Emosi memainkan peran penting dalam kehidupan manusia. Emosi membentuk pikiran, perilaku, dan kesejahteraan kita secara umum. Dari bahagia dan cinta hingga sedih dan marah, berbagai macam emosi yang kita alami adalah bagian mendasar dari kehidupan kita sehari-hari.
Akan tetapi, saat kita menavigasi lanskap emosional ini, kita sering kali mendapati diri kita kesulitan dalam menyeimbangkan memvalidasi emosi kita atau meromantisisasi emosi tersebut.
Misal, ketika kita berada di tengah kemacetan lalu lintas pagi, perasaan kesal menggoda kita untuk meluapkan rasa frustrasi ituke dalam narasi besar.
Di satu sisi, kita ingin memvalidasi emosi kita, namun di sisi lain kita juga tidak ingin sampai meromantisisasi emosi tersebut.
Kehidupan kita sehari-hari penuh dengan emosi, dari yang mendalam hingga yang biasa-biasa saja, dan sungguh menakjubkan betapa dekatnya kita untuk mengagungkan intensitasnya.Â
Bayangkan kesederhanaan pedih dari senyuman bersama dengan orang yang dicintai, dan pada saat yang sama, luasnya rasa iri yang muncul saat menelusuri profil media sosial yang dikurasi dengan cermat. Pendulum emosi kita berayun mendekati ekstrem, mulai dari kurang menghargai perasaan kita yang sebenarnya menjadi terlalu mendramatisasi maknanya.
Pada artikel ini, kita akan mencoba memahami seni "memvalidasi emosi tanpa meromantisisasinya" dengan mempelajari skenario sehari-hari yang kita alami.Â
Kita akan mengungkap garis tipis yang memisahkan validasi autentik dari godaan untuk mengarang kisah emosional yang membawa kita semakin jauh dari inti perasaan sejati kita.Â
Perjumpaan kita sehari-hari dengan rollercoaster kehidupan menjadi contoh kuat dari tindakan penyeimbangan yang tidak mudah ini, di mana kita belajar menghargai emosi tanpa melebih-lebihkan signifikansinya.
Kenapa Emosi Harus Divalidasi?
Emosi adalah respons yang tulus dan valid terhadap berbagai situasi dan rangsangan. Emosi memberi tahu kita tentang keadaan batin kita dan membantu kita menavigasi dunia interaksi sosial yang kompleks.Â
Penelitian psikologi menggarisbawahi pentingnya mengenali dan memahami emosi kita sebagai komponen penting dari kesejahteraan mental.
Memvalidasi emosi berarti mengakui keberadaannya dan membiarkan diri sendiri mengalaminya sepenuhnya.
Berikut adalah beberapa alasan utama mengapa memvalidasi emosi itu penting:
1. Kesejahteraan Emosional: Memvalidasi emosi sangat penting untuk kesejahteraan emosional. Saat kita memvalidasi perasaan kita, kita menciptakan lingkungan internal yang mendorong penerimaan diri dan kasih sayang pada diri sendiri. Hal ini, pada akhirnya, akan menumbuhkan ketahanan psikologis dan kesehatan mental yang lebih baik.
2. Peningkatan Kesadaran Diri: Memvalidasi emosi meningkatkan kesadaran diri. Dengan mengenali dan menerima emosi, kita mendapatkan wawasan tentang dunia batin kita, memahami pemicu, motivasi, dan kekhawatiran mendasar kita.
3. Peningkatan Hubungan Interpersonal: Memvalidasi emosi orang lain sama pentingnya dalam membangun dan memelihara hubungan yang sehat. Ketika kita mengakui perasaan orang lain, kita mengomunikasikan empati, kepercayaan, dan pengertian, yang dapat memperkuat hubungan kita dengan orang lain.
4. Pengurangan Stres: Menekan atau menyangkal emosi dapat meningkatkan stres dan tekanan psikologis. Memvalidasi emosi memungkinkan kita melepaskan ketegangan emosional, mengurangi dampak buruk stres pada kesehatan mental dan fisik kita.
5. Pemecahan Masalah yang Efektif: Memvalidasi emosi tidak berarti bahwa semua emosi dapat dibenarkan, namun hal ini memungkinkan kita mengatasi masalah emosional dengan lebih efektif. Dengan memvalidasi emosi kita sendiri, kita dapat menghadapi masalah dengan pikiran yang lebih jernih dan membuat keputusan yang lebih rasional.
Romantisisasi Emosi
Meskipun tindakan memvalidasi emosi itu penting, menghindari meromantisisasi emosi juga sama pentingnya.
Kita cenderung meromantisisasi emosi karena emosi adalah bagian utama dari pengalaman kemanusiaan kita, yang sangat terkait dengan narasi pribadi, hubungan, dan pengaruh budaya.
Seringkali, meromantisisasi emosi muncul sebagai mekanisme koping, memberikan pelipur lara dalam menghadapi kompleksitas kehidupan.
Keindahan seni, sastra, dan budaya juga berperan penting dalam melanggengkan kecenderungan ini dengan menghadirkan versi pengalaman emosional yang diidealkan.Â
Akan tetapi, meskipun menghargai kekayaan emosi adalah hal yang wajar dan dapat memuaskan secara emosional, meromantisisasi emosi secara ekstrim dapat menjadi masalah. Hal ini dapat menyebabkan ekspektasi yang tidak realistis, di mana individu mengejar emosi yang intens namun mengabaikan keseimbangan emosional, mengabaikan pentingnya emosi negatif, dan berjuang menghadapi tantangan kenyataan.Â
Emosi yang diromantisisasi dapat membebani hubungan dan menghambat pertumbuhan pribadi.
Pada akhirnya, meskipun emosi harus diakui dan dirayakan, menjaga keseimbangan antara realisme emosional dan romantisme sangat penting untuk kesejahteraan emosional dan perkembangan pribadi kita.
Romantisisasi emosi terjadi ketika kita meninggikan perasaan tertentu ke status yang tidak realistis atau berlebihan, sehingga berpotensi menimbulkan konsekuensi negatif.Â
Ada beberapa alasan mengapa pendekatan ini dapat menimbulkan masalah dari sudut pandang psikologis:
1. Memperkuat Pola Maladaptif: Meromantisisasi emosi tertentu dapat memperkuat pola perilaku maladaptif. Misalnya, jika seseorang meromantisisasi kemarahan sebagai sumber kekuatan, mereka mungkin lebih cenderung merespons secara agresif, sehingga menimbulkan konsekuensi berbahaya dalam hubungan dan kehidupan pribadinya.
2. Mengabaikan Pemikiran Rasional: Menilai emosi secara berlebihan dapat menyebabkan individu mengabaikan pemikiran rasional dan pengambilan keputusan. Emosi memang penting, tetapi emosi tidak boleh menjadi satu-satunya dasar dalam pengambilan keputusan apa pun. Misalnya, mengikuti hasrat secara membabi buta tanpa mempertimbangkan konsekuensi praktis dapat berdampak buruk pada karier dan kehidupan seseorang.
3. Melanggengkan Playing Victim: Meromantisisasi emosi negatif seperti rasa mengasihani diri sendiri dapat melanggengkan mentalitas "diri ini adalah korban", sehingga menghambat pertumbuhan dan ketahanan pribadi. Meskipun memvalidasi emosi ini penting, mendorong strategi penanggulangan yang konstruktif dan hak pilihan pribadi juga sama pentingnya.
Validasi Tanpa Romantisisasi
Jadi, bagaimana kita bisa memvalidasi emosi tanpa meromantisisasinya? Berikut beberapa strategi utama:
1. Kesadaran diri: Mendorong individu untuk mengembangkan kesadaran diri mengenai respons emosional mereka. Hal ini melibatkan mengenali kapan suatu emosi muncul, memahami pemicunya, dan menilai validitasnya dalam konteks tertentu.
2. Kecerdasan Emosional: Meningkatkan kecerdasan emosional, yang mencakup kemampuan mengenali, memahami, dan mengelola emosi seseorang secara efektif.
Tekankan bahwa emosi bukanlah sesuatu yang baik atau buruk, melainkan sekadar informasi untuk memandu tindakan.
3. Penerimaan: Ajari individu bahwa tidak apa-apa merasakan berbagai macam emosi, baik positif maupun negatif. Tekankan bahwa semua emosi memiliki tujuan dan valid, namun emosi tersebut tidak boleh mendikte keputusan seseorang atau menentukan identitasnya.
4. Mindful: Mendorong =individu mengamati emosi mereka secara sadar tanpa menghakimi. Mindfulness dapat meningkatkan hubungan yang lebih sehat dengan emosi, memungkinkan individu untuk merespons daripada bereaksi secara impulsif.
5. Pemecahan masalah: Tingkatkan keterampilan pemecahan masalah untuk mengatasi masalah mendasar atau pemicu emosi yang kuat. Daripada meromantisisasi kesusahan, doronglah individu untuk mencari solusi yang membangun.
Kesimpulan
Memvalidasi emosi adalah aspek penting dari kesejahteraan psikologis, namun hal ini tidak boleh diromantisisasi atau dilebih-lebihkan.
Emosi itu kompleks dan memiliki banyak segi, dan pengakuannya hanyalah langkah pertama dalam mengelolanya secara efektif.
Kita sebaiknya mampu memvalidasi emosi, tanpa meromantisisasinya.
Dengan mencapai keseimbangan antara memvalidasi emosi dan mempertahankan perspektif realistis, individu dapat menavigasi lanskap emosional mereka dengan ketahanan dan kemampuan beradaptasi yang lebih baik.
Kita dapat memanfaatkan kekuatan emosi sebagai sumber wawasan dan motivasi tanpa membiarkannya mendikte perilaku yang tidak produktif atau berbahaya.
Kita akan mengalami emosi marah, dan kita boleh marah.Â
Kita akan mengalami emosi sedih, dan kita boleh sedih. Â
Kita akan mengalami emosi lain, dan kita boleh mengalaminya. Â
Yang kita tidak boleh adalah melampiaskan emosi tersebut dengan cara yang merusak diri kita, orang lain, hubungan kita dengan orang lain, dan sebagainya.
Bagi orang dewasa yang otaknya lebih kompleks, emosi mungkin tidak sesederhana "sedih adalah sedih", bisa saja kita sedih tetapi kita juga lega dan di saat yang sama kecewa, namun tetap harus menjalani hari dengan memenuhi kewajiban kita terhadap diri sendiri dan orang lain; yang mana meregulasi emosi mungkin tidak selalu mudah.
Apa pun emosi yang kita rasakan, perlu kita kenali jenisnya, pemicunya, lalu akui emosi tersebut. Dan, yang lebih penting adalah apa tindakan kita atas emosi tersebut. (oni)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H