Sepuluh tahun lalu, hari Jumat sore sekitar pukul 15.00 WIB suhu udara masih terasa panas. Suara perempuan-perempuan yang sedang berbincang tidak mengurangi kesengatan matahari yang sudah mulai condong. Perempuan-perempuan asal Karawang dan Subang tersebut adalah para sinden dan penari seni tradisi jaipong.Â
Mereka menempati wilayah di pinggir jalan raya perbatasan Bekasi - Bogor. Pemilik tempat grup jaipong tersebut adalah seorang petani yang bernama Pak Mamat dan merupakan warga asli Limusnunggal. Ia telah diberikan tongkat estafet pemimpin grup jaipong sejak tahun 1996.Â
Seni tradisi jaipong telah memiliki ruang tersendiri di wilayah Limusnunggal. Para penari, sinden, dan penabuh adalah warga migrasi dari beberapa wilayah seperti Karawang, Subang, dan Cikarang. "Di sini ada 12 orang yang terdiri dari sinden dan penari. Biasanya yang tua jadi sinden soalnya yang muda nggak bisa nyanyi," kata Pak Mamat.Â
Para sinden dan penari sebelum manggung beraktivitas seperti masyarakat pada umumnya. Sambil menunggu jam manggung, mereka berkumpul di pelataran rumah milik Pak Mamat hanya sekadar mengobrol. Satu per satu perempuan datang ikut berkumpul setelah pada siang hari istirahat di dalam rumah. Itulah aktivitas setiap hari sebelum warga Cikatineung melakukan pertunjukan. "Yah, beginilah nasib di kampung orang," kata Junaedi, koordinator Cikatineung.
Tepat pukul 20.00 WIB, warga Cikatineung sedang mempersiapkan pertunjukan jaipong di panggung sederhana. Panggung yang berada menjorok ke dalam namun masih terlihat dari jalan raya yang dilintasi lalu-lalang pengendara bermotor. Para laki-laki penabuh (nayaga) telah merapikan dan menata alat musik yang akan mengiringi pertunjukan jaipong.Â
Jadwal rutinitas pertunjukan jaipong pukul 21.00 hingga pukul 02.00 dini hari telah molor. Pertunjukan jaipong Cikatineung berlangsung pukul 22.00. "Memang biasanya kita mulai jam sembilan malam sampai jam dua pagi, tapi sekarang lebih santai karena para bajidor sudah jarang yang datang," kata Junaedi.Â
Beberapa tahun belakangan ini pertunjukan jaipong di Cileungsi sudah tidak mendapat perhatian lagi. "Paling yang datang satu, dua, orang," lanjut Junaedi. Dengan situasi seperti itu, pertunjukan Cikatineung masih tetap eksis dan tidak mengurangi semangat untuk merebutkan ruang di wilayah Cileungsi.
Pertunjukan yang sangat sederhana diikuti oleh empat perempuan yang terdiri atas tiga penyinden dan satu penari. Dari 12 perempuan warga Cikatineung yang disebutkan oleh Pak Mamat memiliki dua tugas yang berbeda. Satu kelompok sebagai pemain pertunjukan di atas panggung, dan satu kelompok lagi menjaga warung sebagai pelayan untuk para bajidor yang datang.Â
Perjalanan pertunjukan jaipong Cikatineung yang berliku-liku telah menguatkan tekadnya untuk terus mempertahankan seni tradisi jaipong. Kedatangan para penari, penyinden, dan nayaga di Cileungsi adalah pencarian nasib yang ditentukan oleh para penyawer atau bajidor. Kedatangan mereka yang mencari keuntungan dari sebuah pekerjaan seni pertunjukan harus menerima semua hasil yang didapatnya.Â
Identitas semu yang dimiliki oleh warga Cikatineung telah menjadi penghalang untuk membuka akses dengan warga setempat. Pertujukan jaipong di Cileungsi harus dapat bersaing dengan seni tradisi asli daerah setempat seperti Pencak atau Degung Karawitan.Â
"Di sini terdapat kesenian Pencak yang biasa digunakan untuk acara di masyarakat dan pemerintahan desa. Atau di sekolah-sekolah dasar telah diajarkan degung karawitan sebagai seni tradisi daerah setempat," kata Aman Durahman, pegawai desa Limusnunggal bagian birokrasi.Â
Dengan demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa warga atau pemerintah desa setempat tidak memperhatikan seni pertunjukan jaipong yang katanya bukan seni tradisi asli Cileungsi.
