"Hmm.. Kamu tahu, Na, ombak yang secara perlahan mengikis karang, itu bukan karena ombak itu hebat. Tapi ombak hanya menjalani fitrah yang ditetapkan oleh Tuhan untuknya. Kita menilainya sebagai suatu hal yang menakjubkan, tapi bagi ombak bisa saja rutinitas itu terasa sangat menjemukan. Bisa saja ombak sebenarnya sangat bosan dengan perannya," tutur Nesya.
"Maksudmu, kamu sebenarnya bosan menjalani hidup dengan Firan?" Ana mencoba menebak.
"Sudah dua tahun bersamanya, ternyata cinta itu tidak kunjung hadir, Na. Dulu aku menikah dengannya agar aku tidak terus berlarut dalam kesedihan setelah meninggalnya Arman, pria yang telah mengkhitbahku. Tapi, sekarang aku menyesal, Na. Aku takut menyakiti Firan jika aku meninggalkannya.Â
Dan aku takut Allah murka padaku. Tapi di sisi lain, aku belum bisa mencintainya. Kelahiran Neira juga tidak membuatku lekas mencinta Mas Firan. Aku bingung, Na." Nesya terisak. Aku merasa terpelanting ke dalam jurang. Aku terkapar dengan ribuan tombak es menghujam ke tubuh. Aku sangat tidak menyangka. Ternyata Nesya hanya bersandiwara selama ini. Dia bahagia dalam fatamorgana.
"Kenapa tidak jujur saja pada Firan? Bicaralah baik-baik, semoga Firan mengerti, dan melepasmu secara baik-baik."
"Itu sangat sulit, Na. Dia sepertinya sangat mencintaiku. Aku tidak tega merusak kebahagiaannya. Dia sangat baik. Aku benar-benar tidak tega, Na..."
Tubuhku ingin meledak saja rasanya. Aku terpukul sekencang-kencangnya oleh realita yang sebenarnya. Aku bukan hidup dalam cinta Nesya, tapi aku hidup dalam belas kasihannya. Kenapa? Kenapa aku harus tahu semua ini? Kenapa aku tidak pantas untuk dicintai Nesya? Apa artinya jodoh jika hidup bersama dalam dua kutub? Aku ingin menumpahkan seluruh air mataku untuk menggantikan keperihan hati yang menderaku. Sakit, sangat sakit.
***
Aku membaca tasbih berulang-ulang  di dalam masjid. Beberapa kali air mataku menetesi lantai. Ya, di setiap lafaz tasbih, di setiap butiran air mata yang jatuh, aku melihat ada cinta, cinta yang tak pernah bisa kusentuh. Aku tersentak saat kurasa ada tangan menepuk-nepuk pundakku. Aku tidak berani menoleh. Aku malu dengan keadaanku yang berantakan.
"Bukan manusia namanya jika hidup tanpa masalah. Kamu memiliki hak selain menangisi masalahmu, yaitu hak untuk menyelesaikan masalah itu." Suara lembut dan bijak menerobos gendang telingaku. Aku mencoba untuk menahan isak. Aku perlahan menoleh pada sumber suara. Seorang pria tua berjenggot putih mengulas senyum hangatnya.
"Cobalah sedikit cerita pada orang tua ini. Siapa tahu aku bisa membantumu dengan izin Allah." Orang tua itu kembali mengulas senyumnya. Aku berusaha menenangkan diri. Senyum orang tua itu membuatku merasa nyaman, merasa menemukan tempat untuk bercerita.