Kuingat pertama kali ketika aku iseng mendaftar sebagai sukarelawan di panti jompo ini untuk mengisi waktu luangku di musim dingin. Waktu itu kepala panti mengatakan bahwa mereka kekurangan tenaga di gesloten afdeling – bagian dari panti jompo untuk merawat pasien penderita demensia – dan memintaku apakah aku mau membantu di sana. Aku agak ragu mengiyakan.
Kepala panti kemudian mengenalkan aku pada Mina – seorang perempuan tanpa keluarga berusia 79 tahun yang menjadi penghuni bagian ini sejak empat bulan yang lalu.
Sebenarnya tugasku sederhana. Menemani Mina dan membantunya makan atau minum. Aku bahkan tidak perlu – tidak boleh lebih tepatnya – membantu Mina ke toilet karena aku bukan perawat. Namun karena usahaku untuk berkomunikasi dengan Mina seringkali berujung tanpa hasil, hari-hari pertama kulewati dengan perasaan hampir putus asa. Mina lebih sering diam dan beberapa kali dalam sehari bertanya siapa aku dan apakah aku mau menemaninya di sana. Jawabanku pun selalu sama: Aku Roos, Mina…
---
Pagi ini dengan penuh semangat aku mengayuh sepedaku menuju panti jompo itu. Aku kangen Mina. Selama satu setengah minggu libur dari kegiatan panti jompo membuatku sadar bahwa aku mulai menyayangi Mina. Aku tak sabar mendengar pertanyaanya: “Kamu siapa?”. Aku tersenyum geli sendiri.
---
Dengan perlahan aku masuk ke kamar Mina. Kosong. Tempat tidur rapi. Kursi roda terparkir di pojok ruangan. Mina tak ada.
Aku meletakkan bunga yang sengaja kubawa untuk Mina di atas meja kecil dekat tempat tidurnya. Segera kusadari foto yang bisa berada di atas meja Mina pun tidak terlihat. Barang-barang Mina tidak ada. Aku mulai curiga.
Dengan langkah tergesa aku menuju kamar kepala perawat yang terletak di ujung lorong.
Kepala perawat menyambutku, “Mina meninggal dalam tidurnya tiga malam yang lalu.”
Aku hanya terpaku.