Cerita tentang kesenangan sering kali kurang menarik.Â
Ini bukan cerita tentang kehidupan nyata manusia, melainkan tentang surga yang jelas tidak ada di dunia ini.
Nyai Ontosoroh pasti akan tertarik membaca cerpen-cerpen dalam "Kebun Jagal" yang mengangkat tema bukan-kesenangan.
Cerpen-cerpen ini, mulai dari "Angin Ingatan" hingga "Malam Lebaran, Nisan di Atas Kuburan", menyoroti kekerasan fisik dan psikologis.Â
Dari dua puluh satu cerpen, delapan belas di antaranya berhubungan erat dengan kematian.
Perlu dicatat bahwa dalam cerpen-cerpen tersebut, kekerasan tidak hanya digambarkan secara kasar atau sadis.Â
Penulis lebih fokus pada dampak kekerasan terhadap semua orang yang terlibat, baik korban, pelaku, maupun orang-orang di sekitar mereka.
Dalam beberapa cerpen di buku ini, kekerasan sering diceritakan sebagai kenangan dan tidak menjadi fokus utama cerita.Â
Misalnya, dalam "Dentum di Payajen" (hal. 21), penderitaan Abra'u Lamkaruna digambarkan melalui ingatannya setelah ia bangkit dari kubur.Â
Namun, cerita lebih banyak menguraikan dampak kekerasan yang dialami Abra'u, seperti keinginannya untuk membalas dendam terhadap Komandan Edi.
Cerita ini lebih banyak berfokus pada dampak kekerasan terhadap orang-orang yang secara emosional terikat dengan korban.Â
Dalam "Angin Ingatan", Limah masih belum bisa melupakan putra tunggalnya, Khalil, yang hilang dua puluh tahun lalu saat kuliah di Banda Aceh.Â
Kekerasan dalam cerpen ini hanya disampaikan melalui mimpi Khalil kepada Limah, di mana ia menceritakan bahwa dirinya dihilangkan oleh seseorang bernama "Sumitro" (hal. 4).
Mungkin dengan niat sarkastis, penulis juga menceritakan dampak kekerasan pada pelaku.Â
Dalam cerpen "Kematian yang Tak Kunjung Tiba" (hal. 59), tokoh utama sangat ingin mati tetapi tidak bisa, dan hal ini membuatnya menderita secara psikologis.Â
Itu adalah konsekuensi---balasan atau hukuman---atas tindak kekerasan yang dia lakukan di masa lalu, saat dia "masih berkuasa dan semua orang tunduk kepadanya" (hal. 60) dan "dia telah membunuh terlalu banyak orang di masa lalu" (hal. 61).
Yang langsung terlihat dalam cerpen-cerpen yang mengangkat tema kekerasan di buku ini adalah latar tempat dan budaya, yaitu Aceh.
Dalam dunia cerita ini, latar Aceh muncul melalui simbol-simbol seperti nama tokoh (Liman, Leman, Teungku Liyah, Dek Gam) atau nama tempat (Banda Aceh, Aceh Tengah, Bur Lintang, Gunung Reutoh).Â
Latar ini diatur sedemikian rupa dalam cerita sehingga kekerasan menjadi penanda dari latar tersebut.
Semiotika membagi tanda menjadi tiga jenis, yaitu ikon, indeks, dan simbol.Â
Pembagian ini didasarkan pada hubungan antara penanda (signifier) dan petanda (signified).Â
Pada ikon, hubungan antara penanda dan petanda didasarkan pada kemiripan atau kesamaan fisik.Â
Pada indeks, hubungan itu bersifat asosiatif atau sebab-akibat, sementara pada simbol, hubungan tersebut didasarkan pada kesepakatan atau konvensi yang berlaku dalam masyarakat.
Jelas bahwa kekerasan (penanda) tidak mirip atau sama dengan Aceh (petanda).Â
Oleh karena itu, kekerasan yang digambarkan dalam cerpen-cerpen tersebut bukanlah tanda ikonik, melainkan tanda indeksikal.
Artinya, dalam cerpen-cerpen yang menceritakan kekerasan di bukubini, kekerasan itu terjadi karena atau sebagai akibat dari keberadaan Aceh.
Ada sesuatu yang membuat latar budaya dan tempat yang awalnya netral menjadi alasan terjadinya kekerasan dalam hubungan indeksikal ini.Â
Di sinilah cerpen-cerpen tentang kekerasan dalam buku ini memainkan peran penting.
Jika kekerasan---terutama yang berhubungan dengan kekuasaan politik---disajikan sebagai laporan jurnalistik atau kesaksian, seringkali muncul masalah tentang kebenaran fakta dan penyebabnya.Â
Namun, melalui prosa fiksi, penulis yang menggambarkan kekerasan tidak perlu khawatir dengan masalah ini.Â
Hal ini karena penggambaran tersebut sudah dianggap sah oleh konvensi budaya sebagai karya fiksi.
Dengan demikian, penulis bisa dengan bebas menempatkan militer di antara Aceh yang relatif netral dan kekerasan fisik sebagai penanda, menggunakan simbol-simbol militer seperti komandan, seragam loreng, markas, peluru, dan senjata.Â
Atau, ia juga bisa menempatkan tuntutan pernikahan ideal menurut adat di antara Aceh dan kekerasan psikologis yang menyebabkan kematian Yanti dalam cerpen "Sangkar" (hal. 121).
Jika dipikirkan lebih lanjut, rangkaian pemikiran ini mengarah pada kesimpulan bahwa tanpa adanya militer atau tuntutan pernikahan yang ideal, Aceh tidak akan terkait secara langsung dengan kekerasan.
Kesimpulan ini dalam dunia semiologi bisa saja sama atau berbeda dari pembahasan di luar konteks sastra tentang hubungan antara Aceh dengan kekerasan, militer, adat, atau bahkan agama.
Kita tahu bahwa kekerasan bisa terjadi di mana saja dalam kehidupan sehari-hari, sehingga penting untuk mencari tahu apa penyebabnya, bagaimana cara kerjanya, dan bagaimana mencegah atau menanganinya jika sudah terjadi.Â
Melalui dunia fiksi dalam "Kebun Jagal", hal ini dieksplorasi, memberikan pandangan yang mungkin bisa diterapkan dalam kehidupan nyata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H