Mohon tunggu...
Qanita Zulkarnain
Qanita Zulkarnain Mohon Tunggu... Lainnya - Magister Psikologi

Psychology Undergraduate and Psychometrics Graduate.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Validasi Tanpa Romantisisasi Emosi

26 Oktober 2023   12:05 Diperbarui: 26 Oktober 2023   17:02 536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keindahan seni, sastra, dan budaya juga berperan penting dalam melanggengkan kecenderungan ini dengan menghadirkan versi pengalaman emosional yang diidealkan. 

Akan tetapi, meskipun menghargai kekayaan emosi adalah hal yang wajar dan dapat memuaskan secara emosional, meromantisisasi emosi secara ekstrim dapat menjadi masalah. Hal ini dapat menyebabkan ekspektasi yang tidak realistis, di mana individu mengejar emosi yang intens namun mengabaikan keseimbangan emosional, mengabaikan pentingnya emosi negatif, dan berjuang menghadapi tantangan kenyataan. 

Emosi yang diromantisisasi dapat membebani hubungan dan menghambat pertumbuhan pribadi.

Pada akhirnya, meskipun emosi harus diakui dan dirayakan, menjaga keseimbangan antara realisme emosional dan romantisme sangat penting untuk kesejahteraan emosional dan perkembangan pribadi kita.

Romantisisasi emosi terjadi ketika kita meninggikan perasaan tertentu ke status yang tidak realistis atau berlebihan, sehingga berpotensi menimbulkan konsekuensi negatif. 

Ada beberapa alasan mengapa pendekatan ini dapat menimbulkan masalah dari sudut pandang psikologis:

1. Memperkuat Pola Maladaptif: Meromantisisasi emosi tertentu dapat memperkuat pola perilaku maladaptif. Misalnya, jika seseorang meromantisisasi kemarahan sebagai sumber kekuatan, mereka mungkin lebih cenderung merespons secara agresif, sehingga menimbulkan konsekuensi berbahaya dalam hubungan dan kehidupan pribadinya.

2. Mengabaikan Pemikiran Rasional: Menilai emosi secara berlebihan dapat menyebabkan individu mengabaikan pemikiran rasional dan pengambilan keputusan. Emosi memang penting, tetapi emosi tidak boleh menjadi satu-satunya dasar dalam pengambilan keputusan apa pun. Misalnya, mengikuti hasrat secara membabi buta tanpa mempertimbangkan konsekuensi praktis dapat berdampak buruk pada karier dan kehidupan seseorang.

3. Melanggengkan Playing Victim: Meromantisisasi emosi negatif seperti rasa mengasihani diri sendiri dapat melanggengkan mentalitas "diri ini adalah korban", sehingga menghambat pertumbuhan dan ketahanan pribadi. Meskipun memvalidasi emosi ini penting, mendorong strategi penanggulangan yang konstruktif dan hak pilihan pribadi juga sama pentingnya.

Validasi Tanpa Romantisisasi

Jadi, bagaimana kita bisa memvalidasi emosi tanpa meromantisisasinya? Berikut beberapa strategi utama:

1. Kesadaran diri: Mendorong individu untuk mengembangkan kesadaran diri mengenai respons emosional mereka. Hal ini melibatkan mengenali kapan suatu emosi muncul, memahami pemicunya, dan menilai validitasnya dalam konteks tertentu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun