Cerita ini lebih banyak berfokus pada dampak kekerasan terhadap orang-orang yang secara emosional terikat dengan korban.Â
Dalam "Angin Ingatan", Limah masih belum bisa melupakan putra tunggalnya, Khalil, yang hilang dua puluh tahun lalu saat kuliah di Banda Aceh.Â
Kekerasan dalam cerpen ini hanya disampaikan melalui mimpi Khalil kepada Limah, di mana ia menceritakan bahwa dirinya dihilangkan oleh seseorang bernama "Sumitro" (hal. 4).
Mungkin dengan niat sarkastis, penulis juga menceritakan dampak kekerasan pada pelaku.Â
Dalam cerpen "Kematian yang Tak Kunjung Tiba" (hal. 59), tokoh utama sangat ingin mati tetapi tidak bisa, dan hal ini membuatnya menderita secara psikologis.Â
Itu adalah konsekuensi---balasan atau hukuman---atas tindak kekerasan yang dia lakukan di masa lalu, saat dia "masih berkuasa dan semua orang tunduk kepadanya" (hal. 60) dan "dia telah membunuh terlalu banyak orang di masa lalu" (hal. 61).
Yang langsung terlihat dalam cerpen-cerpen yang mengangkat tema kekerasan di buku ini adalah latar tempat dan budaya, yaitu Aceh.
Dalam dunia cerita ini, latar Aceh muncul melalui simbol-simbol seperti nama tokoh (Liman, Leman, Teungku Liyah, Dek Gam) atau nama tempat (Banda Aceh, Aceh Tengah, Bur Lintang, Gunung Reutoh).Â
Latar ini diatur sedemikian rupa dalam cerita sehingga kekerasan menjadi penanda dari latar tersebut.
Semiotika membagi tanda menjadi tiga jenis, yaitu ikon, indeks, dan simbol.Â
Pembagian ini didasarkan pada hubungan antara penanda (signifier) dan petanda (signified).Â