Mohon tunggu...
Putri diahayu
Putri diahayu Mohon Tunggu... Lainnya - Putri Diah Ayu Pitaloka

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tanpa Kepala

5 Agustus 2020   19:45 Diperbarui: 5 Agustus 2020   19:47 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tanpa Kepala

Oleh Putri Diah Ayu Pitaloka

Sraaakkkk...ssrrrraakkkk...ssraakkkk... seorang pria paruh baya dengan pakaian compang-camping, lusuh, dan bau anyir, berjalan menyusuri lorong-lorong sunyi sekolahku. Sembari menarik karung goni yang terlihat penuh bangkai berlumur darah dan berbau busuk. Ia terus berjalan dengan tatapan kosong. 

Angin yang menghambur kocar-kacir, membawa bau tak sedap itu ke sudut-sudut tak terjangkau. Ia terus berjalan, menyisakan bercak-bercak darah yang terkatung di kulit karung. Mata pria paruh baya itu terbelalak melihat sosok security tinggi besar berseragam rapih telah berdiri tepat didepannya.

          “Selamat malam Bapak”, situasi tetap hening, pria itu tetap membisu dan bungkam.

          “Permisi Bapak, boleh saya cek isi karungnya?”.

Belum sampai menggapai karung itu, security tersebut melihat banyak darah mengucur deras di lehernya. Seolah tidak melihat apapun, pria paruh baya di hadapannya meneruskan perjalanan sampai lenyap dimakan gelap.

***

Kukuruyuuukkkkkkk......ucapan selamat pagi dari si jago milik Ayah menjadi pertanda alam sudah bangun dari tidurnya. Seperti biasa, aroma telur goreng dan susu coklat buatan ibu sangat menusuk hidung. Huh... sayangnya aku tidak bisa sarapan dengan tenang. Senin. Ya, hari ini adalah bagianku piket di sekolah. 

Berangkat pukul 6 sudah menjadi kebiasaanku di hari ini. Ku ambil langkah cepat, dengan tergesa-gesa ku teguk segelas susu tanpa jeda. Tidak berpikir panjang, tanganku sudah meraih tas dan sepatu. Begitu gesit dan lincahnya, ku tegapkan badan dan segera menuju ke arah dapur.

          “Ibu, Ayah. Riri berangkat. Assalamualaikum.” mencium tangan ibu kemudian tangan ayah secara bergantian dengan postur gelisah.

          “Waalaikumsalam. Mau kemana nak? ibumu aja belum berangkat kok kamu rajin banget” ayah menggodaku dengan pertanyaan leluconnya.

Aku hanya tersenyum kecil, itulah cara sederhana menjawab lelucon ayah. Ayah terus saja menggodaku perihal berangkat sekolah. Ibu adalah guru di sekolahku, itulah sebabnya mengapa ayah selalu menjadikanku dan ibu sebagai topik lelucon di Pagi hari.

Kakiku terus melangkah hingga menghamburkan suasana dapur dan ruang makan yang sedari tadi ku hinggapi. Rencanaku pagi ini tidak berjalan dengan baik, langkahku mulai berhenti ketika ada sebuah tangan yang menepuk pundakku,

          “Mau kemana? Anak manis”.

Sontak terkejut, bagaimana mungkin pria itu telah berdiri tepat di belakangku. Tangan gemetar tidak karuan, keringat dingin mengucur keluar mengeroyok pori-pori kulit, jantung berdegub tidak beraturan. Pikiranku terus bergelut dengan segala macam pertanyaan, bagaimana bisa? Dia benar-benar di belakangku? 

Bagaimana bisa dia tau aku disini? Tidak hanya itu, otakku terus saja menyuruhku untuk lari sekencang-kencangnya. Baru saja akan mengambil langkah untuk lari, tangan pria itu langsung sergap mencengkram tangan kecilku. Seketika aku tidak dapat lagi mengontrol teriakan-teriakan yang sontak keluar dari mulutku.

“Tidaakkk, tolongg...tolong lepaskan aku kali ini. Aku mohon...Tolong” air mata telah kuyup menggenangi iris.

“Ha..ha..ha.. Apa? Gadis manis mau bebas? Ck..ck..ck..” bibirnya menyeringai ganas. Sambil tertawa terbahak-bahak, dengan senangnya dia menertawakanku.

“Riri, kamu ini lucu sekali”. Firman terus saja terbahak-bahak. Ternyata sedari tadi ia menggodaku. Ya, seperti itulah hobinya, menjailiku.

***

Firman. Firman badaruddin nama lengkapnya. Kami kenal dekat karena rumah kami bersebelahan, aktivitas kita hanya terhalang dengan satu tembok perumahan. Semua teriakan dan tangisanku ketika dimarahi ibu terdengar di bilik kamarnya. Rasanya, kami seperti tinggal serumah saja.

Segera kuhamburkan lamunanku tentang dirinya, aku segera mengambil langkah laju menuju sekolah. Kakinya mengiringi langkah kakiku yang begitu cepat. Dia tau betul bagaimana cara menghadapi emosiku. Ya seperti itu, diam adalah cara terbaik untuk menghadapiku.

Sesampainya di depan kelas, tubuhku gemetar tak terhentikan, bibirku membisu, dan perutku serasa diaduk-aduk. Aku tidak tahan lagi, ku muntahkan, ku keluarkan semua isi perutku. Genangan berwarna merah itu tercecer didepan ruang-ruang kelas dan memberikan bau anyir. Terlihat jelas bahwa itu memang genangan darah.

“Astagfirulah, ape tuh” firman benar-benar terkejut.

Tidak lama, semua orang berkerumun memenuhi sekolahku. Kemudian, sekelompok aparat kepolisian keluar dari arah kamar mandi dan membawa kantong panjang seukuran tubuh manusia. Semua orang meliput dan mengabadikan momen yang teramat miris. Beberapa polisi menanyai kami, sebagai saksi mata pertama.

“Macam mane kami nak tau. Kami berdue baru jak datang am. Kami ni baru datang, langsung am nengok ka depan sekolah ni tibe-tibe sudah penuh darah am.”

Firman menjawab semua pertanyaan dari polisi dan wartawan yang ada. Sedangkan, aku hanya bisa duduk membisu disampingnya. Suara keramaian dan pertanyaan wartawan mulai sirna dan bertumpuk dengan suara lain yang cukup mengusik. Awalnya suara itu terdengar samar-samar. Tidak lama, suara itu semakin keras. Baru saja redam, tiba-tiba muncul lagi. Sampai akhirnya… plaaaakkkk…

“Aduh buk, sakit.”

“Sakit, sakit dari tadi tidur terus.”

“Kaget aku. Mimpinya lagi di puncak ketegangan kok dibangunin buk, buk.” Kembali meraih guling dihadapannya.

“Astagfirullah bangun Ri udah jam 9 ini, kok malah nyari posisi tidur lagi. Katanya ada kerja kelompok bareng Firman sama Sela. Temenmu udah nunggu di depan rumah itu lho. Sana mandi dulu.” Berjalan keluar kamar, dan menuju ruang tamu yang sudah penuh dengan barang-barang yang dibawa sales langganannya.

Bergegas melompat dari kasur dan segera mandi. Beberapa menit kemudian aku izin untuk mengerjakan tugas kelompok, akan tetapi, ibu tidak tahu, sebenarnya setelah kerja kelompok kami akan pergi ke blok-blok perkebunan kelapa sawit untuk mencari jamur janjangan. Jika aku izin, pasti ibu akan marah dan melarang, dengan alasan berbahaya, ada binatang buas, dan ada pemenggal kepala. Tapi, kami tetap saja tidak takut dan menganggap pemenggalan kepala anak-anak hanyalah sebuah isu yang beredar di daerah heterogen ini.

***

Sorot mata mereka langsung berubah haluan, tangan Sela melambai-lambai, mengisyaratkan bahwa mereka telah lama menunggu. Ku percepat langkah untuk menghampiri mereka. Segera kutarik kursi disamping Sela. Kemudian, semua aktivitas belajar dimulai dan berakhir setelah dua jam kemudian. Tangan nakal Sela mulai beraksi, dan memulai pembicaraan rahasia menggunakan bahasa tubuh.

            “Hmmmm” mengangguk-angguk adalah caraku menjawab bahasa tubuhnya.

Tanpa berpikir Panjang kami mulai mengambil langkah pergi. Tidak jauh dari teras rumah, bau anyir darah tercium jelas. Kami yakin bau itu berasal dari keranjang yang terkatung di atas motor pak Mansyur. Pak Mansyur adalah sales langganan ibu, yang sering berkeliling dari pintu ke pintu. Kami penasaran, tapi tiba-tiba terdengar suara, praakkkk!!!!

            “Heee, lapo iku? Bocah mbedik, dudu nggone kok di inceng-inceng.” Dengan tatapan kesal, sembari menghantamkan sepatunya ke lantai teras rumah.

            “Hhmmmbbb, bau apa ini? Kok kayak bangkai!!!” ibuku tiba-tiba melontarkan kalimat itu.

Baunya memang benar-benar menyengat sampai kami juga sangat penasaran. Ibuku berkali-kali bertanya kepada sales langganannya, tapi tetap saja pak Mansyur bilang bahwa bau busuk itu tidak berasal dari keranjangnya. Ibu terus memaksa pak Mansyur untuk membuka keranjang yang ia bawa, seketika pak Mansyur langsung menunjuk tukang sampah yang ada di sebrang jalan.

            “Nah itu, bau busuknya pasti dari sana.” Sambil terus menunjuk-nunjuk.

Saling tuduh menuduh hingga saling adu mulut. Entahlah, bagaimana akhir dari permasalahan ini. Hingga akhirnya, kami memutuskun untuk pergi mencari jamur, tanpa menghiraukan ibu, pak Mansyur dan tukang pemungut sampah. Kami bergegas meninggalkan mereka yang sibuk dengan masalahnya.

***

Tidak terasa, sudah 35 menit kami berjalan menyusuri rindangnya perkebunan kelapa sawit. Mata kami amat jeli, mencari jamur-jamur yang bersembunyi dibalik janjangan kosong. Kami benar-benar sangat lama mencari jamur, sampai tidak ingat waktu. Tanpa kita sadari, semakin dalam dan semakin jauh kami berburu jamur. Walau disebut perkebunan, disini sangat rindang dan gelap seperti dihutan hujan tropis. Jika tidak tahu arah, maka siapapun akan tersesat.

Krasaakkk…krasaakkk…suara langkah kaki terdengar dibalik pokok kelapa sawit. Tapi, aku tau betul kalau itu bukan langkah kaki Firman dan Sela. Tapi anehnya, kami tidak hanya mendengar suara langkah kaki, tapi kami juga mendengar ada sesuatu yang diseret. Tidak lama dari munculnya suara tersebut, tiba-tiba terdengar suara teriakan dari sumber suara yang sama.

“Aaaaaaaaaa… tolonggggggggg…” suara teriakan anak perempuan.

Segera kami lari menuju sumber suara dan tidak disangka. Benar adanya, pak Mansyur yang kami temui tadi, membawa bangkai kepala dan menculik satu anak perempuan. Nahas, kepalanya baru saja ditebas, darahnya mengucur deras tanpa henti. Tubuhku gemetar tidak karuan, mimpiku benar-benar kenyataan. Aku melihat darah bercucuran.

Tanpa berpikir panjang kami lari kearah yang tidak beraturan. Aku dan Firman lari kearah yang sama, dan Sela lari kearah yang berbeda. Tanpa kita sadari, Sela telah berpisah jauh dariku dan Firman. Begitu paniknya, kami lari semakin jauh ke dalam blok-blok perkebunan. Tersesat dan tidak tahu jalur mana yang mengarah ke jalan raya, itulah nasibku dengan Firman. Kami terus saja berlari tanpa henti. Aku merasa, kami sudah terlalu lama disini, dan tidak tahu bagaimana keadaan desa ketika mengetahui bahwa kami hilang.

***

Waktu sudah menunjukkan pukul 18.00 WIB. Riri, Firman, dan Sela tak kunjung pulang. Ibu dan ayah Riripun panik dan mengabari orang tua Firman juga Sela. Mereka berbondong - bondong menuju rumah tetua di daerah kami, meminta bantuan agar anak-anaknya segera kembali. Berbagai ritual adat telah dilakukan selama tiga hari berturut-turut. Hingga, seorang pemanen datang menggembar-gemborkan tentang mayat tanpa kepala yang telah ditemukan. 

Seketika ibu dan ayah Riri, Firman, dan juga Sela menangis sejadi-jadinya. Pikiran mereka sama-sama dalam satu persepsi. Mati, ditebas, diculik, dan tidak akan kembali. Itulah pemikiran mereka. Hingga, tetua adat memutuskan untuk mengadakan upacara Ngerangka’u. Upacara tersebut dilakukan sebagai wujud kekeluargaan untuk memberikan kenyamanan kepada orang yang sudah meninggal.

Di tengah-tengah upacara adat yang sedang berlangsung, datanglah seorang gadis kecil dan seorang anak laki-laki dari gerbang masuk desa. Semua tercengang melihat kedatangan arwah yang sedang mereka berkati dengan upacara adat. Semuanya hening, ketika mereka mengetahui bahwa Riri dan Firman belum meninggal.

Breemmm…bremmm… seorang pria paruh baya yang sudah tidak asing lagi yakni pak Mansyur datang dengan membawa karung goni berlumur darah. Karung itu dilempar ketengah-tengah kerumunan masyarakat desa. Karung itu terlempar dan jatuh dengan keadaan terbuka. Seketika sebuah kepala dan badan secara terpisah mencuat keluar dari dalam karung. Anggota tubuh itu jatuh ke tanah. Semua histeris ketakutan, melihat badan Sela terpisah jadi dua.

***

Kkkkrrriiiiinnnggggggg…kkkkrrrriiiiinnnnnggggg…gubrak!!! Suara alarm membuatku benar-benar terkejut. Aku terbangun dengan posisi terbanting dilantai. Seketika aku menampar pipiku sendiri, agar aku benar-benar tersadar. Huhhh…huuhhhh…huhhh… napas masih saja tersengal sengal. Aku masih saja tidak percaya, bagaimana bisa badanku basah kuyup seperti ini. Bahkan, detak jantungku berdegub tidak karuan. Mungkin, aku benar-benar sudah gila. Bagaimana bisa, aku mimpi di dalam mimpi.

Glosari

Ape, apa

Tuh, itu

Macam mane, bagaimana

Nak, mau atau hendak

Berdue, berdua

Jak, saja

Am, penekanan dalam sebuah kalimat

Ni, ini

Nengok, melihat

Ka, di

Tibe-tibe, tiba-tiba

Janjangan, buah kelapa sawit yang sudah membusuk

upacara Ngerangka’u, kematian

Lapo, sedang apa

Iku, itu

Bocah, anak kecil

Mbedik, nakal

Dudu, bukan

Nggone, miliknya

Diinceng-inceng, diintip-intip

Cerpen ini telah dimuat dimedia cetak koran Suara Pemred Kalimantan Barat pada tanggal 24 Maret 2020. Selain itu, cerpen ini merupakan cerpen yang berada dalam buku kumpulan cerpen berjudul Dunia Buatan yang telah diterbitkan oleh penerbit Pelangi Sastra. Cerpen ini diposting ulang agar dapat dibaca dan dinikmati oleh semua kalangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun