Mohon tunggu...
Putriana Supriatin
Putriana Supriatin Mohon Tunggu... Guru - Guru Lintas Mata Pelajaran

saya menyukai tantangan dalam dunia pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Batas Akhir

30 Mei 2023   15:39 Diperbarui: 30 Mei 2023   15:48 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BATAS AKHIR

Karya: Putriana Supriatin, S.Hum.

Aku termenung sendiri menatap dinding kamar yang remang. Air mata belum mau berhenti mengalir dari sudut mataku. saat ini aku sedang berada dititik terendah dalam hidupku, diantara kebimbangan pada pilihan pekerjaan yang akan aku jalani.

Namaku Suti Rahayu, dikalangan keluarga ku, aku dipanggil Ayu karena, konon katanya aku lahir dengan kondisi yang lemah dan sering sakit. Oleh sebab itu, Bude ku mengira mungkin saja aku keberatan nama. Aku adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Menjadi anak sulung perempuan tentunya menjadi tugas berat bagiku. Dari kecil aku di didik dengan ketegasan, kedisiplinan dan rasa tanggung jawab yang kuat. Karenanya adik-adik ku sering menjuluki ku “si cerewet”, mereka bahkan kerap menyamaiku dengan tokoh di salah satu film animasi asal negeri jiran yang posisinya sama dengan ku. Kesan mereka kepadaku adalah galak namun tetap saja aku juga memberikan perhatian sesuai dengan porsi ku sebagai seorang kakak. Aku selalu punya alasan dalam setiap tindakan yang ku lalukan, yah, karena aku memang didik untuk menjadi seperti itu, tegas namun tetap memiliki tujuan yang jelas.

Ini kisahku, kisah yang sarat akan pilihan sulit dan dilematis. Ini berawal dari usahaku dalam mencari pekerjaan seusai kuliah. Sebetulnya aku memang sudah bekerja sebelum aku menamatkan pendidikan strata satu. Aku mengambil jurusan bahasa asing. Pada semester keenam, aku lalu mendapat tawaran pekerjaan dari teman kantor ayahku. Aku masuk dengan mudahnya setelah melewati proses wawancara. Tidak ada ujian tertulis, karena mreka bilang aku adalah titipan. Yah, sedikit nepotisme disini. Namun, aku tak ingin direndahkan dengan status ‘pegawai titipan’. Kau menunjukkan keahlianku dalam berbahasa asing. Walaupun belum advance, akau berusaha agar setiap penampilanku didepan kelas menarik perhatian anak-anak yang sedang aku ajarkan. Aku memiliki cara pendekatan khusus dengan mereka yang masih murid di sekolah dasar. Aku berusaha untuk masuk kedunia mereka. Mendengarkan cerita mereka diakhir kelas, mengetahui hobi mereka, ikut mencari tahu tentang apa yang sedang digemari pada saat itu.

Tak kusangka pendekatan humanis seperti ini membawaku menjadi tutor yang paling dicari dilembaga kursus bahasa asing tersebut. Tidak bermaksud jemawa, pemilik lembaga tersebut pernah mengatakan kepada sekertarisnya bahwa cuma aku yang mengajar hanya bermodal boardmarker tanpa membawa buku dan anak-anak tetap terlihat senang dan mengikuti kelas ku sampai selesai dengan membawa senyuman dan ilmu baru ketika mereka pulang.

Jurusan kuliah yang kupilih memang bukan kependidikan, jadi tentu saja aku tidak mengtahui tehnik mengajar dan mengelola kelas seperti halnya seorang guru pada umumnya. Aku mengajar dengan bertanya tentang  apa yang murid-murid ku butuhkan, sehingga aku lebih sering berdiskusi dari pada memberikan materi didepan kelas. Aku bahagia ketika aku dapat duduk ditenga-tengah mereka bukan one man show di depan mereka.

Tiga bulan bekerja sebagai tutor dikelas reguler, aku lalu di minta untuk membuka beberapa kelas private yang isinya dalah anak-anak yang super aktif. Aku terima tantangan itu dengan apapun resikonya. Alhasil aku dapat mengikutinya dengan baik walaupun pada kenyataannya aku belajar untuk mengendalikan diri lebih dari biasanya serta untuk sabar yang luar biasa.

Setelah satu semester berlalu, saat aku mulai sibuk mempersiapkan proposal skripsi, pimpinan lembaga menawarkan posisi sebagai sales marketing. Aku diminta untuk berpikir hanya dalam satu hari. Keesokan harinya, aku menemui pimpinan lembaga dan mengatakan bahwa aku siap menerima posisi baru pada lembaga kursus tersebut. Tak lupa aku juga mencaritakan kepadanya tentang perkuliahanku yang juga membutuhkan waktu yang banyak. Beliau menguatkan ku dengan mengatakan.

“Melihat kamu yang gigih dan aktif selama kurang lebih enam bulan ini, saya yakin sekali kamu bisa. Saya harap keyakinan saya ini tidak salah.” Aku membalas kata-kata ini dengan senyuman yang penuh optimisme.

Posisi baru di kantor, memberikanku job desk yang cukup banyak dan menyita waktu. Aku harus mengisi kelas private di pagi dan sore hari dan saat siang hari sebelum waktu pulang sekolah aku harus sudah berada di depan gerbang sekolah untuk mebagikan brosur kursus bahasa asing dengan promo-promo menarik. Aku dan rekanku kembali kekantor dengan harapan banyak yang akan terjaring di promo yang kami rancang. Dikantor kami sibuk menerima telepon dari para orang tua yang menanyakan tentang kursus dilembaga kami. Disamping itu aku juga harus mempersiapkan materi dan ulangan harian untuk murid dikelas. Hari-hari ku diisi dengan segudang aktivitas. Malam hari saat berada dirumah aku sibuk dengan tugas-tugas kuliah yang sedang memasuki tahap akhir.

Meski aku menjadi sangat sibuk, aku tetap berusaha untuk mempertahankan motivasi. Aku tidak pernah memperlihatkan rasa lelah ketika aku sampai dirumah. Aku ingin selalu menjadi teladan bagi adik-adik ku, sesuai dengan apa yang sudah diajarkan oleh ibuku, bahwa jika sudah sampai dirumah, aku harus meninggalkan masalah yang terjadi dikantor, ini juga berlaku untuk ayahku.

Satu tahun berlalu, aku menjalani hari-hari dengan ritme kerja yang sudah sangat aku nikmati. Saat aku mulai jenuh, aku akan mengajak teman-temanku pergi bersama, hanya untuk sekedar nonton atau karoke, yang penting dapat menghilangkan penat. Tak jarang juga aku mengerjakan skripsi bersama teman-temanku pada hari libur.

Pada saat tugas kuliah dan skripsi ku hampir rampung dikerjakan, intensitasku dalam bekerja sudah mulai turun. Aku mengutarakan hal ini pada bosku. Aku berharap mereka mengerti posisiku, aku juga mengajukan cuti beberapa bulan agar dapat fokus pada skripsi ku. Namun ternyata mereka tidak mengizinkan ku untuk cuti. Alhasil, konsistensi ku dalam mengajar tak lagi sama dengan sebelumnya. Terang saja ini disebabkan karena aku lebih menitik beratkan perhatianku pada skripsiku. Aku berprinsip bahwa skripsi ku lebih penting karena kuliah ku ini dibiayai oleh ayahku sepenuhnya. Aku tidak ingin orang tua ku kecewa, ayahku adalah seorang pegawai negeri biasa dari lulusan sekolah tingkat menengah atas. Maka beliau sangat berharap anak-anaknya dapat menamatkan S1, setingkat diatas ijazah yang dia miliki.

Sebelum wisuda aku mendapatkan surat peringatan pertama dari lembaga tersebut. Aku memang sudah izin selama satu minggu. Ternyata izin ku lewat dari itu, rekan ku dikantor menghubungi ku dan meminta ku untuk datang menemui bosku. Aku tidak datang karena memang sangat sibuk dengan revisi proposal dan hari-hari menjelang sidang skripsi.

Hari yang dinantikan akhirnya tiba, aku diwisuda dengan predikat sangat memuaskan. Walaupun masih ada yang lebih tinggi nilainya, aku tetap bahagia  karena aku menghargai setiap proses yang aku lewati.   

Keesokan harinya, rekan kerjaku datang kerumah, aku menyambutnya dengan hangat. Saat itu kami duduk berhadapan. Dia mulai bicara.

“Mbak, kesini karena diminta untuk menyampaikan surat ini. Ibu bos bilang kamu banyak mangkir dan tidak mengangkat telepon kemarin.”

Aku lalu tersenyum sambil menerima amplop putih dengan kop lembaga yang sudah tidak asing lagi bagiku.

“Iya mbak, saya paham sekali dan siap menerima semua kemungkinan isi yang ada dalam surat ini.” Jawabku santai.

Aku menatap rekan kerja ku yang usianya hanya selisih sedikit dengan ibuku. Matanya mulai merah, ada air yang mulai terbendung disudut matanya. Aku siap menerima curhatan untuk kesekian kalinya.

“Mbak sebenarnya ingin kamu tetap bekerja, mbak tinggal sendirian, dua minggu ini mbak sedih menatap meja mu yang kosong. Tidak ada lagi canda tiap pagi, tidak ada lagi tukar-tukaran bekal makanan disiang hari. Mbak pun sudah seminggu ini menyewa ojek untuk membagikan brosur kesekolah-sekolah sendirian.”

Pada akhirnya air mata itu tak lagi terbendung. Aku menatapnya lamat-lamat, benteng kekuatan ku pun melemah dan masuk kedalam curhatan rekan kerja ku itu.

Sudah sekitar delapan tahun dia bekerja dilembaga tersebut sebagai tenaga administrasi sekaligus pengelola keuangan dan cleaning service. Semua itu dia lakukan demi menghidupi tiga orang anak tanpa sosok seorang suami. Dia bercerai setelah melahirkan anaknya yang ketiga. Cerita tentangnya kusimpan dengan baik diingatan ku dan tidak akan kujadikan sebagai konsumsi publik. Aku mulai bicara saat dia sudah berhenti bicara dan hanya menyisakan sisa air mata miliknya.

“Mbak, hal ini sudah sesuai dengan yang saya perkirakan. Saya paham betul mengenai apa yang saya lakukan beserta semua konsekuensi setelahnya. Namun saya yakin bahwa semua sudah ada yang merencanakan bahkan tujuannya jauh lebih baik dari apa yang kita pikirkan. Untuk hubungan kita, tentu lebih luas diluar ranah pekerjaan. Kita dapat berkomunikasi dan membuat janji ketemuan kapan saja. Mbak pun masih boleh bercerita tentang apapun kepada saya selama mbak percaya.” Jawabku berusaha menenangan hatinya.

Pada akhrinya kalimat klasik itu pun muncul juga. Jika ada pertemuan maka akan ada perpisahan. Aku meyakini hal itu sepenuhnya. Aku mulai menata hati dan meyambut hari ku yang baru, dengan gelar baru dibelakang nama ku. Aku mulai menyusun rencana untuk bergabung bersama ribuan pencari kerja diluar sana.

                Saat aku mencari lowongan pekerjaan di media cetak dan media online, sangat sulit bagiku untuk menemukan pekerjaan yang sesuai dengan jurusan ku. Aku pikir aku sudah salah memilih jurusan, tapi kemudian aku flashback bahwa yang aku jalani sekarang adalah keputusan ku sendiri dan rancangan sesungguhnya sudah ada menetapkannya.

                Pencarian ku terhenti pada salah satu lowongan di media cetak , yaitu surat kabar harian, itu salah satu peluang besar bagiku karena perusahaan itu tidak meminta jurusan tertentu. Artinya aku pun boleh memasukkan lamaran dengan jurusan yang aku miliki.

                Singkat cerita aku dipanggil diperusahaan tersebut untuk melakukan walking interview. Aku disambut disebuah ruangan kecil dengan satu orang pewawancara. Kami berbincang selama kurang lebih lima belas menit. Setelah aku keluar aku berharap dipanggil kembali karena aku melihat perusahaan ini sangat terata dan merupakan ranting dari perusahaan besar di Korea Selatan.

                Seminggu kemudian, betapa bahagianya ketika aku menerima telepon yang menginformasikan bahwa besok aku sudah mulai menjalani masa training selama tiga sampai enam bulan.

                Aku melangkah dengan santai dari kamar. Aku memberitakan hal ini pada ibuku dan beliau menanggapi dengan tenang dan biasa saja, begitu pula ayah ku. Aku paham sekali bahwa mereka lebih senang jika aku bekerja di lembaga yang tidak punya target atau lebih tepatnya bekerja santai sebagai seorang pegawai negeri sipil.

                Aku mulai menjalani masa training dengan semaksimal mungkin. Aku pelajari semua hal yang aku butuhkan dari trainer dan rekan kerjaku. Pak Manager ku Mr. ISD pun senang melihat kemajuan ku dalam hal menggunakan aplikasi dan melaksanakan jobdesk ku setiap hari.

                Masalah terjadi ketika menjelang tiga bulan masa training ku berlalu, ibuku mengetahui ada lowongan pekerjaan disalah satu perusahaan BUMN yaitu Bank BTR. Hal ini diperkuat dengan kolega kami yang merupakan salah satu panitia pada perekrutan pegawai Bank tersebut.

                Ibuku mendesak agar aku mengikuti selesksi tersebut. Ini merupakan pilihan yang sangat dilematis bagiku. Aku sudah mulai mencintai pekerjaan ku sebagai marketing support, aku juga sudah menerima gaji yang jauh dari jumlah yang pernah aku terima saat  di lembaga kursus. Selama dua bulan bekerja aku sudah bisa membeli satu suku gelang emas. Ibu senang juga atas pencapaian ini, tetapi beliau kurang ikhlas karena beliau tidak tega melihatku pulang sendirian pada malam hari, terkadang mendekati tangah malam ketika closing di akhir bulan. Aku pun paham akan hal ini, kekhawatiran orang tua ku pasti berdasarkan banyak pertimbangan.

                Batas akhir pendaftaran lowongan BUMN sehari lagi di tutup, akhirnya kata-kata sakti dari ibuku keluar juga.

“Kalau kamu tidak mau daftar, keluar saja dari rumah, sekali ini tolong nurut, ini juga demi keselamatan kamu.” Ibuku berkata dengan mimik wajah yang tegas.

Aku tak kuasa untuk menolak, lalu akhirnya aku mendaftarkan diri secara online. Lalu besoknya aku dipanggi untuk mengikuti ujian tertulis. Pada saat itu ujian tertulis berlangsung saat hari libur dikantor ku. Tiga hari setelahnya aku mendapat panggilan untuk mengikuti wawancara, yang merupakan tes akhir dari seleksi penerimaan BUMN ini. Aku memberanikan diri untuk izin, dan salahnya lagi aku hanya izin melalui telepon, Mr. ISD mengizinkan ku dengan intonasi yang berat. Aku menaruh kecurigaan bahwa Manager ku tentu tahu apa yang sedang aku lakukan.

                Esok harinya aku dipanggil oleh Mr. ISD keruangannya. Dia hanya menatapku dan memintaku untuk cerita. Aku menceritakan semuanya, dari mulai latar belakang sampai dengan proses yang sudah aku lewati dalam seleksi masuk BUMN.

                Manager menatapku dan menyodorkan kertas dengan banyak pasal-pasal didalamnya.

“Ini adalah surat kontrak kamu, harusnya saya kasih kemarin. Tapi kamu izin melalui telepon dengan saya. Menurut aturan yang berlaku, jika kamu izin dalam masa training itu sama aja dengan mangkir.” Manager berkata dengan tenang.

Aku hanya terdiam mendengarkan Mr. ISD berbicara. Aku ingat betul pertanyaan terakhir yang ia lontarkan kepada ku.

“Take it or leave it? If you take, you will here but if you leave you will go there, simple.”

Dengan mempertimbangkan ibuku, akhirnya aku menolak untuk menandatangani surat kontrak tersebut. Aku melangkah keluar gedung besar itu dengan berat hati. Kusalami teman-teman diruangan, mereka pun medoakan ku agar mendapat pekerjaan yang terbaik.

Keesokan harinya aku melaksanakan tahap wawancara kedua yang merupakan fase akhir dari tahapan seleksi. Aku ditemani oleh ibuku saat itu. Aku melihat semua berpakaian rapi, masuk satu-persatu dalam runagan. Ada yang mengaku gampang, ada yang mengaku sulit saat sesudah wawancara didalam, tibalah giliranku. Aku masuk dengan percaya diri dan didalam aku menjawab setiap pertanyaan dari empat orang perwawancara. Setelah keluar ada satu orang laki-laki mengikuti aku dan ibuku sambil berkata.

Anak ibu ini, nilai tes tertulisnya tinggi tetapi nilai wawancara sangat rendah, ini saya ada amplop silahkan ibu isi, tadi yang sebelumnya ada yang sudah mengisi 5 juta agar nanti bisa mengisi posisi sebagai front officer” kata laki-laki paruh baya itu sambil menyodorkan amplop putih besar.

Aku lalu bersitatap dengan ibuku. Beliau menangis memelukku, beliau mengaku menyesal telah memaksaku untuk melamar di BUMN ini. Aku pun tak pernah menyangka jika akhirnya akan seperti ini. Kelaurga ku tak satu pun pernah ‘membeli’ pekerjaan dan aku pun tentu saja tak ingin melakukannya.      

Putriana Supriatin, S.Hum. seorang pecinta buku yang ikut mengamati perkembangan literasi dikalangan remaja saat ini. Gemar mengikuti kegiatan penulisan antologi bersama penggiat ;literasi daerah dan siswa disekolah tempatnya mengajar. Demi mempertahankan semangat literasi, ia kerap membagikan essay atau puisi di laman kompas.com.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun