Mohon tunggu...
Qanita Zulkarnain
Qanita Zulkarnain Mohon Tunggu... Lainnya - Magister Psikologi

Psychology Undergraduate and Psychometrics Graduate.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

10 Miskonsepsi Tentang Skor IQ: Pahami Juga Bahayanya

17 April 2023   14:32 Diperbarui: 18 April 2023   10:01 1220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kenapa masih digunakan alat ukur yang seperti itu?

Karena adaptasi tes dan pembaharuan norma memakan banyak waktu dan membutuhkan biaya yang besar. Konstruksi tes baru jauh lebih lama dan mahal. Belum lagi, ahli psikometri yang minim secara kuantitas di Indonesia.

Di dunia kerja, kita mungkin mengenal EPPS untuk mengukur kecerdasan. Sama dengan berbagai tes kecerdasan lainnya, hasilnya dirangkum dalam skor IQ.

Seiring waktu, konsep skor IQ menjadi lebih banyak digunakan, baik dalam penelitian maupun dalam budaya populer. Skor IQ sering digunakan untuk membuat klaim tentang kecerdasan bawaan dan mengkategorikan individu ke dalam kelas sosial yang berbeda berdasarkan kemampuan intelektual mereka.

Namun, karena penggunaan skor IQ menjadi lebih luas, kekhawatiran mulai muncul tentang potensi penyalahgunaan dan diskriminasi di masyarakat. Ada kekhawatiran bahwa skor IQ dapat dipengaruhi oleh dan mempengaruhi faktor budaya dan sosial ekonomi, dan mungkin digunakan untuk membenarkan praktik diskriminatif.

Menanggapi keprihatinan ini, para psikolog mulai mengembangkan tes kecerdasan yang lebih adil secara budaya dan bersifat terstandardisasi untuk mengembangkan pemahaman yang lebih bernuansa tentang kecerdasan dan pengukurannya. Saat ini, skor IQ tetap menjadi ukuran kecerdasan yang banyak digunakan, tetapi penggunaannya sering kontroversial dan menjadi bahan perdebatan dan diskusi.

10 Miskonsepsi Umum Mengenai Skor IQ

IQ kita pahami sebagai ukuran kemampuan kognitif seseorang. Di dalamnya termasuk penalaran, pemecahan masalah, dan pemikiran abstrak. Tes kecerdasan yang menghasilkan skor IQ telah digunakan selama beberapa dekade sebagai cara untuk mengukur potensi intelektual dan memprediksi kesuksesan masa depan di berbagai bidang seperti pendidikan dan pekerjaan.

Namun, ada banyak miskonsepsi tentang skor IQ yang dapat menyebabkan kesalahpahaman dan penyalahgunaan tes ini. Berikut adalah 10 miskonsepsi umum mengenai skor IQ.

Miskonsepsi #1: Skor 120 pasti pintar, skor 80 pasti bodoh

Miskonsepsi umum dalam interpretasi skor hasil tes psikologi adalah patokan angka. Masalahnya, setiap alat tes memiliki panduan normatifnya masing-masing. Pada tes A, bisa jadi rata-rata skor IQ adalah  100-120 sehingga 120 belum tergolong di atas rata-rata. Atau, pada tes B, bisa jadi rata-rata skor IQ adalah 80-100 sehingga 80 tidak dapat dikategorikan bodoh.

Angka bukan patokan masyarakat dalam menilai kecerdasan. Angka adalah patokan psikolog dan ahli psikometri untuk mengkategorikan individu, apakah ia masuk ke kelompok rata-rata, atau di atas rata-rata, atau di bawah rata-rata.  Kategori ini yang harusnya menjadi patokan masyarakat. Ketika kecerdasan kita rata-rata, artinya kemampuan untuk belajar, bernalar, memecahkan masalah, dan beradaptasi dengan situasi baru kurang lebih sama dengan kebanyakan orang. Ketika di atas rata-rata, mungkin kita akan lebih mudah untuk elajar, bernalar, memecahkan masalah, dan beradaptasi dengan situasi baru dibandingkan kebanyakan orang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun