Mohon tunggu...
Qanita Zulkarnain
Qanita Zulkarnain Mohon Tunggu... Lainnya - Magister Psikologi

Psychology Undergraduate and Psychometrics Graduate.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Checkout sebagai Bentuk Self-reward: Jangan Sampai Impulsive atau Compulsive Buying

25 Juni 2023   14:49 Diperbarui: 25 Juni 2023   15:33 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belanja, online atau offline, sebagai "self-reward" bukanlah sesuatu yang tidak pernah kita dengar.

Kita bekerja, menyelesaikan berbagai tugas, tetap menjalankan kewajiban di rumah dan di masyarakat, menghadapi berbagai masalah dan life crisis yang menerpa, sambil berusaha tetap waras dengan harapan kehidupan yang lebih baik. Atau mungkin bukan demi kehidupan yang lebih baik, tapi demi kehidupan yang tidak lebih buruk.

Terkadang kita cuma lelah, atau jenuh, dan mungkin merasa hampir gila dan ingin menyerah, tapi tetap harus melangkah.

Ada banyak cara kita untuk menghibur diri dan menyenangkan diri.

Mulai dari meluangkan waktu untuk sendiri dan melakukan hobi, atau menghabiskan waktu dengan orang-orang tercinta, sampai belanja karena hidup cuma sekali dan uang tidak dibawa mati.

Tapi, coba pikirkan: Apakah belanja atau jajan yang kita lakukan lebih dari sekadar reward yang layak? Jika kita berbelanja atau jajan setiap bulan atau setiap minggu, apakah sehat? Jika dalam berbelanja kita banyak melakukannya secara impulsif, apakah tidak apa-apa? Bagaimana batasan antara belanja sebagai sumber kesenangan yang tidak berbahaya dan jebakan potensial yang mengancam untuk menjerat kesejahteraan finansial dan keseimbangan emosional kita?

Apalagi, belanja online sangat mudah untuk dilakukan dan sangat berpotensi membuat kita kecanduan. (Baca tulisan saya mengenai berbagai normalized addictions di era digital di sini)

Pada artikel ini, kita akan mengeksplorasi topik yang beresonansi dengan banyak orang: belanja sebagai bentuk "self-reward" dan perbedaan menarik antara impulsive buying dan compulsive buying. Pengetahuan ini ditujukan bagi Anda, si online shopper, pengamat yang peduli, atau hanya ingin tahu tentang bagaimana bahasan psikologi di balik perilaku belanja kita.

Kita akan membahas fenomena ini ke dalam beberapa bagian: self reward, impulsive buying, compulsive buying, dan membentuk kebiasaan berbelanja yang sehat.

Self-reward

Dari perspektif psikologis, self-reward dapat dipahami melalui kaca mata teori reinforcement dan motivasi. Teori reinforcement menunjukkan bahwa perilaku yang memiliki konsekuensi positif lebih mungkin untuk dilakukan kembali. Self-reward, dalam konteks ini, bertindak sebagai penguatan positif yang memperkuat dan mendukung perilaku yang diinginkan.

Self-reward bisa sangat bermanfaat dalam beberapa hal, seperti pertumbuhan pribadi, pengembangan profesional, dan penyemangat dalam mengatasi tantangan. Self-reward berfungsi sebagai bentuk pengakuan dan dorongan, memperkuat anggapan bahwa upaya dan kerja keras seseorang dihargai dan pantas untuk dirayakan.

Namun, penting untuk mencapai keseimbangan dengan self-reward. Meskipun self-reward bisa menjadi praktik yang positif dan memotivasi, imbalan yang berlebihan atau memanjakan tanpa mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang dapat menyebabkan hasil yang negatif. Mempraktikkan moderasi dan menyelaraskan reward dengan nilai dan tujuan pribadi adalah kunci untuk mempertahankan sistem penghargaan diri yang sehat dan berkelanjutan.

Secara psikologis, berikut adalah fungsi dari self-reward:

  • Sebagai motivasi: Penghargaan diri bertindak sebagai insentif untuk memotivasi individu untuk terlibat dalam perilaku yang diinginkan atau bekerja menuju tujuan mereka. Dengan menawarkan reward, apakah berwujud atau tidak berwujud, individu mengalami rasa antisipasi dan motivasi untuk melanjutkan usaha mereka atau mempertahankan perilaku positif. Penghargaan diri membantu individu mempertahankan fokus dan bekerja menuju tujuan mereka. Dengan memecah tujuan yang lebih besar menjadi langkah-langkah yang lebih kecil dan dapat dikelola serta memberi penghargaan pada diri sendiri untuk setiap tonggak yang dicapai, individu mengalami rasa kemajuan dan pencapaian. Penguatan ini membuat mereka termotivasi, terlibat, dan berkomitmen pada tujuan mereka.
  • Sebagai reinforcer positif: Penghargaan diri memperkuat dan memperkuat hubungan antara perilaku dan hasil positif. Ketika individu menghargai diri mereka sendiri untuk menyelesaikan tugas atau mencapai tonggak sejarah, mereka mengasosiasikan perilaku tersebut dengan pengalaman yang menyenangkan. Penguatan ini meningkatkan kemungkinan mengulangi perilaku di masa depan.
  • Berkaitan positif dengan emotional well-being: Penghargaan diri berkontribusi pada kesejahteraan emosional yang positif. Tindakan mengakui upaya, pencapaian, atau kemajuan seseorang dan memanjakan diri dalam sesuatu yang menyenangkan atau memuaskan dapat meningkatkan harga diri, harga diri, dan kebahagiaan secara keseluruhan. Ini meningkatkan rasa perawatan diri dan penghargaan diri, mempromosikan kesejahteraan psikologis.
  • Kontrol Diri: Penghargaan diri juga dapat membantu mengembangkan dan mempertahankan kontrol diri. Dengan menetapkan kriteria atau kondisi khusus untuk menerima hadiah, individu belajar untuk menunda kepuasan, memprioritaskan tujuan jangka panjang daripada keinginan langsung, dan melatih disiplin diri. Itu menjadi alat untuk pengaturan diri dan kontrol impuls.

Jika kita mengkategorikan contoh self-reward ke dalam kategori yang sangat umum, mungkin jadinya adalah experience-based reward dan pleasure-based reward. Experience-based misalnya bisa menghabiskan waktu di alam, mencoba resep baru atau memasak makanan favorit, mengeksplorasi tempat baru atau melakukantrip, dan melakukan aktivitas fisik seperti olahraga, yoga, atau menari. Sementara itu, pleasure-based bisa berupa belanja, makan enak, melakukan hobi, atau tidur siang atau tidur malam yang nyenyak.

Kedua kategori di atas tidak eksklusif satu sama lain, dan beberapa aktivitas mungkin termasuk dalam kedua kategori tersebut. Experience-based berfokus pada pengalaman atau aktivitas tertentu yang memberikan rasa eksplorasi, petualangan, atau kesejahteraan fisik dan pleasure-based, di sisi lain, berkisar pada kegiatan yang membawa kesenangan indrawi, relaksasi, atau kenikmatan pribadi.

Belanja online, atau belanja secara umum, bisa menjadi bentuk self-reward yang mungkin lebih ke pleasure-based bagi banyak orang. Tindakan berbelanja dan mendapatkan barang yang diinginkan dapat memberikan rasa senang, kepuasan, dan penghargaan. Inilah mengapa belanja online sering dilihat sebagai bentuk penghargaan diri. Secara spesifik, berikut adalah penyebab mengapa belanja online sering menjadi pilihan untuk self-reward:

  • Gratifikasi Instan: Belanja online menawarkan kenyamanan akses langsung ke berbagai macam produk. Hanya dengan beberapa klik, individu dapat menelusuri pilihan yang tak terhitung jumlahnya, melakukan pembelian, dan merasakan kepuasan instan untuk mendapatkan sesuatu yang mereka inginkan. Proses cepat dan mudah ini memuaskan kebutuhan akan reward yang bisa dibilang instan.
  • Self-care: Berbelanja, baik online maupun di toko fisik, sering dikaitkan dengan merawat diri atau self-care. Setelah bekerja keras, mencapai tujuan, atau mengatasi tantangan, individu mungkin memandang berbelanja sebagai cara untuk merayakan usaha mereka dan menikmati sesuatu yang mereka sukai. Itu menjadi bentuk perayaan diri dan hadiah atas pencapaian mereka.
  • Peningkatan Emosional: Berbelanja juga dapat berfungsi sebagai sarana untuk mengangkat suasana hati seseorang dan memberikan dorongan emosional. Bahkan, ada istilah retail therapy, di mana individu berbelanja untuk menghilangkan stres, kebosanan, atau emosi negatif, dapat menawarkan kelegaan sementara dan menciptakan rasa senang atau bahagia. Proses mengeksplorasi toko online, menemukan produk baru, dan mengantisipasi kedatangan paket dapat membangkitkan rasa kegembiraan dan kebaruan. Antisipasi dan sensasi yang terkait dengan pembelian baru berkontribusi pada pengalaman belanja online yang bermanfaat.
  • Ekspresi Diri: Berbelanja memungkinkan individu untuk mengekspresikan gaya, preferensi, dan identitas pribadi. Menemukan dan memperoleh barang-barang yang sesuai dengan selera dan minat mereka dapat meningkatkan harga diri dan memperkuat rasa percaya diri. Itu menjadi cara untuk meningkatkan image seseorang dan menampilkan diri kepada dunia.

Meskipun belanja dapat menjadi bentuk  self-reward, penting untuk mempraktikkan kebiasaan belanja yang penuh kesadaran dan tanggung jawab. 

Selama bisa bersifat menguntungkan dan tidak destruktif, tidak ada salahnya untuk berbelanja sebagai bentuk self-reward. 

Memperhatikan pengeluaran, menetapkan batasan, dan mempertimbangkan nilai pembelian jangka panjang dapat membantu menjaga keseimbangan yang sehat antara berbelanja sebagai bentuk self-reward dan kesejahteraan finansial.

Penting juga untuk mengenali bentuk  self-reward non-materi lainnya, seperti melakukan hobi, menghabiskan waktu bersama orang yang dicintai, atau investasi dalam pertumbuhan dan pengalaman pribadi.

Dalam konteks berbelanja sebagai self-reward, yang terpenting adalah mampu membentuk kebiasaan berbelanja yang sehat dan sebisa mungkin menghindari impulsive buying dan compulsive buying.

Apa itu impulsive buying dan compulsive buying?

Impulsive buying

Sifat impulsif merupakan faktor psikologis yang dapat mempengaruhi perilaku belanja online. Istilah impulsif mengacu pada kecenderungan untuk bertindak berdasarkan dorongan atau keinginan langsung tanpa mempertimbangkan konsekuensi potensial. 

Dalam konteks belanja online, impulsif dapat terwujud dalam perilaku impulsive buying, yang merupakan pembelian spontan dan tidak terencana.

Impulsive buying mengacu pada kecenderungan untuk melakukan pembelian yang tidak direncanakan dan spontan tanpa banyak pertimbangan atau perencanaan sebelumnya. Perilaku ini sering terwujud dalam pembelian barang yang tidak perlu atau di luar anggaran seseorang. Meskipun sekilas tampak tidak rasional, perilaku impulsive buying berakar pada berbagai faktor psikologis, yaitu:

  • Gratifikasi instan: Pada intinya, impulsive buying dapat dilihat sebagai sarana untuk mencari kesenangan dan kepuasan yang instan. Ketika individu menikmati impulsive buying, mereka mengalami gelombang emosi positif dan rasa puas yang sementara. Proses ini melepaskan dopamin dan menciptakan sensasi menyenangkan.
  • Regulasi emosi: Impulsive buying juga berfungsi sebagai mekanisme regulasi emosi. Di saat-saat stres, sedih, atau bosan, individu mungkin berbelanja sebagai cara untuk meredakan emosi negatif atau mengisi kekosongan emosional. Memperoleh sesuatu yang baru dapat secara sementara mendistraksi dan meningkatkan suasana hati, menciptakan rasa lega atau kebahagiaan emosional.
  • Ekspresi simbolis: Bagi banyak orang, impulsive buying merupakan bentuk ekspresi diri.  Membeli produk tertentu dapat memenuhi rasa memiliki, status sosial, atau gaya pribadi, sehingga meningkatkan harga diri dan memperkuat identitas seseorang.
  • Takut ketinggalan (Fear of Missing Out; FOMO):
    Rasa takut ketinggalan atau FOMO memainkan peran penting dalam impulsive buying. Popularitas produk, penawaran eksklusif, atau kelangkaan produk yang dirasakan memicu rasa urgensi dan menimbulkan rasa takut tidak memiliki barang yang diinginkan. (Baca tulisan saya mengenai FOMO di sini)

Penting untuk dicatat bahwa meski impulsivitas dapat memengaruhi perilaku belanja, tidak semua pembeli menunjukkan kecenderungan impulsif. Banyak orang yang berbelanja dengan bijaksana dan terencana, serta mempertimbangkan faktor-faktor seperti ulasan produk, perbandingan harga, dan kebutuhan aktual mereka.

Selain itu, impulsive buying tidak semata-mata didorong oleh impulsivitas. Ada berbagai faktor psikologis lain yang mendasari perilaku tersebut, seperti kepuasan emosional, kesenangan instan, atau keinginan untuk menghargai diri sendiri.

Memahami impulsive buying dapat membantu individu yang ingin mengelola kecenderungan impulsif mereka dan membuat keputusan berbelanja yang lebih terencana dan terinformasi. Teknik seperti melatih kesadaran, membuat daftar belanja, menetapkan batas pengeluaran, dan mengambil jeda sebelum checkout belanjaan dapat membantu individu mengurangi perilaku impulsive buying dan menyelaraskan kebiasaan berbelanja mereka dengan tujuan dan kebutuhan jangka panjang mereka.

Compulsive buying

Compulsive buying memiliki hubungan yang lebih kompleks dalam mengaitkan perilaku berbelanja dengan self-reward. Perilaku compulsive buying dapat berwujud dorongan berulang dan tak terkendali untuk berbelanja, didorong oleh faktor emosional yang mendasarinya dan kebutuhan akan kepuasan psikologis.

Dalam konteks perilaku berbelanja, compulsive buyer bisa saja berbelanja dan memperoleh barang baru sebagai bentuk self-reward. Kegembiraan dan kelegaan sementara dari emosi negatif yang datang dari barang yang dibeli saat belanja memberikan kepuasan emosional.

Namun, penting untuk dicatat bahwa compulsive buying tidak semata-mata didorong oleh self-reward. Compulsive buying berkaitan dengan berbagai faktor psikologis lain, seperti ketergantungan emosional, kebutuhan untuk lari dari kenyataan, atau upaya untuk mengisi kekosongan emosional melalui berbelanja. 

Compulsive buying juga dapat menyebabkan konsekuensi negatif, termasuk kesulitan keuangan dan tekanan emosional, yang dapat melemahkan aspek penghargaan diri dalam jangka panjang.

Compulsive buying umumnya dianggap sebagai masalah yang lebih serius daripada impulsive buying. Keduanya merupakan pembelian yang tidak direncanakan dan berlebihan, namun compulsive buying ditandai dengan hilangnya kendali dan pola perilaku kompulsif kronis yang dapat menimbulkan konsekuensi negatif yang signifikan.

Berikut beberapa alasan mengapa compulsive buying sering dipandang sebagai masalah yang lebih serius:

  • Kurangnya Kontrol: Compulsive buyer mengalami penurunan kemampuan untuk mengendalikan dorongan belanja mereka. Mereka mungkin tetap belanja meskipun ada kendala keuangan dan meskipun mereka tidak mampu. Kurangnya kontrol membedakan compulsive buying dari impulsive buying.
  • Pola Kronis: Compulsive buying biasanya ditandai dengan pola perilaku belanja berlebihan yang berulang dan berkelanjutan. Belanja menjadi bagian yang regular dan mendarah daging dari kehidupan individu, berpotensi menyebabkan kesulitan keuangan jangka panjang, hubungan yang rusak, dan dampak buruk lainnya.
  • Ketergantungan Emosional: Compulsive buyer sering mengandalkan belanja sebagai mekanisme koping untuk mengelola emosi negatif, stres, atau tekanan psikologis. Mereka mungkin berbelanja sebagai sarana untuk sementara meredakan emosi negatif atau mengisi kekosongan, yang dapat menciptakan siklus ketergantungan yang sulit untuk diputus.
  • Eskalasi: Seiring waktu, kecenderungan compulsive buying cenderung terus meningkat, dengan pembelian yang lebih sering atau lebih besar untuk mempertahankan tingkat kepuasan yang sama. Hal ini dapat menyebabkan meningkatnya masalah keuangan dan memperdalam siklus perilaku kompulsif.
  • Konsekuensi Negatif: Pembelian kompulsif dapat berdampak besar pada berbagai aspek kehidupan seseorang, termasuk kesejahteraan finansial, hubungan, performa kerja, dan kesehatan mental secara keseluruhan. Ini dapat menyebabkan hutang yang signifikan, gangguan fungsi sosial, dan tekanan emosional.

Perlu dicatat bahwa meskipun compulsive buying dianggap sebagai masalah yang lebih serius, baik impulsive buying dan compulsive buying membutuhkan perhatian dan dukungan jika mengganggu kesejahteraan dan fungsi individu. Memahami motivasi dan pemicu yang mendasari perilaku ini dapat membantu individu mencari intervensi yang tepat, seperti terapi, kelompok pendukung, atau konseling keuangan, untuk mengatasi akar penyebab dan mengembangkan kebiasaan berbelanja yang lebih sehat.

Biasakan berbelanja dengan sehat

Dalam dunia pilihan tak berujung dan penawaran menarik hanya dengan sekali klik, belanja online telah menjadi sarana yang semakin populer memanjakan keinginan kita dan memuaskan hasrat kita. 

Kita semua pernah melakukannya. Apalagi, di era digital ini, penting untuk memahami garis tipis yang memisahkan impulsive buying dari temannya yang lebih berbahaya: compulsive buying. 

Meskipun keduanya mungkin awalnya tampak tidak berbahaya, menggali lebih dalam karakteristik dan konsekuensinya yang berbeda dapat membantu kita menjelajahi dunia belanja online dengan sadar.

Impulsive buying mengacu pada kecenderungan untuk melakukan pembelian yang tidak direncanakan dan spontan tanpa banyak pemikiran sebelumnya. 

Hal ini ditandai dengan kurangnya perencanaan dan fokus pada kepuasan segera. Impulsive buyer didorong oleh dorongan emosional, seperti keinginan untuk kesenangan, kebaruan, atau kebutuhan untuk meredakan emosi negatif. 

Pembelian impulsif sering terjadi sebagai respons terhadap faktor situasional atau pemicu eksternal, seperti promosi penjualan, tampilan yang menarik, atau pengaruh sosial.

Sementara itu, compulsive buying, juga dikenal sebagai belanja kompulsif atau kecanduan belanja, adalah perilaku pembelian berulang dan berlebihan yang sulit dikendalikan. 

Compulsive buying ditandai dengan dorongan yang terus-menerus dan tak tertahankan untuk berbelanja, bahkan ketika hal itu menimbulkan konsekuensi negatif. 

Compulsive buyer sering kehilangan kendali atas perilaku belanja mereka dan mungkin merasa terjebak dalam siklus compulsive buying dan rasa bersalah atau menyesal.

Terbiasa berbelanja dengan sehat dan menghindari pembelian yang berlebihan atau pembelian yang tidak disadari membutuhkan pendekatan yang penuh niat dan kesadaran. 

Berikut adalah beberapa strategi yang dapat kita lakukan untuk mengendalikan diri dan membuat keputusan yang lebih tepat dalam berbelanja, termasuk belanja online:

  • Tetapkan Anggaran: Sebelum mulai berbelanja, buat anggaran untuk diri sendiri. Tentukan jumlah maksimum yang ingin dibelanjakan dan patuhi anggaran tersebut. Hal ini dapat membantu kita menghindari impulsive buying dan memastikan kita membuat pilihan sadar sesuai dengan kemampuan finansial kita.
  • Buat Daftar Belanja: Buat daftar barang spesifik yang dibutuhkan atau benar-benar ingin dibeli. Hindari menyimpang dari daftar tersebut sebisa mungkin. Hal ini membantu kita tetap fokus dan mengurangi kemungkinan melakukan impulsive buying.
  • Jangan Langsung Checkout: Ketika menemukan barang yang ingin dibeli, praktikkan "kepuasan yang tertunda" atau delayed gratification. Beri diri sendiri jeda, seperti 24 jam atau beberapa hari, sebelum benar-benar checkout dan bayar. Hal ini memberikan waktu untuk berpikir rasional dan refleksi, yang membantu kita menentukan apakah barang tersebut adalah kebutuhan asli atau keinginan sesaat.
  • Pertimbangkan Nilai dan Kualitas: Alih-alih hanya berfokus pada harga atau diskon, pertimbangkan nilai dan kualitas barang yang diminati. Carilah produk yang sesuai dengan kebutuhan, preferensi, dan tujuan jangka panjang. Berinvestasi pada barang-barang berkualitas lebih tinggi yang akan bertahan lebih lama bisa lebih memuaskan daripada mengalah pada alternatif yang impulsif dan lebih murah.
  • Hindari Berbelanja Saat Emosional: Berhati-hatilah saat berbelanja ketika sedang mengalami emosi yang intens seperti stres, kesedihan, atau kebosanan. Keadaan emosional dapat menyebabkan perilaku impulsive buying, atau yang lebih parah bisa menjadi compulsive buying. Sebaiknya, temukan cara yang lebih sehat untuk mengatasi emosi kita terlebih dahulu.
  • Evaluasi Kebiasaan Belanja: Secara teratur evaluasi kebiasaan belanja kita dan tinjau lagi untuk apa saja pengeluaran kita. Pertimbangkan apakah itu sudah selaras dengan nilai-nilai kita, tidak memberatkan secara finansial, memberikan kepuasan sejati, dan berkontribusi secara positif dalam hidup. Evaluasi ini membantu kita untuk lebih sadar dan memberdayakan kitauntuk membuat pilihan belanja yang lebih sehat.

Dengan menerapkan strategi di atas, atau mungkin strategi pribadi yang kita kembangkan masing-masing, kita dapat mengembangkan kebiasaan berbelanja yang lebih sehat, menghindari pembelian yang tidak perlu dan tidak sadar, serta mendapatkan kembali kendali atas pengeluaran kita. 

Ingatlah bahwa sesekali memanjakan diri dengan memanjakan diri atau menghadiahi diri sendiri, atau self-reward, adalah hal yang wajar, tetapi menjaga keseimbangan dan membuat pilihan yang hati-hati adalah kunci kesejahteraan finansial jangka panjang dan kepuasan yang hakiki. (oni)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun