Dengan demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa warga atau pemerintah desa setempat tidak memperhatikan seni pertunjukan jaipong yang katanya bukan seni tradisi asli Cileungsi.
Kesenian jaipong khas Sunda itu berada di Cileungsi sudah berdiri sejak tahun 1992. Awal mula jaipong muncul di Cileungsi merupakan strategi mempertahankan eksistensi kehidupan. "Kami datang ke Cileungsi karena di Karawang atau Subang banyak saingannya," kata Lilis (40), salah seorang sinden yang sudah sejak pertama Cikatineung berdiri di Cileungsi. "Kami harus mencari uang dan membantu keluarga di kampung," lanjut Lilis. Para perempuan yang bekerja sebagai penyinden dan penari di Cileungsi adalah perempuan yang kalah dalam pertempuran di ranah publik.Â
Persaingan mereka bukan sekadar menghadapi kaum laki-laki yang stereotip dengan kekuasaan di ranah publik, namun mereka harus melawan persaingan antara perempuan itu sendiri.Â
Sebagai seorang penari, kaum perempuan bukan hanya dituntut untuk memiliki paras yang cantik dan tubuh yang elok, kecerdikan dalam mengatur strategi menarik penonton pun menjadi salah satu syarat untuk mengukuhkan eksistensinya. Para perempuan yang berada di grup Cikatineung adalah bagian dari perempuan yang ingin menunjukkan eksistensianya di wilayah lain.
Keberadaan grup Cikatineung di Cileungsi tidak mudah untuk bediri eksis tanpa ada permasalahan. Sebagai objek pertunjukkan, kaum perempuan yang menjadi penyinden atau penari menjadi sorotan bagi masyarakat Cileungsi.Â
Permasalahan muncul satu demi satu, bukan sekadar terhadap perempuan seni tradisi itu sendiri tetapi menyangkut semua aspek yang ada di dalam seni tradisi itu. "Karena tidak ada izin, mereka sempat dibabat. Sanggar mendaftar, kita register sebenarnya sudah cukup dan dapat beroperasional," kata Hadi Subrata, Kepala Program Kesenian Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Bogor.Â
Pendirian grup jaipong semestinya harus ada izin lingkungan dan izin bangunan. "Izin pariwisata sekarang ini disesuaikan dengan norma misalnya norma kesusilaan," lanjut Hadi. Artinya bahwa perizinan dalam pendirian sebuah grup seni tradisi diseuaikan norma atau nilai yang ada dalam masyarakat.Â
Hal itu membuktikan bahwa seni tradisi tidak akan terlepas dari struktur sosial masyarakat dan bahkan akan menjadi sorotan pemerintah (dinas pariwisata). Pendirian grup Cikatineung itu sendiri belum mendapat perhatian dari pemerintah Bogor karena dianggap bukan bagian dari seni tradisi daerah setempat. Kendala tersebut telah merantai kebebasan para perempuan penari atau penyinden untuk keluar dari wilayah Cikatineung. Â
Dominasi perempuan dalam seni tradisi jaipong bukan terkonstruks karena kekuasaan perempuan, melainkan semakin banyak perempuan yang telah menjadi objek pertunjukan. Dengan banyaknya kaum perempuan di dalam grup Cikatineung tidak menunjukkan bahwa mereka memiliki kekuatan untuk menjadi subjek. Mereka tetap terkungkung oleh suatu konstruk sosial dalam masyarakat.Â
Para penari dan penyinden harus mnegikuti peraturan yang dibuat oleh pemimpin Cikatineung yaitu Pak Mamat yang melarang kaum perempuan untuk keluar dari wilayah Cikatineung. "Para penari tidak boleh keluar karena takut jika mereka disamakan dengan perempuan nakal dan akan diangkut oleh Satpol PP dan kamilah yang harus bertanggung jawab," kata Pak Mamat.Â
Peraturan itu bukan untuk melindungi kaum perempuan, tetapi telah melemahkan posisi perempuan karena telah membatasi ruang gerak perempuan. Kaum perempuan tetap dianggap sebagai stereotip yang memiliki sifat femininitas. Dalam Bem Sex-Role Inventory (BSRI) diuraikan tentang dimensi femininitas. Dimensi femininitas mencakup ciri-ciri sebagai berikut.