Mohon tunggu...
Qanita Zulkarnain
Qanita Zulkarnain Mohon Tunggu... Lainnya - Magister Psikologi

Psychology Undergraduate and Psychometrics Graduate.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Checkout sebagai Bentuk Self-reward: Jangan Sampai Impulsive atau Compulsive Buying

25 Juni 2023   14:49 Diperbarui: 25 Juni 2023   15:33 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa itu impulsive buying dan compulsive buying?

Impulsive buying

Sifat impulsif merupakan faktor psikologis yang dapat mempengaruhi perilaku belanja online. Istilah impulsif mengacu pada kecenderungan untuk bertindak berdasarkan dorongan atau keinginan langsung tanpa mempertimbangkan konsekuensi potensial. 

Dalam konteks belanja online, impulsif dapat terwujud dalam perilaku impulsive buying, yang merupakan pembelian spontan dan tidak terencana.

Impulsive buying mengacu pada kecenderungan untuk melakukan pembelian yang tidak direncanakan dan spontan tanpa banyak pertimbangan atau perencanaan sebelumnya. Perilaku ini sering terwujud dalam pembelian barang yang tidak perlu atau di luar anggaran seseorang. Meskipun sekilas tampak tidak rasional, perilaku impulsive buying berakar pada berbagai faktor psikologis, yaitu:

  • Gratifikasi instan: Pada intinya, impulsive buying dapat dilihat sebagai sarana untuk mencari kesenangan dan kepuasan yang instan. Ketika individu menikmati impulsive buying, mereka mengalami gelombang emosi positif dan rasa puas yang sementara. Proses ini melepaskan dopamin dan menciptakan sensasi menyenangkan.
  • Regulasi emosi: Impulsive buying juga berfungsi sebagai mekanisme regulasi emosi. Di saat-saat stres, sedih, atau bosan, individu mungkin berbelanja sebagai cara untuk meredakan emosi negatif atau mengisi kekosongan emosional. Memperoleh sesuatu yang baru dapat secara sementara mendistraksi dan meningkatkan suasana hati, menciptakan rasa lega atau kebahagiaan emosional.
  • Ekspresi simbolis: Bagi banyak orang, impulsive buying merupakan bentuk ekspresi diri.  Membeli produk tertentu dapat memenuhi rasa memiliki, status sosial, atau gaya pribadi, sehingga meningkatkan harga diri dan memperkuat identitas seseorang.
  • Takut ketinggalan (Fear of Missing Out; FOMO):
    Rasa takut ketinggalan atau FOMO memainkan peran penting dalam impulsive buying. Popularitas produk, penawaran eksklusif, atau kelangkaan produk yang dirasakan memicu rasa urgensi dan menimbulkan rasa takut tidak memiliki barang yang diinginkan. (Baca tulisan saya mengenai FOMO di sini)

Penting untuk dicatat bahwa meski impulsivitas dapat memengaruhi perilaku belanja, tidak semua pembeli menunjukkan kecenderungan impulsif. Banyak orang yang berbelanja dengan bijaksana dan terencana, serta mempertimbangkan faktor-faktor seperti ulasan produk, perbandingan harga, dan kebutuhan aktual mereka.

Selain itu, impulsive buying tidak semata-mata didorong oleh impulsivitas. Ada berbagai faktor psikologis lain yang mendasari perilaku tersebut, seperti kepuasan emosional, kesenangan instan, atau keinginan untuk menghargai diri sendiri.

Memahami impulsive buying dapat membantu individu yang ingin mengelola kecenderungan impulsif mereka dan membuat keputusan berbelanja yang lebih terencana dan terinformasi. Teknik seperti melatih kesadaran, membuat daftar belanja, menetapkan batas pengeluaran, dan mengambil jeda sebelum checkout belanjaan dapat membantu individu mengurangi perilaku impulsive buying dan menyelaraskan kebiasaan berbelanja mereka dengan tujuan dan kebutuhan jangka panjang mereka.

Compulsive buying

Compulsive buying memiliki hubungan yang lebih kompleks dalam mengaitkan perilaku berbelanja dengan self-reward. Perilaku compulsive buying dapat berwujud dorongan berulang dan tak terkendali untuk berbelanja, didorong oleh faktor emosional yang mendasarinya dan kebutuhan akan kepuasan psikologis.

Dalam konteks perilaku berbelanja, compulsive buyer bisa saja berbelanja dan memperoleh barang baru sebagai bentuk self-reward. Kegembiraan dan kelegaan sementara dari emosi negatif yang datang dari barang yang dibeli saat belanja memberikan kepuasan emosional.

Namun, penting untuk dicatat bahwa compulsive buying tidak semata-mata didorong oleh self-reward. Compulsive buying berkaitan dengan berbagai faktor psikologis lain, seperti ketergantungan emosional, kebutuhan untuk lari dari kenyataan, atau upaya untuk mengisi kekosongan emosional melalui berbelanja. 

Compulsive buying juga dapat menyebabkan konsekuensi negatif, termasuk kesulitan keuangan dan tekanan emosional, yang dapat melemahkan aspek penghargaan diri dalam jangka panjang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun