang cukup dekat.

Sepuluh menit pertama semuanya masih terasa menyenangkan. Jalanan yang masih ramai, toko-toko pinggir jalan yang belum sepi pengunjung, dan bahkan suara celoteh nyanyian kami berdua di sepanjang jalan.

Sampai akhirnya kita mulai memasuki hutan dan jalanan sepi persis seperti yang  Gia ceritakan. Bedanya, Gia biasa mengunjungi Nila di siang hari.

Sepi, jalanan yang mulai lengang, dan suara gemericik air di sekitaran hutan serta suara jangkrik yang bersautan mulai mendominasi. Namun tampaknya hal itu tidak melunturkan suara nyaring kami untuk terus bernyanyi dan melontarkan guyonan apapun yang sekiranya bisa membuat suasana tak begitu mencekam.

Aku yang tadinya baik-baik saja mendadak diam setelah tidak sengaja mengecek jam tangan. Jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam namun aplikasi penunjuk arah masih saja menunjukkan arah yang kulihat masih cukup jauh untuk di tempuh.

Nila memelankan lajunya seiring dengan tepukan tanganku tepat di bahunya.

"La, kok nggak sampai-sampai ya?" tanyaku lirih.

"Tapi jalannya bener kan?"

"Iya, La. Dari tadi masih lurus-lurus aja kok. Nggak belok" bela ku.

"Yasudah. Paling sebentar lagi sampai." Ucapnya menenangkan.

Nila yang tadinya pelan langsung mempercepat lajunya.ketika jalanan mulai memasuki daerah persawahan yang cukup panjang. Sepi. Dan hanya ada kami berdua sejauh perjalanan.

Aku yang awalnya cemas mulai tak ambil pusing. Jokes lucu dan sambung lagu mulai mendominasi perjalanan kami sampai akhirnya kami tiba di pertigaan. Aku masih ingat jalanan itu. Terdapat tiga gapura besar layaknya gapura penanda masuk pedesaan. Karena tak juga sampai di tempat tujuan, kami memutuskan memasuki gapura tersebut berharap ada seseorang yang bisa di mintai tunjukan arahnya.

Pelan namun pasti, Nila melajukan motornya sedangkan aku sibuk mengamati satu persatu rumah warga berharap ada salah satu warga yang bisa kami jadikan tempat untuk bertanya tentang alamat.

Sudah cukup jauh kami memasuki desa tersebut. Sudah cukup banyak pula rumah yang kami lewati. Pintu-pintu rumah juga terbuka lebar. Bahkan ada banyak lampu-lampu kecil berwarna merah dan kuning yang sepertinya sengaja di letakkan di pohon kecil depan rumah sebagai hiasan cantik di malam hari. Dari banyaknya pintu rumah yang terbuka, kemana semua orang di desa ini?

"La, kok sepi ya?" tanyaku pelan. Pelan sekali.

Nila menegang. Ia kembali melajukan motornya lurus berharap bisa menemukan satu atau dua orang penghuni desa ini.

Tak satupun rumah yang luput dari pandanganku namun konsentrasiku terpecah tatkala Nila mengerem motornya secara mendadak. Kepalaku menubruk punggungnya cukup keras.

"Kenapa, La?" tanyaku panik.

"Jalan buntu. Kayanya kita harus cepat keluar deh"

Di depan kami kabut tebal. Dan ya, jalan buntu. Aku mengangguk. Pasrah sudah. Kami dan segala pikiran yang kini tengah berkecamuk mulai putar balik dan meninggalkan desa ini dengan kecepatan cukup tinggi.

Nila. Napasnya memburu. Ia terus melajukan motornya sampai kami menemukan seorang pria paruh baya yang berdiri di bawah lampu di luar gapura.

Ia mengambil napas banyak-banyak sementara aku menganggukkan kepala dan menyapa pria tersebut.

"Dari mana mau kemana, Nduk?"

"Dari sana tapi tidak ada orang yang bisa kami tanyai, Pak. Mau ke kecamatan ini, masih jauh tidak ya?" tanyaku sopan.

Dahinya berkerut.

"Dari sana?" tanya bapak tersebut memastikan sambal menunjuk arah belakang kami.

Aku mengangguk mengiyakan.

Tak lama beliau menghembuskan napasnya kasar. Air mukanya tak bisa di tebak.

"Kalian lurus saja nanti belok kanan, sampai perempatan belok kiri. Dari situ lurus saja kurang lebih 15 menit sampai. Sudah sana, sing ngati-ati yo."

Kami mengangguk mengucapkan terimakasih. Tak lagi menghiraukan aplikasi penunjuk arah di ponsel pintar.

Benar saja. 15 menit kemudian kami sampai di rumah Gia. Rumah yang cukup luas dengan pagar yang cukup tinggi itu terlihat nyaman. Apalagi taman berbentuk bulat yang mengelilingi tiap sudut pagar membuat suasana rumah terlihat nyaman dan menenangkan.

Lilin sudah menyala. Gia juga sudah cukup terkejut dengan kejutan yang kami berikan hingga ibunya berkata "Malam banget, Nduk. Sudah jam sembilan malam. Kalian menginap saja ya?" pinta Ibu.

Aku dan Nila saling menatap. Dua jam perjalanan? Bahkan rumah Nila dan Gia masih satu kabupaten. Yang benar saja.

Lalu kemana orang-orang di desa itu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun