Mohon tunggu...
Muklis Saputra
Muklis Saputra Mohon Tunggu... Guru - Menjalani profesi sebagai penulis, wirausaha, dan guru

Penulis lepas

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Hampa(ran) Cinta

27 Juni 2024   09:29 Diperbarui: 27 Juni 2024   14:01 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Namanya Nesya Amanda. Wanita yang dalam kesehariannya selalu mengenakan jilbab, kaca mata minus, tas punggung, dan sapu tangan pink. Aku pertama kali melihatnya di acara bedah buku. Aku selaku moderator dengan sangat mudah mengenali wanita cantik itu karena ia duduk di barisan paling depan dengan tampilan yang mentereng. Wajahnya yang kejepang-jepangan membuatnya lebih mudah menarik tatapan mata.

Sudah dua tahun aku menjalani hidup dengan Nesya. Sebuah kebersamaan  yang tidak mudah untuk dimengerti. Perjalanan cinta yang tidak pernah terbayangkan. Pasalnya, walaupun aku tertarik pada Nesya saat pertama kali bertemu dengannya, tapi kami sama sekali tidak menjalin komunikasi. Bahkan aku sama sekali tidak tahu nama wanita elegan itu. Ya, karena aku sangat menjaga diri dari yang namanya wanita. Satu prinsip yang kupegang, aku hanya akan memberikan cintaku pada wanita yang memang ditakdirkan Tuhan menjadi jodohku. Jadi, selama aku merasa belum siap untuk menikah, maka aku tidak akan mencoba menjalin hubungan yang aneh-aneh dengan wanita manapun.

Masih sangat segar diingatanku, bagaimana sketsa itu terjadi. Aku masih sangat mengingatnya......

"Ada job super dahsyat, Sob. Kamu mau?" tutur Aldo dengan antusias. Sebagai seorang petualang tentu aku sangat tertarik dengan penuturan pria berkulit putih itu.

"Job apa?"

"Menikahi wanita cantik dan saleha. Job hebat, kan? Kalau saja aku belum menikah, tentu aku yang bakal eksekusi job ini." Aldo menyeringai.

"Huh, kamu ini, Al. Kukira job betulan. Buat orang kecewa saja."

"Hei, Bung Firansyah. Ini lebih dari sekedar job seperti yang sering kita kerjakan. Aku mendapat amanah dari Ustadz Imran untuk mencari seorang lelaki yang siap menikah, syaratnya minimal hafal satu juz Al-quran. Mudah, kan? Kamu lebih dari sekedar memenuhi syarat itu."

"Hahaha. Tapi aku belum siap menikah, Al.."

"Fir, kamu lebih dari sekedar siap. Hanya kamu tidak mau memikirkannya saja."

"Ee, maksudku.. Maksudku aku belum kepikiran untuk menikah dalam waktu dekat ini," kilahku.

"Coba dulu! Kamu boleh batalkan jika merasa tidak cocok setelah ta'aruf. Sekarang ikut aku ke tempat ustadz Imran!" Aldo menarik lenganku dengan kuat. Aku pasrah saja. Aku tahu persis seperti apa Aldo jika sudah punya keinginan. Yang penting ada satu hal yang bisa kugarisbawahi, aku boleh batalkan jika setelah ta'aruf ternyata merasa tidak cocok dengan si wanita yang diceritakan Aldo. Ya, itu yang kupegang.

***

Debar jantungku terasa tak beraturan. Aku merasa begitu panik. Ini pertama kalinya aku menjalani proses ta'aruf. Diperparah dengan tidak adanya persiapan sama sekali. Terdengar suara salam dari luar pintu rumah ustadz Imran. Sudah dapat ditebak, itu pasti rombongan dari wanita yang diceritakan Aldo. Aku tambah tidak karuan dibuatnya.

