Penuh kasih sayang, menaruh simpati atau perhatian kepada orang lain, tidak memikirkan diri sendiri, penuh pengertian, mudah iba/kasihan, pendengar yang baik, hangat dalam pergaulan, berhati lembut, senang terhadap anak-anak, lemah lembut, mengalah, malu, merasa senang jika dirayu, berbicara dengan suara keras, mudah terpengaruh, sopan, dan bersifat kewanitaan.
Pencitraan negatif terhadap perempuan seni tradisi tergambarkan oleh peraturan yang dibuat oleh pemimpin Cikatineung. Bahkan tidak banyak peraturan yang dapat menjamin atau melindungi seni tradisi khususnya pelaku yaitu perempuan seni tradisi. Hadi  Subrata sebagai Kepala Program Kesenian Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Bogor mengatakan bahwa hanya Perda No. 11 tahun 2008 tentang Pengelolaan Seni Budaya Daerah yang mengatur kelompok-kelompok seni tradisi, termasuk sanggar.Â
Peraturan daerah yang mencakup perlindungan seni tradisi belum dimaksimalkan oleh pemerintah setempat. Sebagai objek seni tradisi, perempuan seni tradisi terpengaruh oleh tidak adanya peraturan daerah yang dapat menjamin keamanan dan kesejahteraannya.Â
"Meskipun kami sudah membudayakan seni tradisi jaipong, tapi hidup kami kebelangsak di kampung orang," kata Lilis. Sifat femininitas perempuan dianggap sebagai objek yang pantas untuk dikuasai bukan untuk dilindungi. Perempuan seni tradisi jaipong di Cileungsi telah terkonstruks sebagai perempuan yang negatif. Para penari jaipong yang lemah lembut menjadi objek tontonan kaum laki-laki.
Latar belakang persoalan ekonomi telah membentuk karakteristik para penari yang kuat untuk bertahan. Sistem kapitalisme telah mempengaruhi eksistensi perempuan untuk menjalankan kehidupan.Â
Para penari yang biasanya berasal dari golongan kelas menengah ke bawah dituntut untuk mengangkat martabat keluarga dengan bekerja di ruang publik. Engels (1974: 207) mengatakan bahwa pada sistem kapitalisme terdapat kecenderungan yang kontradiktif dalam posisi perempuan. Menurut Engels, kaum perempuan hanya bisa melepaskan diri dari kekuasaan patriarkal apabila masuk ke dalam angkatan kerja upahan.Â
Kaum perempuan harus ikut mencari nafkah sehingga berperan secara ekonomi. Kesadaran tersebut telah mengantarkan kaum perempuan warga Cikatineung untuk menjadi perempuan seni tradisi yang memanfaatkan kesenian jaipong untuk merebut ruang di ranah publik. Para penari melangsungkan pertunjukan untuk menarik para penyawer (bajidor). "Sebenarnya menari jaipong adalah hobi, tapi saya dituntut untuk mencari uang. Jadi kehidupan saya ditentukan oleh bajidor," kata Sinta, penari Cikatineung lainnya.
Pekerjaan yang tidak dianggap biasa oleh kultur masyarakat setempat untuk para penari jaipong. Bekerja di waktu malam hari dan menarik kaum laki-laki dengan goyangan jaipongnya telah menanamkan pencitraan negatif pada pikiran masyarakat.Â
Kaum laki-laki yang datang, baik secara sengaja atau tidak, untuk melihat pertunjukan jaipong merupakan satu aspek yang mendukung kelestarian seni tradisi jaipong. "Keberadaan penyawer atau lebih dikenal dengan bajidor sudah menjadi sebuah budaya," kata Ade, laki-laki yang sering datang ke tempat pertunjukan jaipong.Â
"Kalau misalkan nama kita dipanggil oleh sinden, mau tidak mau kita harus nyawer. Dalam hal ini nilai gengsi menjadi lebih utama," lanjutnya. Relasi antara penari dan bajidor memiliki hubungan yang erat dan saling kebergantungan. Namun, jika kembali lagi mempersoalkan kode etik masyarakat yang patriarki, relasi antara penari dan bajidor adalah hubungan yang negatif dan mengobjekkan perempuan bukan mengobjekkan kaum laki-laki. Â Â
Dengan bertahannya Cikatineung di Cileungsi hingga saat ini menunjukkan bahwa karakteristik perempuan seni tradisi masih aktif untuk berkreasi meskipun banyak persoalan yang harus dihadapinya. Apakah saat ini masih bertahan atau lenyap dengan era digital dan teknologi?