Emily, begitulah namaku,  teman-temanku lebih akrab memanggilku dengan panggilan itu. Aku adalah gadis kecil yang unik, perpaduan menarik antara darah Jepang dari ibu dan Amerika dari ayah. Mata sipitku mewarisi keindahan mata ibu, sementara bulu mata lentik dan mata biru adalah hadiah dari ayah. Ayah bilang, gen-gennya lebih dominan dalam tubuhku, tapi entah mengapa, sifatku justru lebih mirip ibu. Masa kecilku dihabiskan di Amerika, sebuah negara yang kucintai. Di sana, aku punya banyak teman yang selalu menemani hari-hariku. Setiap sore, kami bermain bersama hingga matahari terbenam. Namun, kebahagiaan itu harus berakhir ketika ayah mendapat tugas dinas di Jepang. "Aku tidak mau pergi, Ayah!",protesku saat mendengar kabar itu. Aku tak ingin berpisah dengan teman-temanku. Tapi, bujukan lembut ayah membuatku luluh. Akhirnya, aku pun berpamitan pada teman-teman saat kami bermain bersama, Kami bermain sepuasnya, tanpa menyadari bahwa itu adalah pertemuan terakhir kami dalam waktu yang lama. Saat berpisah, aku berjanji pada diri sendiri untuk tidak melupakan mereka.
  Sesampainya di Jepang, aku merasa asing dengan lingkungan baru. Namun, perlahan-lahan aku mulai beradaptasi. Aku belajar bahasa Jepang, berkenalan dengan teman-teman baru di sekolah, dan menikmati keindahan alam Jepang. Meski begitu, rindu pada teman-teman lama di Amerika tak pernah benar-benar hilang dari hatiku. Setiap malam, sebelum tidur, aku sering memikirkan mereka. Aku teringat pada tawa riang Nichole, tingkah jahil Bryan, dan kebaikan hati John. Aku merindukan semua momen indah yang pernah kami lewati bersama. Aku sadar, hidup ini penuh dengan perpisahan dan pertemuan. Meski begitu, kenangan indah tentang teman-teman lama akan selalu tersimpan di dalam hatiku. Dan aku yakin, suatu hari nanti, kita akan bertemu lagi.
 Di Jepang, aku merasa sangat kesepian. Tanpa,  teman-teman masa kecilku membuat hari-hariku terasa hampa. Sekolah baru, lingkungan baru, semuanya terasa asing. Walaupun, aku sudah mulai beradaptasi dengan berkenalan orang baru di Sekolah. Setiap aku di rumah meresa kesepian dengan ibu yang sibuk dengan bisnis kateringnya. Aku seringkali duduk  di jendela kamar, menatap ke luar, sambil mengingat kenangan indah bersama teman-teman di Amerika. Ketika merasa kesepian di Jepang, Aku  menatap gelang persahabatan yang kami buat bersama. Aku membayangkan sedang duduk di ayunan taman bersama teman-teman, tertawa lepas, Setiap manik-manik pada gelang itu seperti potongan puzzle yang membentuk sebuah kenangan. Ada manik-manik berbentuk bintang yang mengingatkan pada malam kami berkemah di belakang rumah John. Ada juga manik-manik berwarna biru laut yang mengingatkan  pada hari kami bermain di Pantai. Ada manik-manik berbentuk hati yang kami ukir bersama, ada pula manik-manik berwarna pelangi yang kami temukan saat bermain di taman. Setiap kali menyentuh gelang itu, Emily merasa seolah-olah teman-temannya sedang berada di sisinya.
 Suatu sore, saat sedang berjalan-jalan di sekitar  taman apartemennya, Emily bertemu dengan seekor kucing kecil berwarna oranye. Kucing itu tampak kurus dan kotor, tapi matanya bersinar dengan kecerdasan. Ia merasa kasihan pada kucing itu dan memutuskan untuk memberinya makan. Lambat laun, kucing itu mulai berani mendekatiku dan bahkan mau dielus. Aku memberi nama kucing itu Maru. Maru menjadi teman setianya. Setiap kali merasa sedih atau kesepian, aku  mengajak Maru bermain. Aku sering menghabiskan waktu bersama Maru di taman, mengejar kupu-kupu, atau hanya sekadar duduk diam sambil menikmati sinar matahari. Maru selalu ada di sisi Emily, memberikan kenyamanan dan kasih sayang yang Emily butuhkan.
 Suatu malam,  untuk menyingkirkan rasa sedih  aku sibuk menata foto-foto lama bersama teman-temanku  di atas meja belajarku setelah aku belajar untuk hari esok. Aku tersenyum sambil mengingat setiap momen yang tertangkap dalam gambar. Ada foto aku bersama sahabatku sedang bermain di taman, bersepeda bersama, atau merayakan ulang tahun.
Apa aku merawat  Maru saja untuk menemani rasa sepi ku
 Suatu hari, Emily memutuskan untuk merawat Maru dengan serius. Ia mencari kebaradaan Maru disekitar taman  Apatemennya, lalu ia meminta izin kepada orang tuanya untuk membawa Maru ke klinik hewan. Sesampai di Klinik Hewan, Dokter hewan mengatakan bahwa Maru dalam kondisi sehat dan hanya perlu perawatan rutin. Emily sangat senang. Ia berjanji akan merawat Maru sebaik mungkin.
 Setiap hari, Emily merawat Maru dengan penuh kasih sayang. Ia memberinya makan, memandikannya, dan membawanya berjalan-jalan. Maru pun tumbuh menjadi kucing yang sehat dan ceria. Bulunya yang awalnya kusam kini mengkilap, dan matanya yang dulu sayu kini bersinar penuh semangat. Kehadiran Maru membuat kehidupan Emily jauh lebih berwarna. Emily merasa tidak lagi kesepian. Ia memiliki teman yang selalu ada untuknya, yang selalu siap mendengarkan keluh kesahnya. Maru juga mengajarkan Emily tentang arti persahabatan yang sejati, yaitu tulus, tanpa syarat, dan selalu ada dalam setiap momen. Meskipun begitu, rindu pada teman-temannya di Amerika tidak pernah benar-benar hilang dari hati Emily. Namun, dengan adanya Maru, ia bisa melewati masa-masa sulit ini. Emily yakin, suatu hari nanti ia akan bertemu kembali dengan teman-temannya. Dan sampai saat itu tiba, ia akan terus bersyukur atas kehadiran Maru dalam hidupnya.
 Emily dan Maru selalu bersama. Mereka bermain, makan, dan tidur bersama. Maru menjadi sahabat terbaik Emily, selalu ada untuknya dalam suka dan duka. Ikatan mereka begitu kuat, seakan tak terpisahkan.
 Suatu sore, saat bermain di taman, Maru tiba-tiba menghilang. Emily memanggil-manggil namanya dengan suara sekuat tenaga, namun Maru tak kunjung muncul. Hati Emily langsung terasa sesak. Ia mencari ke seluruh penjuru taman, bahkan sampai ke sudut-sudut yang paling gelap. Namun, semua usahanya sia-sia. Maru tetap tidak ditemukan. Emily pulang ke rumah dengan perasaan sedih dan putus asa. Ia menyalahkan dirinya sendiri karena telah lalai menjaga Maru. Malam itu, Emily menangis tersedu-sedu sambil memeluk erat bantal kesayangannya. Ia sangat merindukan Maru.
  Keesokan harinya, Emily memutuskan untuk mencari Maru ke seluruh penjuru lingkungan. Ia menempelkan poster berisi foto Maru di setiap sudut jalan. Ia juga meminta bantuan kepada tetangga-tetangganya untuk mencarikan Maru. Namun, semua usahanya masih belum membuahkan hasil.
 Hari demi hari berlalu, Emily semakin putus asa. Ia merasa hidupnya hampa tanpa kehadiran Maru. Ia sering melamun di jendela kamar, sambil menatap ke luar dan berharap Maru akan kembali.
 Saat sedang berjalan-jalan di sekitar taman, Aku mendengar suara meong yang familiar. Aku mengikuti suara itu dan betapa terkejut aku ketika melihat Maru sedang duduk di bawah pohon. Maru tampak kotor dan kurus, namun matanya masih bersinar penuh semangat ketika melihatku.
 Emily langsung berlari menghampiri Maru dan memeluknya erat-erat. Maru pun menyambutnya dengan penuh kasih sayang. Emily sangat bersyukur karena akhirnya bisa bertemu kembali dengan Maru. Ia membawa Maru pulang dan merawatnya dengan sangat baik.
 Sejak saat itu, Emily selalu menjaga Maru dengan lebih baik lagi. Ia tidak ingin kehilangan sahabat setianya itu lagi. Kejadian ini membuat Emily semakin menghargai kehadiran Maru dalam hidupnya. Ia belajar bahwa persahabatan itu sangat berharga dan harus dijaga sebaik mungkin.
 Sore itu selepas Ayah pulang berkerja memilihat aku bermain dengan maru di Ruang Tamu, selepas ayah membersihkan diri. Ayah menuju ke dapur menghampiri ibu yang sedang mempersiapkan makan malam. Setelah itu menemaniku yang sedang bermain di Ruang Tamu.
"Ayah, aku ingin beli ikatan untuk Maru bermain dengan ku di taman, boleh? Aku tidak ingin kehilangan Maru untuk kedua kalinya," pinta Emily sambil memeluk erat lengan ayahnya . Matanya berkaca-kaca, takut kehilangan sahabat kecilnya itu lagi. Ayah Emily tersenyum lembut sambil mengelus rambut pirang nya. Ia paham betul betapa berarti Maru bagi putrinya. "Iya, Emily, boleh. Nanti Ayah belikan, biar nanti saat Ayah libur kita bermain bersama di taman. Kita ajak Maru juga, ya?",Emily mengangguk semangat.
Akhir pekan tiba! "Akhir pekan yang sempurna!", seru Emily bersemangat. Akhirnya, ia bisa mengajak Maru bermain di taman indah dekat Osaka. Taman itu terkenal dengan Pohon Sakura dan palemnya yang rindang. Ayunan, perosotan, dan jungkat-jangkit berbentuk kuda yang mengelilingi taman semakin menambah keceriaan. Apalagi sekarang sedang musim gugur, dedaunan yang berguguran membuat taman terlihat semakin cantik. Emily mengeluarkan ikatan baru yang sudah dibelinya bersama Ayah . Ikatan berwarna oranye terang itu sangat cocok dengan bulu Maru.
"Maru, lihat! Ikatan barumu bagus sekali, kan?", seru Emily sambil memakaikan ikatan itu pada leher Maru. Maru tampak senang dengan ikatan barunya. Ia berlari-lari kecil mengelilingi taman, ekornya mengembang dengan gembira. Emily dan Maru bermain dengan sangat asyik. Mereka berlari mengejar kupu-kupu, bermain petak umpet di antara pepohonan, dan berguling-guling di atas rumput hijau. Tawa riang Emily terdengar nyaring di udara.
"Ayah, lihat Maru! Dia bisa menangkap bola!", seru Emily sambil melempar bola tenis ke arah Maru. Maru melompat tinggi untuk menangkap bola itu.
Ayah Emily tersenyum bangga melihat putrinya dan Maru bermain bersama. "Maru pintar sekali, ya? Kamu sudah melatihnya dengan baik, Emily." Dibalas dengan anggukan mungil Emily sambil menampilkan gigi kelincinya "iyah dong, ayah heheh"
Saat matahari mulai terbenam, Emily dan Maru duduk di bangku taman. Mereka menatap langit yang berwarna jingga. "Aku senang sekali bisa punya Maru, Ayah," ucap Emily sambil memeluk Maru erat-erat. Ayahnya mengelus rambut Emily. "Ayah juga senang, Sayang. Maru adalah teman yang baik untukmu."
Selepas berbincang dengan kedua orang tuanya di taman. Ibu mengajak untuk makan bekal yang mereka bawa di bawah rindangnya Pohon Sakura.  Emily pun segera mengajak Maru yang berada di pelukannya. Mereka menikmati bekal piknik yang telah disiapkan oleh kedua orang tua Emily. "Jangan lupa bekalnya, Maru!", seru Emily saat sudah sampai di Pohon Sakura sambil membawa keranjang piknik berisi roti, buah-buahan, dan kebutuhan Maru. Emily membantu kedua orang tuanya menggelar tikar di bawah pohon Pohon Sakura yang rindang dan menikmati bekal mereka sambil mengagumi pemandangan.
Saat menikmati bekal, Emily melihat bunga sakura pertama kali mekar. "Lihat, Maru, bunga sakuranya sudah mulai mekar!" seru Emily, menunjuk ke arah pohon sakura yang indah. Maru, yang sedang asyik mengendus-endus daun kering, mengangkat kepalanya seolah mengerti. Sinar matahari hangat menyinari wajah mereka berdua, menciptakan suasana yang tenang dan damai.
Setelah kenyang, Emily dan Maru melanjutkan petualangan mereka di taman. Mereka berlari mengelilingi taman, dedaunan kering berhamburan di bawah kaki mereka. "Aku lelah!", seru Emily sambil terengah-engah. Mereka duduk di bawah pohon sakura yang rindang. Maru langsung menggulung tubuhnya dan tertidur pulas. Emily tersenyum melihat Maru yang begitu tenang. Ia mengeluarkan buku gambar dan pensil warna dari tasnya, lalu mulai menggambar Maru yang sedang tidur.
Tiba-tiba, seorang anak laki-laki menghampiri mereka. "Kucingmu lucu sekali! Namaku Ken, kamu?" sapa anak itu ramah. Emily yang sedang asyik menggambar, langsung menoleh. Dari kejauhan, anak itu terlihat mirip dengan John, sahabat kecilnya di Amerika. Namun, saat melihat wajahnya lebih dekat, Emily menyadari bahwa itu bukan John. "Oh, namaku Emily, dan ini Maru, kucingku," jawab Emily sambil tersenyum. "Mungkin suatu hari nanti, aku akan bertemu dengan John lagi," gumam Emily dalam hati sambil terus menggambar Maru.
Setelah puas bermain dan menikmati keindahan taman,Mereka pun pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, Emily langsung menuju kamarnya. Ia mengeluarkan kertas dan pulpen, siap untuk menulis surat kepada teman-temannya di Amerika. Dengan penuh semangat, ia mulai menceritakan semua pengalaman serunya hari itu. "Hai teman-teman!" tulis Emily di awal suratnya. "Aku punya banyak cerita seru untuk kalian! Hari ini, Ayah mengajakku dan Maru pergi ke taman yang sangat indah. Taman itu penuh dengan pohon sakura dan palem. Daun-daunnya yang berguguran membuat taman jadi seperti karpet berwarna-warni. Aku dan Maru bermain sepuasnya di sana. Kami berlari-lari, bermain petak umpet, dan bahkan aku sempat menggambar Maru yang sedang tidur." Emily melanjutkan ceritanya dengan menceritakan tentang bunga sakura yang pertama kali ia lihat, tentang kenalan barunya, Ken, dan tentang betapa bahagianya ia hari itu. Ia menggambarkan dengan detail keindahan taman, keseruan bermain dengan Maru, dan keramahan Ken.
Setelah selesai menulis surat, Emily merasa sangat puas. Ia berharap teman-temannya akan senang membaca suratnya dan membayangkan betapa serunya petualangannya di Jepang. Dengan hati yang gembira, Emily memasukkan suratnya ke dalam amplop dan meminta Ayah untuk mengirimkannya ke Amerika.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H