Mohon tunggu...
Puspo Lolailik Suprapto
Puspo Lolailik Suprapto Mohon Tunggu... Lainnya - Esais/Bookstagrammer

Nulis apa saja :)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Demokrasi vs Kapitalisme, Apakah Indonesia Bergerak Menuju Oligarki?

20 Agustus 2024   07:27 Diperbarui: 20 Agustus 2024   07:31 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Demokrasi di Indonesia, yang awalnya diharapkan bisa benar-benar mewakili suara rakyat, sekarang menghadapi tantangan besar karena pengaruh kapitalisme.

Seiring waktu, kapitalisme tidak hanya menjadi bagian dari pertumbuhan ekonomi, tetapi juga mulai masuk ke dalam dunia politik, memengaruhi keputusan dan kebijakan publik.

Dalam demokrasi, seharusnya setiap orang punya hak yang sama untuk ikut serta dalam politik. 

Namun, karena pengaruh kapitalisme, uang sering kali menentukan siapa yang lebih berkuasa.

Banyak yang berpendapat bahwa kapitalisme telah menciptakan sebuah sistem di mana pemilik modal dan perusahaan besar memiliki kendali utama dalam menentukan kebijakan negara. 

Ini terlihat dari banyak keputusan yang lebih menguntungkan elite ekonomi dibandingkan masyarakat umum.

Akibatnya, demokrasi di Indonesia semakin kehilangan tujuan utamanya sebagai sistem yang benar-benar mewakili kepentingan rakyat. 

Ketidakmerataan pembagian kekayaan, penguasaan sumber daya oleh segelintir orang, serta pengaruh besar pemodal dalam kampanye politik, semuanya memperburuk kondisi ini.

Hal ini kemudian menuai pertanyaan: 

Apakah Indonesia masih bisa dianggap sebagai negara demokratis ketika kapitalisme begitu dominan, atau justru sedang bergerak ke arah pemerintahan yang lebih oligarkis?

Apakah Kapitalisme Justru Merusak Demokrasi?

Dalam politik, akademisi sudah lama memprediksi bahwa kekuasaan di negara demokratis akan berpindah ke kelompok-kelompok tertentu. 

Colin Crouch, seorang profesor politik dari Universitas Warwick, menyebut fenomena ini sebagai Post-democracy.

Menurut Crouch, dalam era post-democracy, muncul kelompok masyarakat baru yang mengerti pentingnya sistem politik. 

Berbeda dengan kelas menengah yang mendukung demokrasi, kelompok ini lebih mengutamakan populisme untuk memperkuat kekuasaan mereka yang eksklusif, terutama dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan pemerintah.

Kelompok ini memiliki kekuatan ekonomi dan politik yang besar. 

Mereka tahu bahwa dengan kekuasaan politik, mereka bisa mewujudkan kepentingan mereka dan mengamankan kekuasaan ekonomi mereka.

Crouch menyebut situasi ini sebagai demokrasi yang hanya tampak di permukaan, di mana kekuasaan oligarki semakin mendominasi politik.

Firman Noor, peneliti politik LIPI, dalam tulisannya Fenomena Post Democracy Party di Indonesia, menjelaskan bahwa post-democracy muncul karena semakin menjauhnya hubungan antara partai politik dan masyarakat. 

Hal ini bukan hanya disebabkan oleh ketidakpuasan masyarakat terhadap partai, tetapi juga karena partai politik kini lebih mandiri secara finansial dan tidak bergantung pada dukungan komunitas.

Partai politik semakin mandiri secara finansial karena mereka sering mendapatkan dana dari pengusaha untuk bertahan. 

Dengan keadaan ini, tidak mengherankan jika anggota legislatif bisa dengan mudah meloloskan aturan kontroversial seperti Omnibus Law, karena pengaruh kapitalisme sangat kuat dalam menjaga kekuasaan ekonomi.

Namun, apakah kita bisa menyalahkan langsung para pembuat kebijakan karena terpengaruh kapitalisme? 

Menurut filsuf Slovenia, Slavoj iek, kapitalisme dan demokrasi sebenarnya tidak selalu bisa berjalan bersama. 

iek berpendapat bahwa kapitalisme global telah dengan cepat melampaui demokrasi dan mengurangi peran serta masyarakat dalam urusan domestik.

Negara kini sering terpaksa mengambil tindakan cepat tanpa mempertimbangkan nilai-nilai demokrasi, karena harus mengejar ketertinggalan di kancah internasional.

iek melihat bahwa masalah antara kapitalisme dan demokrasi bukanlah karena salah satu sistem, melainkan karena keduanya saling bertentangan. 

Demokrasi seharusnya ideal untuk memenuhi kepentingan bersama, dan bila digabungkan dengan kapitalisme, keduanya telah membawa banyak kemakmuran bagi negara dan individu.

Namun, seiring berjalannya waktu, kemakmuran ini juga menimbulkan kesenjangan kekayaan dan kerusakan lingkungan.

Apakah kapitalisme bisa dianggap sebagai musuh utama? 

Tidak sepenuhnya, karena kapitalisme sebenarnya membantu meningkatkan kapasitas ekonomi, baik untuk individu maupun negara. 

Sementara kapitalisme cepat dalam menangani masalah ekonomi, demokrasi seringkali kesulitan menjalankan tugas utamanya, yaitu mewakili dan memperjuangkan kepentingan bersama serta mendorong pertumbuhan dan kesetaraan.

Sebagai sistem yang ideal, demokrasi seharusnya memungkinkan masyarakat untuk berdiskusi bersama tentang cara membagi kekayaan ekonomi dan menentukan kebijakan ekonomi nasional. 

Namun, sekarang banyak keputusan kebijakan diambil oleh kelompok yang lebih fokus pada situasi ekonomi global.

Untuk menghadapi tantangan kapitalisme global yang semakin kuat, iek berpendapat bahwa negara perlu mencari solusi selain terus memaksakan demokrasi dan kapitalisme berjalan bersamaan. 

Dia menyarankan untuk melihat negara maju seperti Singapura sebagai contoh yang bisa dipelajari.

Jadi, mengapa Singapura dianggap contoh yang relevan?

Pelajaran Berharga dari Singapura

Singapura adalah contoh sukses ekonomi di Asia Tenggara. 

Keberhasilan ini tak lepas dari peran mantan Perdana Menteri Lee Kuan Yew, yang banyak dianggap sebagai sosok kunci dalam kemajuan pesat ekonomi negara tersebut.

Saat Lee Kuan Yew memimpin, ekonomi Singapura berkembang pesat, dengan produk domestik bruto (PDB) melonjak dari US$500 pada tahun 1965 menjadi US$14.500 pada tahun 1991.

Namun, keberhasilan ekonomi Singapura tidak lepas dari pengorbanan. 

Lee dikenal sebagai pemimpin yang otoriter dan sering berkata bahwa demokrasi tidak bisa membangun ekonomi negara berkembang.

Dalam pidatonya di Forum Asahi Tokyo pada 1992, Lee mengatakan bahwa negara harus fokus pada pembangunan ekonomi terlebih dahulu, baru setelah itu demokrasi bisa diterapkan. 

Ia percaya demokrasi tidak akan berhasil tanpa stabilitas dan disiplin ekonomi yang diperlukan untuk pembangunan.

Meskipun demikian, Singapura tetap menghargai elemen demokrasi, seperti kebebasan berbicara dan berekspresi yang dijamin dalam Pasal 14 Konstitusi. 

Kebebasan ini dapat terlihat dalam debat di Parlemen, diskusi publik, dan media. 

Namun, Pasal 14 juga memberikan hak kepada Parlemen untuk membatasi kebebasan berbicara dengan alasan tertentu.

Keberhasilan ekonomi Singapura mungkin terletak pada kemampuannya menarik investasi dari perusahaan besar internasional.

Sementara negara demokratis Asia Tenggara lainnya, seperti Indonesia, melihat investasi asing sebagai bentuk neo-kolonialisme, Lee justru percaya bahwa pembangunan ekonomi memerlukan kerjasama dengan mantan penjajah dan negara-negara Barat.

Kunci kedua keberhasilan ekonomi Singapura adalah peran aktif pemerintah dalam mengatur ekonomi. 

Pemerintah bertanggung jawab atas perencanaan dan pengelolaan, mulai dari mendukung pengembangan bisnis lokal melalui Economic Development Board (EDB) hingga memfasilitasi investasi industri melalui Development Bank of Singapore (DBS).

Pada akhirnya, Singapura berhasil menciptakan masyarakat yang makmur, meskipun hal itu berarti kebebasan berpendapat menjadi terbatas.

Keberhasilan Singapura bisa menjadi pelajaran bagi Indonesia yang ingin berkembang menjadi negara maju. 

Jika Indonesia merasa cukup dengan sistemnya saat ini, demokrasi bisa tetap diandalkan untuk menghadapi kapitalisme global. 

Namun, hal ini berarti pemerintah akan terus mendapat kritik tentang bagaimana kebijakan dan perjanjian ekonominya, meskipun bermanfaat, sering kali kurang melibatkan partisipasi rakyat.

Menurut iek dalam video Democracy and Capitalism Are Destined to Split Up, masalah kapitalisme bisa diatasi jika kebebasan berbicara berkembang sedemikian rupa sehingga suara rakyat benar-benar memengaruhi kebijakan ekonomi, bukan hanya didengarkan oleh sekelompok kecil orang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun