Dalam politik, akademisi sudah lama memprediksi bahwa kekuasaan di negara demokratis akan berpindah ke kelompok-kelompok tertentu.Â
Colin Crouch, seorang profesor politik dari Universitas Warwick, menyebut fenomena ini sebagai Post-democracy.
Menurut Crouch, dalam era post-democracy, muncul kelompok masyarakat baru yang mengerti pentingnya sistem politik.Â
Berbeda dengan kelas menengah yang mendukung demokrasi, kelompok ini lebih mengutamakan populisme untuk memperkuat kekuasaan mereka yang eksklusif, terutama dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan pemerintah.
Kelompok ini memiliki kekuatan ekonomi dan politik yang besar.Â
Mereka tahu bahwa dengan kekuasaan politik, mereka bisa mewujudkan kepentingan mereka dan mengamankan kekuasaan ekonomi mereka.
Crouch menyebut situasi ini sebagai demokrasi yang hanya tampak di permukaan, di mana kekuasaan oligarki semakin mendominasi politik.
Firman Noor, peneliti politik LIPI, dalam tulisannya Fenomena Post Democracy Party di Indonesia, menjelaskan bahwa post-democracy muncul karena semakin menjauhnya hubungan antara partai politik dan masyarakat.Â
Hal ini bukan hanya disebabkan oleh ketidakpuasan masyarakat terhadap partai, tetapi juga karena partai politik kini lebih mandiri secara finansial dan tidak bergantung pada dukungan komunitas.
Partai politik semakin mandiri secara finansial karena mereka sering mendapatkan dana dari pengusaha untuk bertahan.Â
Dengan keadaan ini, tidak mengherankan jika anggota legislatif bisa dengan mudah meloloskan aturan kontroversial seperti Omnibus Law, karena pengaruh kapitalisme sangat kuat dalam menjaga kekuasaan ekonomi.