Azumi Yama, atau Yama, adalah permata tersembunyi di tengah keluarga dokter yang terpandang di Jepang. Dengan rambut hitam berkilau yang mengalir lembut dan mata cokelat yang berbinar, ia adalah gadis incaran banyak pemuda. Namun, di balik kecantikan fisiknya, tersimpan rahasia kecil yang tak pernah ia ceritakan kepada siapa pun.
Di rumah yang sarat akan aroma disinfektan dan dihiasi oleh buku-buku kedokteran, Yama tumbuh di tengah suasana steril. Orangtuanya, dua ahli bedah jantung yang disegani, memiliki harapan besar agar anak-anak mereka mengikuti jejak mereka. Kakaknya, Hiro, dengan bangga mengenakan jas dokter, sementara Yama memendam mimpi yang berbeda. Hatinya berdebar kencang setiap kali melihat model-model cantik menghiasi majalah mode. Bayangan dirinya menjadi pusat perhatian di atas catwalk membuatnya tersenyum penuh harap.
Namun, di balik kemewahan rumah keluarga Yama, tersimpan ketegangan yang tak terlihat. Suasana formal dan ekspektasi tinggi membuat Yama merasa terasing. Ia sering menghabiskan waktu di kamarnya, merenung sambil membayangkan masa depan di mana ia bisa bebas mengejar mimpinya. Dinding kamarnya menjadi saksi bisu dari rahasia besarnya: poster-poster model cantik, potongan majalah mode, dan berbagai informasi tentang audisi model memenuhi setiap sudut.
Setiap pagi, saat keluarga berkumpul di meja makan, percakapan selalu berputar tentang dunia medis. Yama merasa seperti penonton dalam hidupnya sendiri. Ia berusaha menyisipkan topik tentang mode, namun selalu dialihkan dengan pembicaraan tentang penyakit jantung atau prosedur operasi terbaru.
Suatu Pagi, setelah sarapan, Yama berdiri dihadapan cermin besar  kamarnya. Matanya berkaca-kaca menatap pantulan dirinya dengan tatapan penuh keraguan. "Apakah aku bisa melakukan ini?" gumamnya pelan. Rambut hitam Panjang berkilau terurai bebas, membingkai wajah ovalnya yang lembut.  Ia menghela napas Panjang, memikirkan impiannya yang begitu dekat namun terasa begitu jauh.Â
Tokyo, kota yang tak pernah tidur, adalah panggung yang selalu ia impikan. Menjadi model terkenal, wajahnya terpampang di billboard-billboard besar, namanya dikenal banyak orang. Namun, mimpi itu berbenturan dengan harapan orangtuanya.Â
Yama duduk di kamarnya, buku-buku pelajaran berserakan di atas meja. Ia menatap kosong ke luar jendela, pikirannya melayang jauh ke dunia lampu sorot dan panggung catwalk. Tangannya meraih sebuah majalah mode yang disembunyikan di bawah bantal. Dengan hati yang berat, ia menutup majalah itu dan menghela napas panjang.
"Aku tidak ingin mengecewakan mereka. Aku akan berusaha menjadi anak yang baik. Tapi, apakah aku akan bahagia dengan hidup seperti ini?" gumamnya dalam hati.Â
Dengan Langkah gontai, ia berjalan mendekati ayahnya yang sedang membaca koran di ruang tamu. Detak jantungnya berpacu dengan cepat. "Ayah," panggilnya lirih. Ayahnya mendongak, senyum hangat terukir di wajahnya. "Ada apa, Nak?"Â
Yama ragu sejenak,  lalu  berkata, "Ayah, nanti aku SMA memilih jurusan Sains." Suara Yama terdengar gemetar.  Ayahnya terkejut sejenak mendengar ucapan putri satu-satunya, lalu tersenyum lebar. "Benarkah? Ayah sangat bangga padamu, Nak. Ayah tahu kamu bisa melakukan apapun yang kamu inginkan." Yama hanya mampu mengangguk. Air matanya hampir jatuh. Ia merasa lega sekaligus sedih. Lega karena akhirnya bisa membuat orang tuanya Bahagia, tapi sedih karena harus mengubur mimpinya. Ibu dan kakak Yama yang mendengar hal tersebut ikut  merasa bangga, "akhirnya, keluarga kita lengkap dokter semua ya," ucap ibu sambil menyiapkan makan malam. Kakaknya mengangguk setuju, "Iya betul itu, Bu." Suasana  rumah menjadi terasa hangat dan penuh kebahagiaan.
Di  balik senyumnya, Yama menyimpan sebuah rahasia kecil. Di sela-sela waktu belajarnya, ia masih menyempatkan diri  menjelajahi dunia mode. Setelah makan malam, Yama seringkali asyik membaca majalah mode atau mengikuti akun-akun model favoritnya di media sosial  .Â
Pulang sekolah, Yama selalu meluangkan waktu untuk belajar di ruang belajar keluarga. "Nak, kamu mau jadi dokter apa nanti?" tanya ibunya sambil membawa cemilan. "Aku ingin jadi dokter hewan, Bu," jawab Yama. "Bagus sekali! Kamu memang penyayang hewan," puji ibunya. Yama tersenyum tipis.
Dalam hati, ia bertekad untuk mengejar mimpinya menjadi model. Ia akan mencari waktu yang tepat untuk mewujudkan impiannya itu tanpa mengecewakan keluarganya. "Aku pasti bisa," gumamnya penuh semangat. "Aku akan membuktikan pada diri sendiri dan keluarga bahwa aku mampu meraih semua yang kuinginkan."
Tibalah hal yang menebarkan baginya, acara kelulusan SMP. Yama meraih nilai Ujian Nasional tertinggi dan mendapatkan beasiswa ke SMA Negeri favorit di daerahnya. Keluarga Yama begitu prestasinya. Sesuai tradisi keluarga, setiap anak yang memasuki SMA harus belajar mandiri. Mendengar itu, mata Yama  berbinar penuh semangat.Â
"Akhirnya aku bebas menentukan pilihanku sendiri," gumamnya dalam hati.
Setelah merayakan kelulusan, Yama mulai merapikan kamarnya. Poster-poster model kesayangannya dan pernak-pernik dunia modeling perlahan-lahan ia singkirkan. Setiap benda yang disingkirkan seolah membawa serta mimpi-mimpinya. Ia tertidur dengan perasaan campur aduk. Dalam mimpinya, ia melihat orang tuanya menatapnya dengan kecewa saat ia berjalan di atas catwalk, sorot mata mereka begitu dingin. Mimpi buruk itu membuatnya terbangun ketakutan, keringat dingin membasahi tubuhnya. Yama menyadari, konflik batinnya semakin mengakar. Ia terjebak di antara keinginan untuk mengejar mimpinya menjadi model dan rasa takut mengecewakan orang tuanya.
Apa yang akan mereka pikirkan jika tahu aku ingin menjadi model? Apakah mereka akan malu padaku?Â
Ditengah kegelisahan yang terus melanda pikiran Yama, hingga ia tidak mengetahui kehadiran ibunya. "Kamu kenapa sayang?" tanya sang ibu lembut, tangannya mengelus lembut rambut coklat Yama. Yama tersenyum tipis, senyum khasnya yang seringkali menyembunyikan banyak hal. "Ibu, tahu nggak teman kelas ku yang ayah ibunya pengusaha? Dia mau ngambil sekolah desain terus dibolehin sama orang tuanya," ujarnya pelan. Ibunya hanya menanggapi singkat, "Terus kenapa kalau temanmu sekolah desain?" Yama menggeleng, "Tidak, aku hanya memberitahu saja." Tak lama kemudian, ibunya mengalihkan topik, "Okay baik, kamu siap-siap. Nanti sore kamu harus berangkat ke asrama seorang diri."
Setelah percakapan singkat dengan ibunya, Yama kembali termenung. Kata-kata ibunya tentang teman sekelasnya yang mendapat dukungan penuh untuk mengejar minat di bidang desain kembali menghantui pikirannya. Ia merasa semakin tertekan dan bingung. Ternyata, cerita tentang teman sekelas yang mendapat dukungan penuh dari orang tuanya untuk sekolah desain hanyalah imajinasi Yama. Ia menciptakan cerita itu sebagai bentuk harapan bahwa orang tuanya akan lebih terbuka terhadap mimpinya. Namun, kebohongan kecil ini justru semakin memperumit masalahnya. Yama merasa bersalah dan semakin tertekan karena merasa telah membohongi ibunya.
Sore harinya, Yama bersiap-siap untuk berangkat ke asrama. Selama perjalanan menuju asrama, Yama terus memikirkan masa depannya. Ia membayangkan bagaimana hidupnya  jika ia memutuskan  mengejar mimpinya menjadi seorang model. Bagaimana tanggapan keluarganya nanti?
Pintu asrama terbuka lebar, membiarkan semilir angin sore menerpa wajah Yama. Cahaya redup dari lampu lorong membimbing langkahnya menuju kamar. Matanya terbelalak saat melihat sosok seorang gadis tengah asyik menggoreskan pensil warna di atas kertas putih. Desain-desain baju yang ia buat begitu indah, garis-garisnya mengalir lembut, warna-warni yang dipilih begitu serasi. Yama terpesona. Ia membayangkan dirinya mengenakan salah satu gaun rancangan gadis itu, berjalan anggun di atas catwalk. Seketika, rasa gugupnya sirna. "Hello, namaku Mira," sapa gadis itu ramah, sambil mengulurkan tangannya yang penuh coretan pensil warna. Yama membalas uluran tangan itu dengan canggung. Senyuman manis Mira membuatnya merasa nyaman. "Kamu angkatan baru ya?" tanya Mira, matanya berbinar. Yama mengangguk antusias. Mereka pun terlibat dalam percakapan singkat. Mira bercerita tentang inspirasinya dalam mendesain, mulai dari film-film klasik hingga majalah fashion ternama. Yama mendengarkan dengan penuh perhatian. Ia merasa menemukan teman baru yang memiliki minat yang sama.
Setelah perkenalan singkat dengan Mira di asrama, Yama semakin tertarik pada dunia fashion. Ia teringat pada saat membayangkan dirinya mengenakan desain baju rancangan seniornya, Mira. Tanpa ragu, Yama memutuskan untuk mencari tahu lebih lanjut tentang kegiatan ekstrakurikuler di sekolahnya. Ternyata, ada klub model yang cukup aktif dan memiliki reputasi yang baik. Dengan semangat yang membara, Yama mendaftar menjadi anggota klub model.Â
Awalnya, ia merasa agak canggung berada di antara teman-teman seklub yang sudah berpengalaman berjalan di atas catwalk. Namun, dengan bimbingan para senior dan semangat yang tinggi, Yama berusaha untuk terus belajar dan berlatih.Pelatihan di klub model tidak hanya melatih Yama untuk berjalan dengan percaya diri, tetapi juga mengajarkannya tentang pentingnya menjaga penampilan, berpose, dan berkomunikasi dengan baik. Yama merasa sangat menikmati setiap sesi latihan. Ia belajar banyak hal tentang dunia modeling, mulai dari sejarah fashion hingga tren terkini.Â
Semangat Yama membuncah saat ia resmi menjadi anggota klub model. Setiap sesi latihan, ia menyerap semua ilmu  yang  diberikan dengan antusias. Namun, kegembiraannya harus diimbangi dengan kenyataan bahwa ia memiliki beasiswa yang mengharuskannya menjaga nilai akademik. Awalnya, Yama merasa kesulitan untuk membagi waktu antara latihan modeling, mengerjakan tugas sekolah, dan belajar untuk ujian. Jadwalnya menjadi sangat padat, dan ia sering merasa kelelahan. Terkadang, ia merasa ingin menyerah saja. Namun, dengan dukungan dari teman-teman, keluarga, dan terutama Mira, Yama terus berusaha untuk memberikan yang terbaik.
Mira, yang juga pernah mengalami hal serupa, memberikan beberapa tips kepada Yama. "Jangan lupakan prioritas utamamu, yaitu belajar. Modeling bisa menjadi hobi yang menyenangkan, tapi jangan sampai mengorbankan masa depanmu," kata Mira. Yama mulai mengatur jadwalnya dengan lebih baik.Â
Yama duduk di perpustakaan, dikelilingi oleh tumpukan buku. Matanya terasa berat, namun ia tetap berusaha fokus pada materi pelajaran. Ia ingat pesan Mira, 'Jangan pernah menyerah pada mimpimu.' Dengan semangat baru, Yama melanjutkan studinya. Beberapa minggu kemudian, hasil ujiannya keluar. Yama sangat senang karena nilainya sangat bagus. Ia berhasil membuktikan bahwa ia bisa menyeimbangkan kedua dunianya. Â
Suatu hari, klub model mendapatkan kesempatan untuk mengikuti lomba fashion show tingkat kota. Yama merasa sangat senang dan bersemangat. Ia ingin menunjukkan kemampuan terbaiknya di atas panggung. Â Namun, syarat tanda tangan kedua orang tua menjadi ganjalan. Yama ragu apakah orang tuanya akan mengizinkan, mengingat mereka selalu mendorongnya untuk fokus pada pendidikan.Â
Beberapa minggu kemudian, Akhirnya, Yama pulang ke rumah untuk mengunjungi orang tuanya. Pada saat makan malam, ia memberanikan diri untuk kembali membuka percakapan tentang sekolah dan mimpinya.
"Bu, sebenarnya aku ingin sekali mencoba mengikuti audisi modeling. Aku sudah mendapatkan informasi tentang agensi modeling yang terpercaya dari sekolahku," ujar Yama dengan suara pelan. Meski begitu, ia tetap menjaga prestasi akademiknya. Ibunya menatap Yama dengan tatapan yang sulit diartikan. 'Nak, kamu sudah besar. Ibu percaya kamu bisa membuat keputusan yang terbaik untuk dirimu sendiri. Tapi, ibu hanya ingin kamu ingat, dunia modeling itu tidak semudah yang kamu bayangkan.' Meski begitu, sang ibu tetap menyarankan agar Yama melanjutkan pendidikan di bidang kedokteran hewan. Yama mengangguk mengerti, hatinya bercampur aduk antara harapan dan kecemasan.
Setelah menyampaikan keinginannya untuk mengikuti audisi modeling, Yama dihantui keraguan. Bayangan penolakan dari ibunya membuatnya galau.Â
"Bagaimana caranya aku meyakinkan Ibu?" gumamnya dalam hati.Â
Dihantui oleh rasa ragu, Yama mencari nasihat dari Kakak kelasnya, Mira. Setelah mengumpulkan keberangan, ia mencoba menjelaskan betapa pentingnya lomba ini bagi masa depannya, matanya berkaca-kaca. Namun, kekhawatiran ibunya akan dampak modeling terhadap prestasi akademiknya membuatnya ragu. Dalam hati, Yama bertanya-tanya, 'Apakah mimpi dan impian orang tuaku bisa berjalan beriringan?'. Dengan hati berdebar, Yama akhirnya berhasil meyakinkan kedua orang tuanya untuk memberikan izin mengikuti lomba setelah ia menunjukkan hasil ujiannya yang memuaskan. Keberhasilannya ini membuatnya merasa sangat lega dan bersemangat, sekaligus menyadari bahwa dengan komunikasi yang baik, segala masalah pasti bisa teratasi.
Keberhasilannya ini membuatnya sangat bersemangat, namun ia juga dihantui oleh rasa tidak percaya diri.Â
Bagaimana jika ia melakukan kesalahan di atas panggung? Bagaimana jika penampilannya tidak memuaskan?Â
Untuk mengatasi rasa takutnya, Yama berlatih lebih keras dan meminta dukungan dari teman-temannya club model sekolahnya. Ia belajar tentang postur tubuh yang baik, dan cara berjalan dengan percaya diri. Setiap kali merasa ragu, ia mengingatkan dirinya sendiri akan semua yang telah ia lalui untuk mencapai titik ini.
Malam sebelum lomba, Yama merasa sangat gugup. Ia mencoba untuk rileks dengan mendengarkan musik favoritnya dan membayangkan dirinya sedang berjalan di atas catwalk dengan penuh percaya diri. Saat tiba gilirannya tampil, detak jantungnya berpacu dengan cepat. Namun, ketika lampu sorot menyinarnya, semua rasa takutnya sirna. Ia berjalan dengan anggun dan percaya diri, memancarkan aura bintang. Penonton bersorak meriah, dan Yama merasa sangat bahagia dan puas.
Kemenangan Yama dalam lomba fashion show tingkat kota membuka jalan baginya ke dunia modeling yang lebih luas. Tawaran dari berbagai agensi modeling berdatangan, menawarkan peluang untuk menjadi model internasional. Namun, di balik gemerlap dunia mode, muncul dilema baru yang semakin menggerogoti hatinya. Ia merasa terjebak dalam sebuah kebohongan. Orang tuanya, yang selalu mendukungnya, memiliki harapan besar agar Yama menjadi dokter hewan. Setiap kali melihat senyum bangga di wajah orang tuanya, rasa bersalah semakin menyiksa hatinya. Yama terombang-ambing antara keinginan untuk mengejar mimpinya dan ketakutan mengecewakan orang yang paling ia sayangi. Malam-malam ia sering terjaga, memikirkan pilihan-pilihan sulit yang harus ia ambil.Â
Apakah ia harus mengorbankan mimpinya demi kebahagiaan orang tuanya? Atau haruskah ia terus mengejar mimpinya, meski harus berhadapan dengan kemungkinan kehilangan dukungan mereka? Dalam kesendiriannya, Yama mulai meragukan bakatnya sebagai model.Â
Apakah ia benar-benar memiliki potensi untuk sukses di dunia yang sangat kompetitif ini? Ketidakpastian ini semakin membuatnya merasa tertekan.Â
Kembali ke asrama, Yama merasa semakin tertekan. Di satu sisi, ia sangat antusias dengan tawaran agensi dan peluang untuk mengejar mimpinya di dunia modeling. Namun, di sisi lain, ia merasa bersalah karena telah menyembunyikan kebenaran dari orang tuanya. Jadwal sekolah yang semakin padat karena mendekati ujian akhir SMA semakin menambah beban pikirannya. Ia harus membagi waktu antara belajar, latihan modeling, dan mencoba mencari cara untuk memberitahu orang tuanya tentang kebenaran ini.
Setelah mengumpulkan keberanian, Yama menulis surat panjang kepada orang tuanya, mencurahkan segala isi hatinya. Ia menjelaskan betapa besarnya rasa bersalah yang ia rasakan atas kebohongannya, namun ia juga menekankan betapa pentingnya mimpi menjadi model baginya. Beberapa hari kemudian, balasan surat orang tuanya datang. Huruf-huruf dalam surat itu seakan membacakan pikiran Yama. Mereka kecewa, tentu saja, namun mereka juga mengungkapkan rasa bangga atas keberanian Yama untuk mengejar mimpinya. Mereka berjanji akan selalu mendukungnya, asalkan Yama tidak melupakan pendidikannya.
Dengan dukungan orang tuanya, Yama merasa lega namun juga tertantang. Ia semakin bertekad untuk membuktikan bahwa pilihannya adalah benar. Ia semakin giat berlatih modeling, mengikuti berbagai casting, dan menjaga prestasi akademiknya. Hasilnya pun tak mengecewakan. Yama berhasil meraih peringkat satu di angkatannya dan mendapatkan beasiswa kuliah di bidang modeling di Tokyo, sebuah impian yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Dalam perjalanan panjangnya ini, Yama belajar banyak hal. Ia belajar tentang arti perjuangan, pengorbanan, dan pentingnya kejujuran. Ia juga belajar bahwa mimpi itu boleh besar, asalkan kita mau berusaha sekuat tenaga untuk meraihnya. Pengalamannya ini mengajarkan Yama bahwa tidak ada hal yang tidak mungkin jika kita memiliki tekad yang kuat dan dukungan dari orang-orang yang kita cintai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H