Kesenian jaipong khas Sunda itu berada di Cileungsi sudah berdiri sejak tahun 1992. Awal mula jaipong muncul di Cileungsi merupakan strategi mempertahankan eksistensi kehidupan. "Kami datang ke Cileungsi karena di Karawang atau Subang banyak saingannya," kata Lilis (40), salah seorang sinden yang sudah sejak pertama Cikatineung berdiri di Cileungsi. "Kami harus mencari uang dan membantu keluarga di kampung," lanjut Lilis. Para perempuan yang bekerja sebagai penyinden dan penari di Cileungsi adalah perempuan yang kalah dalam pertempuran di ranah publik.Â
Persaingan mereka bukan sekadar menghadapi kaum laki-laki yang stereotip dengan kekuasaan di ranah publik, namun mereka harus melawan persaingan antara perempuan itu sendiri.Â
Sebagai seorang penari, kaum perempuan bukan hanya dituntut untuk memiliki paras yang cantik dan tubuh yang elok, kecerdikan dalam mengatur strategi menarik penonton pun menjadi salah satu syarat untuk mengukuhkan eksistensinya. Para perempuan yang berada di grup Cikatineung adalah bagian dari perempuan yang ingin menunjukkan eksistensianya di wilayah lain.
Keberadaan grup Cikatineung di Cileungsi tidak mudah untuk bediri eksis tanpa ada permasalahan. Sebagai objek pertunjukkan, kaum perempuan yang menjadi penyinden atau penari menjadi sorotan bagi masyarakat Cileungsi.Â
Permasalahan muncul satu demi satu, bukan sekadar terhadap perempuan seni tradisi itu sendiri tetapi menyangkut semua aspek yang ada di dalam seni tradisi itu. "Karena tidak ada izin, mereka sempat dibabat. Sanggar mendaftar, kita register sebenarnya sudah cukup dan dapat beroperasional," kata Hadi Subrata, Kepala Program Kesenian Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Bogor.Â
Pendirian grup jaipong semestinya harus ada izin lingkungan dan izin bangunan. "Izin pariwisata sekarang ini disesuaikan dengan norma misalnya norma kesusilaan," lanjut Hadi. Artinya bahwa perizinan dalam pendirian sebuah grup seni tradisi diseuaikan norma atau nilai yang ada dalam masyarakat.Â
Hal itu membuktikan bahwa seni tradisi tidak akan terlepas dari struktur sosial masyarakat dan bahkan akan menjadi sorotan pemerintah (dinas pariwisata). Pendirian grup Cikatineung itu sendiri belum mendapat perhatian dari pemerintah Bogor karena dianggap bukan bagian dari seni tradisi daerah setempat. Kendala tersebut telah merantai kebebasan para perempuan penari atau penyinden untuk keluar dari wilayah Cikatineung. Â
Dominasi perempuan dalam seni tradisi jaipong bukan terkonstruks karena kekuasaan perempuan, melainkan semakin banyak perempuan yang telah menjadi objek pertunjukan. Dengan banyaknya kaum perempuan di dalam grup Cikatineung tidak menunjukkan bahwa mereka memiliki kekuatan untuk menjadi subjek. Mereka tetap terkungkung oleh suatu konstruk sosial dalam masyarakat.Â
Para penari dan penyinden harus mnegikuti peraturan yang dibuat oleh pemimpin Cikatineung yaitu Pak Mamat yang melarang kaum perempuan untuk keluar dari wilayah Cikatineung. "Para penari tidak boleh keluar karena takut jika mereka disamakan dengan perempuan nakal dan akan diangkut oleh Satpol PP dan kamilah yang harus bertanggung jawab," kata Pak Mamat.Â
Peraturan itu bukan untuk melindungi kaum perempuan, tetapi telah melemahkan posisi perempuan karena telah membatasi ruang gerak perempuan. Kaum perempuan tetap dianggap sebagai stereotip yang memiliki sifat femininitas. Dalam Bem Sex-Role Inventory (BSRI) diuraikan tentang dimensi femininitas. Dimensi femininitas mencakup ciri-ciri sebagai berikut.
Penuh kasih sayang, menaruh simpati atau perhatian kepada orang lain, tidak memikirkan diri sendiri, penuh pengertian, mudah iba/kasihan, pendengar yang baik, hangat dalam pergaulan, berhati lembut, senang terhadap anak-anak, lemah lembut, mengalah, malu, merasa senang jika dirayu, berbicara dengan suara keras, mudah terpengaruh, sopan, dan bersifat kewanitaan.
Pencitraan negatif terhadap perempuan seni tradisi tergambarkan oleh peraturan yang dibuat oleh pemimpin Cikatineung. Bahkan tidak banyak peraturan yang dapat menjamin atau melindungi seni tradisi khususnya pelaku yaitu perempuan seni tradisi. Hadi  Subrata sebagai Kepala Program Kesenian Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Bogor mengatakan bahwa hanya Perda No. 11 tahun 2008 tentang Pengelolaan Seni Budaya Daerah yang mengatur kelompok-kelompok seni tradisi, termasuk sanggar.Â
Peraturan daerah yang mencakup perlindungan seni tradisi belum dimaksimalkan oleh pemerintah setempat. Sebagai objek seni tradisi, perempuan seni tradisi terpengaruh oleh tidak adanya peraturan daerah yang dapat menjamin keamanan dan kesejahteraannya.Â
"Meskipun kami sudah membudayakan seni tradisi jaipong, tapi hidup kami kebelangsak di kampung orang," kata Lilis. Sifat femininitas perempuan dianggap sebagai objek yang pantas untuk dikuasai bukan untuk dilindungi. Perempuan seni tradisi jaipong di Cileungsi telah terkonstruks sebagai perempuan yang negatif. Para penari jaipong yang lemah lembut menjadi objek tontonan kaum laki-laki.
Latar belakang persoalan ekonomi telah membentuk karakteristik para penari yang kuat untuk bertahan. Sistem kapitalisme telah mempengaruhi eksistensi perempuan untuk menjalankan kehidupan.Â
Para penari yang biasanya berasal dari golongan kelas menengah ke bawah dituntut untuk mengangkat martabat keluarga dengan bekerja di ruang publik. Engels (1974: 207) mengatakan bahwa pada sistem kapitalisme terdapat kecenderungan yang kontradiktif dalam posisi perempuan. Menurut Engels, kaum perempuan hanya bisa melepaskan diri dari kekuasaan patriarkal apabila masuk ke dalam angkatan kerja upahan.Â
Kaum perempuan harus ikut mencari nafkah sehingga berperan secara ekonomi. Kesadaran tersebut telah mengantarkan kaum perempuan warga Cikatineung untuk menjadi perempuan seni tradisi yang memanfaatkan kesenian jaipong untuk merebut ruang di ranah publik. Para penari melangsungkan pertunjukan untuk menarik para penyawer (bajidor). "Sebenarnya menari jaipong adalah hobi, tapi saya dituntut untuk mencari uang. Jadi kehidupan saya ditentukan oleh bajidor," kata Sinta, penari Cikatineung lainnya.
Pekerjaan yang tidak dianggap biasa oleh kultur masyarakat setempat untuk para penari jaipong. Bekerja di waktu malam hari dan menarik kaum laki-laki dengan goyangan jaipongnya telah menanamkan pencitraan negatif pada pikiran masyarakat.Â
Kaum laki-laki yang datang, baik secara sengaja atau tidak, untuk melihat pertunjukan jaipong merupakan satu aspek yang mendukung kelestarian seni tradisi jaipong. "Keberadaan penyawer atau lebih dikenal dengan bajidor sudah menjadi sebuah budaya," kata Ade, laki-laki yang sering datang ke tempat pertunjukan jaipong.Â
"Kalau misalkan nama kita dipanggil oleh sinden, mau tidak mau kita harus nyawer. Dalam hal ini nilai gengsi menjadi lebih utama," lanjutnya. Relasi antara penari dan bajidor memiliki hubungan yang erat dan saling kebergantungan. Namun, jika kembali lagi mempersoalkan kode etik masyarakat yang patriarki, relasi antara penari dan bajidor adalah hubungan yang negatif dan mengobjekkan perempuan bukan mengobjekkan kaum laki-laki. Â Â
Dengan bertahannya Cikatineung di Cileungsi hingga saat ini menunjukkan bahwa karakteristik perempuan seni tradisi masih aktif untuk berkreasi meskipun banyak persoalan yang harus dihadapinya. Apakah saat ini masih bertahan atau lenyap dengan era digital dan teknologi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H