“Waalaikumsalam. Mau kemana nak? ibumu aja belum berangkat kok kamu rajin banget” ayah menggodaku dengan pertanyaan leluconnya.
Aku hanya tersenyum kecil, itulah cara sederhana menjawab lelucon ayah. Ayah terus saja menggodaku perihal berangkat sekolah. Ibu adalah guru di sekolahku, itulah sebabnya mengapa ayah selalu menjadikanku dan ibu sebagai topik lelucon di Pagi hari.
Kakiku terus melangkah hingga menghamburkan suasana dapur dan ruang makan yang sedari tadi ku hinggapi. Rencanaku pagi ini tidak berjalan dengan baik, langkahku mulai berhenti ketika ada sebuah tangan yang menepuk pundakku,
“Mau kemana? Anak manis”.
Sontak terkejut, bagaimana mungkin pria itu telah berdiri tepat di belakangku. Tangan gemetar tidak karuan, keringat dingin mengucur keluar mengeroyok pori-pori kulit, jantung berdegub tidak beraturan. Pikiranku terus bergelut dengan segala macam pertanyaan, bagaimana bisa? Dia benar-benar di belakangku?
Bagaimana bisa dia tau aku disini? Tidak hanya itu, otakku terus saja menyuruhku untuk lari sekencang-kencangnya. Baru saja akan mengambil langkah untuk lari, tangan pria itu langsung sergap mencengkram tangan kecilku. Seketika aku tidak dapat lagi mengontrol teriakan-teriakan yang sontak keluar dari mulutku.
“Tidaakkk, tolongg...tolong lepaskan aku kali ini. Aku mohon...Tolong” air mata telah kuyup menggenangi iris.
“Ha..ha..ha.. Apa? Gadis manis mau bebas? Ck..ck..ck..” bibirnya menyeringai ganas. Sambil tertawa terbahak-bahak, dengan senangnya dia menertawakanku.
“Riri, kamu ini lucu sekali”. Firman terus saja terbahak-bahak. Ternyata sedari tadi ia menggodaku. Ya, seperti itulah hobinya, menjailiku.
***
Firman. Firman badaruddin nama lengkapnya. Kami kenal dekat karena rumah kami bersebelahan, aktivitas kita hanya terhalang dengan satu tembok perumahan. Semua teriakan dan tangisanku ketika dimarahi ibu terdengar di bilik kamarnya. Rasanya, kami seperti tinggal serumah saja.