Mohon tunggu...
Qanita Zulkarnain
Qanita Zulkarnain Mohon Tunggu... Lainnya - Magister Psikologi

Psychology Undergraduate and Psychometrics Graduate.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Bijak Menyikapi Tipe Kepribadian, Love Language, dan Kategorisasi Psikologi Lainnya

14 Juni 2024   11:37 Diperbarui: 15 Juni 2024   03:05 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Brett Jordan on Unsplash

Well, meskipun kategorisasi ini dapat memberikan pencerahan, penting untuk melakukan pendekatan terhadap kategori tersebut dengan pola pikir yang menghindari pelabelan kaku dan batasan yang dibuat sendiri.

Sebaliknya, kita harus mampu bijak dalam menggunakan kategorisasi tersebut untuk meningkatkan kesadaran diri dan pertumbuhan pribadi kita.

Daya Tarik Kategorisasi

Manusia memiliki keinginan yang melekat untuk mengkategorikan dan menyederhanakan informasi agar lebih mudah dikelola. Proses kognitif ini, yang dikenal sebagai pembentukan skema, membantu kita menavigasi kompleksitas dunia dengan menciptakan jalan pintas mental. Terutama, dalam usaha memahami diri kita yang sudah pasti kompleks. 

Dalam psikologi, jalan pintas ini diwujudkan dalam berbagai sistem kategorisasi, beberapa contohnya adalah:

  • Tipe Kepribadian: Indikator Tipe Myers-Briggs (MBTI) dan Big Five adalah metode populer untuk mengkategorikan kepribadian. Mereka memberikan kerangka kerja untuk memahami perbedaan individu dalam perilaku dan preferensi. (Baca tulisan saya tentang "Alat Membaca Kepribadian: Lebih Baik Big Five atau MBTI?" di sini)
  • Stress Language: Konsep seperti stress language mengkategorikan bagaimana orang bereaksi terhadap stres, baik melalui respons melawan, lari, diam, atau coklat kekuningan. Kategori-kategori ini bertujuan untuk menjelaskan reaksi otomatis kita terhadap situasi stres.
  • Love Language: Lima love languages yang diusulkan Dr. Gary Chapman (words of affirmation, acts of service, receiving gifts, quality time, dan physical touch) menawarkan wawasan tentang bagaimana orang mengekspresikan cinta dan merasa dicintai.

Kenapa ada kategorisasi? Kategorisasi dalam psikologi pada dasarnya dibuat untuk menyederhanakan manusia yang kompleks. Umumnya, dalam psikologi, kategorisasi dilakukan dengan tes psikologi yang akan mengotakkan manusia berdasarkan kategori yang tersedia. Meskipun demikian, perlu diperhatikan bahwa setiap tes psikologi memiliki tujuan spesifik dan tes psikologi sangat rawan disalahgunakan. (Baca tulisan saya tentang "Waspadai Penyalahgunaan Tes Psikologi " di sini)

Lalu bagaimana dengan kategorisasi dari kuesioner populer yang tersedia online? Apakah valid? Jawabannya, tentu saja sangat meragukan dan suspicious karena pengembangan tes psikologi yang bagus sangat sulit dan mahal. Lalu, apakah tidak boleh? Kan kita sedang berupaya untuk memahami diri lebih baik lagi. Jawabannya, tentu boleh, dengan catatan kita mampu bijak dalam menyikapi kategorisasi yang ada. Salah satu bahaya jika kita tidak bijak adalah kita terjebak dalam pelabelan (labeling).

Jebakan Pelabelan (Labeling)

Meskipun kategori-kategori dari kuesioner populer yang mengatasnamakan psikologi dapat membantu, kategori-kategori ini juga dapat menyebabkan pelabelan, sebuah distorsi kognitif di mana individu diberi karakteristik tetap berdasarkan model-model ini. Atau, dengan kata lain, menyempitkan wawasan kita tentang diri kita sendiri. Pelabelan dapat menimbulkan beberapa dampak negatif, yaitu:

  • Pembatasan Diri: Label dapat menciptakan pola pikir tetap, di mana individu percaya bahwa mereka pada dasarnya memiliki cara tertentu dan tidak dapat berubah. Misalnya, seseorang yang dicap sebagai "introvert" mungkin menghindari situasi sosial, bahkan ketika mereka menikmatinya, karena keyakinan bahwa mereka pada dasarnya adalah seorang introvert.
  • Reduksionisme: Perilaku dan emosi manusia yang kompleks sering kali terlalu disederhanakan. Manusia memiliki banyak aspek, dan tidak ada satu kategori pun yang dapat mencakup keseluruhan kepribadian atau pengalaman seseorang.
  • Stereotip: Pemberian label dapat mengarah pada stereotip, dimana individu dinilai dan diperlakukan berdasarkan karakteristik kategori mereka, bukan berdasarkan kualitas unik mereka.

Contoh paling sederhana yang banyak ditemui adalah seseorang memilih untuk tidak mengembangkan kemampuan sosialnya karena "kan gue introvert". (Baca tulisan saya tentang konsekuensi negatif dari pelabelan di sini)

Pelabelan introvert-ekstrovert bisa jadi perlu dilakukan dalam seleksi kerja di mana ada pekerjaan yang membutuhkan orang-orang dengan tingkat ekstraversi yang tinggi (misalnya), tetapi dalam kehidupan sehari-hari ya nyatanya introvert-ekstrovert tidak hitam-putih. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk mampu memahami dan merangkul kompleksitas, terutama dalam memahami diri sendiri.

Merangkul Kompleksitas

Untuk menghindari kesalahan pelabelan, penting untuk mengenali kompleksitas sifat manusia. Penelitian di bidang psikologi mendukung anggapan bahwa manusia itu dinamis dan mampu berubah. Berikut cara mendekati kerangka psikologis populer secara konstruktif:

Gunakan Kategori sebagai Panduan, Bukan Sebagai Sesuatu yang Mutlak

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun