Miskonsepsi umum lainnya tentang skor IQ adalah bahwa skor IQ bisa dipukul rata di budaya yang berbeda. Faktanya, banyak tes IQ dikembangkan dan dinormakan di negara-negara Barat dan mungkin mencerminkan bias budaya masyarakat tersebut. Misalnya, beberapa pertanyaan tentang tes IQ mungkin didasarkan pada pengetahuan atau pengalaman yang lebih umum di budaya Barat, yang dapat menyebabkan skor yang lebih rendah untuk individu dari budaya non-Barat. Bias budaya ini dapat menyebabkan penilaian kecerdasan yang tidak akurat atau tidak adil bagi individu dari latar belakang budaya yang berbeda.
Misalnya, pertanyaan mengenai fenomena salju tidak relevan di negara tropis. Ketika anak-anak di negara tropis tidak mampu menjawabnya, bukan karena mereka memiliki kemampuan kognitif yang lebih rendah, tetapi karena memang pertanyaannya bias budaya. Atau, pertanyaan mengenai prosedural transportasi umum seperi MRT dan LRT akan mudah dijawab oleh anak-anak di ibu kota namun sulit dijawab oleh anak-anak di pedalaman. Bukan karena anak-anak di pedalaman tidak lebih pintar, tapi pertanyaannya bias menguntungkan anak-anak di ibu kota.
Miskonsepsi #7: Skor IQ adalah ukuran karakter moral atau etika
Beberapa orang secara keliru percaya bahwa skor IQ adalah ukuran karakter moral atau etika, seperti kejujuran, integritas, atau empati. Tes kecerdasan dirancang untuk mengukur kemampuan kognitif, bukan karakter moral atau etika. Mungkin ada beberapa konsep yang tumpang tindih antara kemampuan kognitif dan karakter moral, tapi kedua hal tersebut adalah konstruk yang berbeda secara fundamental yang tidak dapat diukur dengan tes yang sama.
Miskonsepsi #8: Skor IQ dapat mendiagnosis gangguan mental
Skor IQ bukanlah alat diagnostik untuk gangguan mental. Meskipun mungkin ada hubungan antara kemampuan kognitif tertentu dan gangguan mental, seperti skor IQ yang rendah dikaitkan dengan disabilitas perkembangan tertentu, tapi penegakan diganosis tidak dapat dilakukan hanya dan hanya dengan skor IQ saja tanpa pembanding. Diagnosis membutuhkan evaluasi komprehensif yang memperhitungkan berbagai faktor, termasuk fungsi kognitif, perilaku, dan emosional.
Miskonsepsi #9: Skor IQ sama validnya untuk semua kelompok umur
Miskonsepsi lain tentang skor IQ adalah bahwa mereka sama-sama valid untuk semua kelompok umur. Tes kecerdasan biasanya bernorma untuk kelompok usia tertentu, dan validitas skor dapat bervariasi tergantung pada usia peserta tes. Misalnya, seorang anak yang mengikuti tes kecerdasanyang dirancang untuk orang dewasa mungkin hasilnya sebaik orang dewasa yang mengikuti tes yang sama, meskipun mereka memiliki kemampuan kognitif yang serupa.Â
Penting untuk menggunakan tes kecerdasan yang sesuai dengan usia dan tingkat perkembangan seseorang untuk memastikan hasil yang akurat.
Miskonsepsi #10: Skor IQ adalah ukuran nilai atau harga diri seseorang
Terakhir, penting untuk ditekankan bahwa skor IQ bukanlah ukuran nilai atau harga diri seseorang sebagai manusia. Kecerdasan hanyalah salah satu aspek dari identitas seseorang dan tidak boleh digunakan untuk membuat penilaian atau asumsi tentang karakter atau potensi seseorang. Selain itu, tes kecerdasan memiliki sejarah panjang digunakan untuk membenarkan diskriminasi dan pengucilan, terutama terhadap kelompok yang terpinggirkan, jadi penting untuk mendekati skor IQ dengan hati-hati dan sensitif.