"Fir, itu wanita yang diceritakan Aldo," ujar ustadz Imran sambil tersenyum lembut. Dan aku seperti tersambar petir. Sama sekali tak menyangka bila wanita yang sedang berta'aruf denganku adalah wanita kejepang-jepangan yang pernah mengusik hatiku. Nesya Amanda namanya. Dan mendapati kenyataan itu, aku tidak dapat berbuat banyak, kecuali mengucap kata setuju. Dan untungnya Nesya pun bersedia menikah denganku.

***

Nesya adalah wanita yang nyaris sempurna. Dia cantik secara fisik dan hati. Begitu ceria menjalani hidup, dan sangat santun terhadap suami. Hari-hariku bertabur kebahagiaan bersamanya. Aku selalu berdoa agar dapat bersamanya hingga di surga.

Kini sudah genap dua tahun aku bersamanya. Hari ini adalah hari ulang tahun kedua pernikahan kami. Aku sudah menyiapkan kejutan untuknya. Sengaja aku pulang dari kantor lebih awal. Segala sesuatu telah kupersiapkan untuk membuat Nesya tercengang.

Perlahan-lahan aku menerobos masuk jendela kamar yang sengaja tidak kukunci. Kuletakkan kue tar besar di atas meja. Tapi aku lupa tidak membawa korek untuk menyalakan lilin. Segera kulangkahkan kaki ke dapur untuk mencari korek api. Dari dapur sayup-sayup terdengar obrolan dari ruang tamu. 

Langkahku langsung terhenti. Bisa gagal rencanaku jika di depan ada tamu. Aku mengendap-endap untuk memastikan suara di ruang tamu. Dan memang ada dua suara wanita yang berbeda. "Ah, sial! Bisa tertunda rencanaku," keluhku. Lamat-lamat aku mencoba mengikuti arah obrolan mereka.

"Nes, bagaimana caramu bertahan dengan Firan? Bukankah kamu tidak mencintainya? Apa kamu sudah benar-benar bisa melupakan Arman?" Duppp. Jantungku rasanya mau copot mendengarnya. Nesya tidak mencintaiku? Benarkah? Suara di depan sangat kukenal, itu suara Ana, teman baik Nesya.

"Hmm.. Kamu tahu, Na, ombak yang secara perlahan mengikis karang, itu bukan karena ombak itu hebat. Tapi ombak hanya menjalani fitrah yang ditetapkan oleh Tuhan untuknya. Kita menilainya sebagai suatu hal yang menakjubkan, tapi bagi ombak bisa saja rutinitas itu terasa sangat menjemukan. Bisa saja ombak sebenarnya sangat bosan dengan perannya," tutur Nesya.

"Maksudmu, kamu sebenarnya bosan menjalani hidup dengan Firan?" Ana mencoba menebak.

"Sudah dua tahun bersamanya, ternyata cinta itu tidak kunjung hadir, Na. Dulu aku menikah dengannya agar aku tidak terus berlarut dalam kesedihan setelah meninggalnya Arman, pria yang telah mengkhitbahku. Tapi, sekarang aku menyesal, Na. Aku takut menyakiti Firan jika aku meninggalkannya. 

Dan aku takut Allah murka padaku. Tapi di sisi lain, aku belum bisa mencintainya. Kelahiran Neira juga tidak membuatku lekas mencinta Mas Firan. Aku bingung, Na." Nesya terisak. Aku merasa terpelanting ke dalam jurang. Aku terkapar dengan ribuan tombak es menghujam ke tubuh. Aku sangat tidak menyangka. Ternyata Nesya hanya bersandiwara selama ini. Dia bahagia dalam fatamorgana.

"Kenapa tidak jujur saja pada Firan? Bicaralah baik-baik, semoga Firan mengerti, dan melepasmu secara baik-baik."

"Itu sangat sulit, Na. Dia sepertinya sangat mencintaiku. Aku tidak tega merusak kebahagiaannya. Dia sangat baik. Aku benar-benar tidak tega, Na..."

Tubuhku ingin meledak saja rasanya. Aku terpukul sekencang-kencangnya oleh realita yang sebenarnya. Aku bukan hidup dalam cinta Nesya, tapi aku hidup dalam belas kasihannya. Kenapa? Kenapa aku harus tahu semua ini? Kenapa aku tidak pantas untuk dicintai Nesya? Apa artinya jodoh jika hidup bersama dalam dua kutub? Aku ingin menumpahkan seluruh air mataku untuk menggantikan keperihan hati yang menderaku. Sakit, sangat sakit.

***

Aku membaca tasbih berulang-ulang  di dalam masjid. Beberapa kali air mataku menetesi lantai. Ya, di setiap lafaz tasbih, di setiap butiran air mata yang jatuh, aku melihat ada cinta, cinta yang tak pernah bisa kusentuh. Aku tersentak saat kurasa ada tangan menepuk-nepuk pundakku. Aku tidak berani menoleh. Aku malu dengan keadaanku yang berantakan.

"Bukan manusia namanya jika hidup tanpa masalah. Kamu memiliki hak selain menangisi masalahmu, yaitu hak untuk menyelesaikan masalah itu." Suara lembut dan bijak menerobos gendang telingaku. Aku mencoba untuk menahan isak. Aku perlahan menoleh pada sumber suara. Seorang pria tua berjenggot putih mengulas senyum hangatnya.

"Cobalah sedikit cerita pada orang tua ini. Siapa tahu aku bisa membantumu dengan izin Allah." Orang tua itu kembali mengulas senyumnya. Aku berusaha menenangkan diri. Senyum orang tua itu membuatku merasa nyaman, merasa menemukan tempat untuk bercerita.

"Istriku tidak mencintaiku, Pak Kyai," ucapku parau.

"Hahahaha... Nampaknya kamu sedang patah hati, ya?" Si pak tua terkekeh. Aku mngernyitkan dahi. "Kenapa bisa begitu, Nak?" lanjut orang tua berjenggot putih itu.

"Entahlah, Kyai. Kami telah berumahtangga selama dua tahun. Tapi, ternyata selama dua tahun juga dia hanya berpura-pura mencintaiku. Aku tidak sengaja mendengar percakapan dia dengan sahabatnya. 

Dia menikah denganku karena tidak ingin berlarut-larut dalam kesedihan setelah ditinggal mati oleh lelaki yang dia cintai. Dan aku tidak tahu siapa lelaki itu. Aku benar-benar sakit, Pak Kyai. Kukira dia mencintaiku, tapi ternyata tidak."

"Lalu, apa yang akan kamu lakukan?"

"Sepertinya aku akan melepasnya, Kyai. Aku tidak mau hidup dalam cinta yang palsu. Dan aku tidak ingin dia menderita karena terpaksa hidup bersamaku. Aku sangat mencintainya, Kyai. Aku ingin dia bahagia."

"Kamu yakin dia akan bahagia setelah berpisah denganmu?"

"Entahlah. Setidaknya aku telah melepasnya dari belenggu."

"Kenapa tidak dengan cara lain saja? Kamu buat dia mencintaimu misalnya?"

"Buat dia mencintaiku?" Aku terkejut. Hal itu sama sekali tidak terpikirkan olehku.

"Ya, buatlah dia jatuh cinta! Selama ini kamu mengira dia mencintaimu, sehingga kamu tidak berusaha untuk membuatnya jatuh cinta padamu. Dalam berumahtangga, perasaan saling mencintai sangat mutlak diperlukan."

"Ya..." Aku tersenyum sambil manggut-manggut tanda setuju.

"Ingat! Kamu mencintainya, Nak. Jadi, perjuangkan cintamu! Memperjuangkan cinta adalah keindahan. Jika kamu ingin merasakan keindahan itu terus-menerus, maka teruslah perjuangkan cintamu!"

Aku tersenyum lebar. Kurasa sudah kutemukan jawabannya. Nesya, tunggu aku! Akan kubuat kau jatuh cinta padaku.

Bersambung ....

Apakah Firan akan berhasil membuat Nesya jatuh cinta? Atau Firan hanya akan semakin jatuh?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun