Mohon tunggu...
Putri diahayu
Putri diahayu Mohon Tunggu... Lainnya - Putri Diah Ayu Pitaloka

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tanpa Kepala

5 Agustus 2020   19:45 Diperbarui: 5 Agustus 2020   19:47 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

***

Sorot mata mereka langsung berubah haluan, tangan Sela melambai-lambai, mengisyaratkan bahwa mereka telah lama menunggu. Ku percepat langkah untuk menghampiri mereka. Segera kutarik kursi disamping Sela. Kemudian, semua aktivitas belajar dimulai dan berakhir setelah dua jam kemudian. Tangan nakal Sela mulai beraksi, dan memulai pembicaraan rahasia menggunakan bahasa tubuh.

            “Hmmmm” mengangguk-angguk adalah caraku menjawab bahasa tubuhnya.

Tanpa berpikir Panjang kami mulai mengambil langkah pergi. Tidak jauh dari teras rumah, bau anyir darah tercium jelas. Kami yakin bau itu berasal dari keranjang yang terkatung di atas motor pak Mansyur. Pak Mansyur adalah sales langganan ibu, yang sering berkeliling dari pintu ke pintu. Kami penasaran, tapi tiba-tiba terdengar suara, praakkkk!!!!

            “Heee, lapo iku? Bocah mbedik, dudu nggone kok di inceng-inceng.” Dengan tatapan kesal, sembari menghantamkan sepatunya ke lantai teras rumah.

            “Hhmmmbbb, bau apa ini? Kok kayak bangkai!!!” ibuku tiba-tiba melontarkan kalimat itu.

Baunya memang benar-benar menyengat sampai kami juga sangat penasaran. Ibuku berkali-kali bertanya kepada sales langganannya, tapi tetap saja pak Mansyur bilang bahwa bau busuk itu tidak berasal dari keranjangnya. Ibu terus memaksa pak Mansyur untuk membuka keranjang yang ia bawa, seketika pak Mansyur langsung menunjuk tukang sampah yang ada di sebrang jalan.

            “Nah itu, bau busuknya pasti dari sana.” Sambil terus menunjuk-nunjuk.

Saling tuduh menuduh hingga saling adu mulut. Entahlah, bagaimana akhir dari permasalahan ini. Hingga akhirnya, kami memutuskun untuk pergi mencari jamur, tanpa menghiraukan ibu, pak Mansyur dan tukang pemungut sampah. Kami bergegas meninggalkan mereka yang sibuk dengan masalahnya.

***

Tidak terasa, sudah 35 menit kami berjalan menyusuri rindangnya perkebunan kelapa sawit. Mata kami amat jeli, mencari jamur-jamur yang bersembunyi dibalik janjangan kosong. Kami benar-benar sangat lama mencari jamur, sampai tidak ingat waktu. Tanpa kita sadari, semakin dalam dan semakin jauh kami berburu jamur. Walau disebut perkebunan, disini sangat rindang dan gelap seperti dihutan hujan tropis. Jika tidak tahu arah, maka siapapun akan tersesat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun