Maktab merupakan tempat yang dijadikan oleh para ulama untuk mengajarkan pengajaran mengenai Islam. Para ulama tersebut memanfaatkan bagian luar dari tempat itu - biasanya langgar -- seperti terasnya untuk melakukan proses belajar mengajar dengan menggunakan sistem halaqah (melingkar) dengan sang guru berada di tengah-tengah.[6] Proses belajar mengajar tersebut masih tradisional, materi yang diajarkan baru sebatas tata cara membaca Al-Qur'an dan praktek ibadah, begitu pula dengan madrasah buluh. Disebut madrasah buluh karena di bangun dengan menggunakan bahan material dari buluh atau bambu.Â
Namun setelah masuknya pengaruh pendidikan barat, yang menyebabkan timbulnya dua bentuk pendidikan yaitu pendidikan barat yang dianggap sebagai pendidikan modern dan pendidikan Islam seperti madrasah yang dianggap sebagai pendidikan tradisional dan lembaga pendidikan untuk masyarakat pribumi. Pada masa itu masyarakat beranggapan bahwa pendidikan yang di bawa oleh bangsa Belanda merupakan hasil buatan orang-rang barat sehingga di nilai kafir sebab saat melakukan penjajahannya, pihak Belanda selain mengeksploitasi ekonomi juga menginvasi seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Melihat hal tersebut pada tahun 1915 para ulama sepakat mendirikan lembaga  Perukunan Tsamartul Insan[7], lembaga yang dijadikan masyarakat sebagai wadah untuk menampung segala pendapat serta wadah untuk menentang kolonial Belanda berinisiatif melakukan pembaharuan dalam lembaga pendidikan.Â
Untuk melakukan pembaharuan tersebut, Perukunan Tsamaratul Insan mendapatkan beberapa kendala salah satunya kecurigaan dari pihak Belanda sehingga menyulitkan para ulama mendapatkan izin untuk melakukan pembaharuan. Karena kecurigaan terhadap keberadaan perukunan yang dikhawatirkan akan mengorganisir masyarakat untuk melakukan perlawanan, pemerintah kolonial Belanda melakukan pengawasan dengan dibentuknya Priesterraden[8], badan khusus untuk mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan Islam. Â Akan tetapi dengan bantuan Sayyid Ali bin Abdurraham Al-Musawwa, seorang ulama dari Palembang dan juga merupakan menantu dari Said Idrus al-Djufri atau Pangeran Wiro Kusumo sehingga diperolehlah izin tersebut. Â Â
Kemudian setelah mendapat izin tersebut pada tahun 1915 dan 1916[9] Perukunan Tsamaratul Insan mendirikan empat madrasah yang pada perkembangan menjadi induk bagi madrasah-madrasah lainnya dan selanjutnya bertranformasi menjadi pesantren. Keempat madrasah tersebut yaitu Sa'adatuddarein, Nurul Iman, Nurul Islam dan kemudian pada tahun 1927 di susul oleh Al-Jauharein[10] yang didirikan oleh para ulama alumni dari Mekkah yang aslinya memang merupakan orang Seberang Kota Jambi.
Lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut mengalami perkembangan yang cukup pesat dan membuat pihak pemerintahan Belanda di landa kekhawatiran. Akibatnya pada tahun 1925 dikeluarkan peraturan tentang keharusan guru agama yang mengajarkan agama untuk melapor kepada Pemerintah Belanda dimana sebelumnya juga pada tahun 1905 telah ada peraturan tentang hal tersebut yang tertuang dalam Ordonansi Guru.[11]
Pada tahun 1932 dikeluarkan kebijakan membubarkan dan menutup lembaga pendidikan yang tidak memiliki izin dan menerapkan pelajaaran yang tidak sesuai dengan kepentingan kolonial yang disebut ordonansi/peraturan sekolah liar (Wilde School Ordonantie).[12] Meskipun telah dikeluarkan beberapa kebijakan mengenai perizinan mendirikan dan memberikan pengajaran agama pada lembaga pendidikan, namun masih terdapat lembaga pendidikan yang tidak mau mengikuti kebijakan tersebut dan memilih untuk melarikan diri ke dalam hutan ataupun mengasingkan diri ke desa atau daerah terpencil sehingga disebut sebagai sekolah liar. Â Â
Terlepas dari hal tersebut, pendidikan dan lembaga pendidikan Islam di Seberang Kota Jambi tetap mengalami perkembangan yang signifikan. Perubahan dan modernisasi yang di bawa oleh para ulama terus berlanjut dimana mereka ingin memajukan generasi muda agar tidak ketinggalan zaman. Salah satu tokoh ulama yang terkenal dengan pemikiran modernisasi dan pembaharuan pendidikan Islam di Seberang Kota Jambi ialah K.H. Abdul Qadir Ibrahim yang mencetuskan mengenai pendidikan bagi kaum perempuan.[13]
Pendidikan bagi kaum perempuan sendiri hanya terealisasikan dalam madrasah Nurul Iman pada tahun 1996[14] sebab madrasah-madrasah lainnya yang didirikan oleh Perukunan Tsamaratul Insan memnag tidak menerima murid perempuan di lembaga pendidikannya. Madrasah Nurul Iman merupakan madrasah pertama[15] yang berdiri di Jambi yang pada mulanya hanya memperlajari tentang ilmu agama Islam dasar. Seiring berjalannya waktu, lembaga pendidikan Islam ini tetap mengalami perkembangan bahkan tidak memberikan pengaruh terhadap eksistensinya pada masa peralihan kekuasaan dari pihak Belanda ke Jepang.
Perubahan  madrasah Nurul Iman terlihat setelah kemerdekaan Indonesia karena berusaha menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dan sebagai upaya untuk mempertahankan keberlangsungan madrasah ini sendiri. Perubahan tersebut terlihat dari bertambahnya pelajaran agama maupun pelajaran umum lainnya, telah terdapat pembagian/penjenjangan kelas yang sisitematis dan penyesuaian kurikulum sesuai perkembangan pendidikan di Indonesia. Hal serupa juga terjadi pada madrasah Nurul Islam, Sa'adatuddarein serta Al-Jauharein. Akan tetapi Al-Jauharein yang pada tahun 1923 pernah mengalami kefakuman dari tahun 1989 sampai dengan 2003.[16] Â
 Namun, setelah tahun 1950-an[17] dimana Kementerian Agama mulai aktif melakukan penataan kembali dengan menyesuaikan terhadap kurikulum modern, keempat madrasah tersebut mulai mengalami mengalami krisis dan kemunduran sebab pengadopsian pelajaran umum yang dilakukan tidak dapat berjalan dengan baik dan pelajaran umum tersebut hanya dijadikan sebagai lintas minat yang tidak wajib untuk di pelajari.