Mohon tunggu...
Syahru Reza
Syahru Reza Mohon Tunggu... Lainnya - Suka membaca buku nonfiksi dan berdiskusi dengan yang tidak sependapat agar bisa selalu punya sudut pandang yang baru

seorang warga Aceh yang tidak terlalu suka dengan perdebatan politik karena terlalu menguras energi dan suka berbagai acara variaty show terutama genre petualangan dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Mukim: Lembaga Adat yang Dimasukkan ke Dalam Struktur Pemerintahan Provinsi Aceh

14 Februari 2022   17:34 Diperbarui: 14 Februari 2022   17:35 719
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

A. Lembaga Adat

  1. Pengertian Lembaga Adat

Indonesia memiliki keberagaman budaya bahkan sebelum merdeka. Beberapa  wilayah masih mempertahankan adat budayanya bahkan memasukkannya ke dalam  struktur pemerintahan di daerahnya. Walaupun sempat hilang di era orde baru karena  dekonsentrasi namun setelah reformasi pemerintah mulai mengakomodir kembali  keberagaman budaya tersebut. Provinsi Aceh termasuk dari beberapa daerah yang  mengadakan beberapa lembaga adat dalam pemerintahan daerahnya dan di atur  dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. 

Untuk mengetahui bagaimana yang dimaksud dengan lembaga adat maka  terlebih dahulu harus mengetahui pengertian kata "lembaga adat". Lembaga dalam  kamus besar bahasa Indonesia berarti asal mula, bentuk/rupa, acuan, badan  (organisasi), dan kepala suku. Lembaga pemerintahan dalam KBBI diartikan dengan  badan-badan pemerintahan dalam lingkunan eksekutif.1 Pengertian lembaga lebih  menunjuk pada sesuatu bentuk, sekaligus juga mengandung mana yang abstrak.  Karena dalam pengertian lembaga juga mengandung tentang seperangkat norma norma, peraturan-peraturan yang menjadi ciri lembaga tersebut. Lembaga merupakan  sistem yang kompleks yang mencangkup berbagai hal yang berhubungan dengan  konsep sosial, psikologis, politik dan hukum. Menurut Ruttan dan dan Hayami,  lembaga adalah aturan di dalam suatu kelompok masyarakat atau organisasi yang memfasilitasi koordinasi antar anggotanya untuk membantu mereka dengan harapan  di mana setiap orang dapat bekerja sama atau berhubungan satu dengan yang lain  untuk mencapai tujuan bersama yang diinginkan.

Kata adat merupakan terapan kata dari Bahasa Arab yang diartikan sebagai  kebiasaan. Adat atau kebiasaan adalah tingkah lalu seseorang yang terus menerus  dilakukan dengan cara tertentu dan diikuti oleh masyarakat dalam waktu yang lama.  Adat istiadat berlaku pada wilayah yang masyarakatnya mempertahankan hukum  adat (Yulia, 2016). Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 2007 tentang  Pedoman Penataan Lembaga Kemasyarakatan, lembaga adat diartikan sebagai  lembaga kemasyarakatan baik yang sengaja dibentuk maupun yang secara wajar  telah tumbuh dan berkembang di dalam sejarah masyarakat atau dalam suatu  masyarakat hukum adat tertentu dengan wilayah hukum dan hak atas harta kekayaan  di dalam hukum adat tersebtu, serta berhak dan berwenang untuk mengatur,  mengurus dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan yan berkaitan  dengan dan mengacu pada adat istiadat dan hukum adat yang berlaku.

Dari paparan pembahasan di atas mengenai lembaga adat maka dapat  disimpulkan bahwa lembaga adat adalah suatu organisasi yang dibentuk oleh suatu  masyarakat hukum adat tertentu yang dimaksudkan untuk membantu pemerintah  daerah dan menjadi mitra pemerintah daerah dalam memberdayakan, melestarikan dan mengembangkan adat istiadat yang dapat membangun pembangunan suatu  daerah tersebut. Khusus untuk wilayah Provinsi Aceh, mengenai lembaga adat di atur  dalam Qanun Provinsi Aceh sehingga lembaga adat di aceh sudah diakui dalam  sistem perundang-undangan Negara Republik Indonesia.

  1. Dasar Hukum Lembaga Adat Di provinsi Aceh

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 mengakui adanya kehidupan  adat istiadat yang berkembang di wilayah Republik Indonesia, ini bisa dilihat dari  Pasal 18B ayat 1 dan 2 yang berbunyi :

"Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah  yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang undang. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat  hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai  dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik  Indonesia yang diatur dalam undang-undang"

 Maka dari itu Provinsi Aceh yang diakui sebagai daerah modal juga diberi  kebebasan dalam menjalankan adatnya dan diakui dalam peraturan perundan undangan.

Perjalanan lembaga adat di Provinsi Aceh sejalan dengan perjalanan aturan aturan yang terus menerus berubah sesuai dengan perkembangan zaman serta  keinginan masyarakat Aceh untuk menetapkan syariat Islam menjadi aturan formal.  Keberadaan lembaga adat di Provinsi Aceh telah ada sejak era kesultanan Aceh yang  berusia sekitar 400 tahun . Struktur pemerintah Kerajaan Aceh Darussalam  berbentuk sistem pemerintahan piramid dengan susunan dari yang teratas adalah :  kerajaan (negara), sagoe (federasi dari beberapa nanggroe), mukim sagoe, nanggroe (kecamatan), mukim (federasi gampong), gampong (kampung/desa), meunasah,  seunebok, dan rumah tangga (Thamrin & Mulyana, 2008).

Kerajaan Aceh Darussalam mencapai puncaknya pada masa Sultan Iskandar  Muda (1607-1636). Pada masa Sultan Iskandar-lah banyak dilengkapi aturan-aturan  yang telah ada di masing-masing negeri, penyusunan dan penegakan hukum yang  benar sehingga roda pemerintahan dapat berjalan dengan tertib dan lancar. Sistem  pemerintahan disusun mulai dari tingkat tertinggi yaitu tingkat kerajaan, negeri,  kemukiman dan gampong. Sebagian gampong memiliki perkumpulan tani yang  disebut seneubok. Setiap jenjang kepemimpinan memilik pendamping. Pemimpin  tertinggi kerajaan yaitu sultan didampingi oleh Kadli yang memahami hukum Islam,  adat, qanun dan reusam serta dibantu pula oleh mufti. Tingkat Mukim, pemimpim  mukim yaitu Imum mukim didampingi oleh imuem syik yang mengurus dan  memimpin mesjid. tingkat gampong (desa). Pimpinan gampong yaitu geuchik  didampingi oleh teungku imum yang mengurus dan memimpin meunasah.

Kemudian Sultan Iskandar Muda baru mulai membuat aturan baru yaitu  mukim-mukim yang jumlah penduduknya 1000 orang dapat membentuk federasi  yang kemudian disebut keurajeun uleebalang (kekuasan hulubalang). Dalam  keurajeun ini pula pelaksanaan tugas sehari-hari dilaksanakan oleh pang sagoe.  Untuk tingkat gampong, selain geuchik dan teungku imum ditambah lagi dengan  ureung tuha, jumlahnya, menurut penelitian C. Snouck tidak tentu dan cara  pemilihannya juga tidak ada aturan yang baku namun lebih ditentukan oleh opini  umum. Ureung tuha yang dimaksud oleh Snouck ini adalah seperti yang lazimdisebut tuha peut sekarang. Memang pemilihannya dahulu kadang-kadang ditunjuk  atau diajak oleh geuchik dan teungku imum untuk menjadi anggota musyawarah  desa, namun dalam perkembangannya kemudian lebih banyak dipilih langsung oleh  masyarakat secara lisan oleh anggota masyarakat terbanyak ataupun pengacungan  tangan (Jakfar, 2013).

Ketika Belanda menguasai Aceh, struktur pemerintahan di Aceh sedikit  berubah. Aceh menjadi daerah kerasidenan dengan empat Afdeling dan beberapa  Onderafdeling. Pimpinan tertinggi di Aceh pada masa itu dijabat oleh Gubernur  Jenderal yang berasal dari kalangan militer dalam perkembangannya sempat dijabat  oleh pejabat sipil Gubernur dan diubah kembali ke Guberbur Jenderal karena kondisi  perlawanan rakyat Aceh pada masa itu. Di tingkat afdeling di pimpin oleh Asisten  Residen dari kalangan militer belanda tingkat onderafdeling dipimpim oleh Kontrolir  dari Belanda. Pada tingkat mukim tetap dipimpin oleh imuem mukim, dibantu dengan imum  chik yang bertanggung jawab atas pelaksanaan shalat jumat. pada tingkat desa tetap  dipimpin oleh geuchik dan didampingi oleh imum meunasah dan dibantu oleh ureng  tuha atau tuha peut untuk masalah-masalah terkait dengan musyawarah agar tercapai  mufakat atau dalam bahasa Aceh disebut meusapat (Rusdi, 2008).

Ketika Indonesia merdeka yang dideklarasikan pada 17 Agustus 1945, keluar  Peraturan Keresidenan Aceh No.2 Tahun 1946 yang memberlakukan Pemerintahan  Mukim di seluruh Aceh termasuk lembaga adat lainnya. Ketika era Orde Baru,  seluruh strata pemerintahan di Indonesia diseragamkan dengan UU No. 5 Tahun  1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Aturan ini membuat lembaga-lembaga adat di Indonesia tidak diakui keberadaannya secara resmi termasuk  lembaga adat di Provinsi Aceh. Setelah UU No. 44 Tahun 1999 tentang  Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh lembaga-lembaga adat mulai diakui kembali  dan semakin diperkuat setelah berlakunya UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi  Khusus dan dirubah dengan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh  yang berlaku sampai sekarang (Sulaiman Tripa, Senjakala Mukim, https://www.jkma-aceh.org/senjakala-mukim/).

Beberapa aturan tentang lembaga adat yang ada di Provinsi Aceh dan  kabupaten/kota termasuk Kabupaten Aceh Tamiang yaitu Qanun Aceh No. 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong, Qanun Aceh No. 9 Tahun 2008 tentang  Pembinaan Kehidupan Adat Qanun Aceh No. 10 tahun 2008 tentang Lembaga Adat,  Qanun Aceh No. 3 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pemilihan Imuem Mukim. Sedangkan di Kabupaten Aceh Tamiang ada Qanun Kabupaten Aceh Tamiang No.  25 Tahun 2005 tentang Majelis Duduk Setikar Kampung, Peraturan Bupati Aceh  Tamiang No. 36 tahun 2019 tentang Majelis Duduk Setikar Kampung, Qanun Kabupaten Aceh Tamiang No. 13 Tahun 2010 tentang Mukim dan banyak peraturan peraturan lainnya perihal lembaga-lembaga adat di Provinsi Aceh.

Setelah UUPA berlaku memberi angin segar untuk kehidupan adat istiadat  hidup kembali di Provinsi Aceh walau sempat mendapat rintangan era Orde Baru.  Lembaga-lembaga Adat di Aceh terus dilestarikan dan dimasukkan ke dalam  peraturan daerah guna mendapat kepastian hukum salah satunya Qanun Aceh No. 10  Tahun 2008 tentang Lembaga Adat. Dalam aturan tersebut ada beberapa lembaga  adat yang di akui dalam Pemerintahan Provinsi Aceh yaitu Majelis Adat Aceh  (MAA), Mukim, Imuem Chik, Keuchik, Tuha Peut, Tuha Lapan, Imuem Meunasah,  Keujreun Blang, Panglima Laot, Pawang Glee/Uteun, Peutua Seuneubok, Haria  Peukan dan Syahbanda. Nama-nama lembaga adat tersebut bisa disesuaikan  penyebutannya berdasarkan adat istiadat setempat yang berlaku di Kabupaten/Kota  di Provinsi Aceh seperti lembaga tuha peut di Kabupaten Aceh Tamiang disebut  Mejelis Duduk Setikar Kampung (MDSK) dan lain sebagainya. Selain lembaga lembaga yang disebut di atas ada adat lain yang di bentuk setelah UUPA berlaku  yaitu Lembaga Wali Nanggroe. Lembaga Wali Nanggroe adalah lembaga  kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat dan pelestarian kehidupan adat  dan budaya.

Adapun penjelasan mengenai lembaga-lembaga adat tersebut adalah sebagai  berikut:

  • Majelis Adat Aceh (MAA). Majelis Adat Aceh (MAA) adalah lembaga yang membantu Wali Nanggroe  dalam membina, mengkoordinir lembaga-lembaga adat lainya dalam wilayah  Provinsi Aceh.
  • Mukim. Mukim adalah lembaga Mukim adalah kesatuan masyarakat adat hukum di  bawah kecamatan yang terdiri atas gabungan beberapa kampung yang  mempunyai batas wilayah tertentu yang dipimpin oleh Kepala Mukim dan  berkedudukan langsung di bawah Camat.
  • Imuem Chik. Imuem Chik berkedudukan di pemerintahan mukim. Imuem Chik bertugas  mengkoordinasikan pelaksanaan keagamaan termasuk pelaksanaan syariat  Islam dalam kehidupan masyarakat desa. Selain itu tugas Imuem Chik mengurus, menyelenggarakan dan memimpin kegiatan yang berkaitan erat  dengan pemeliharaan dan pemakmurasn mesjid serta menjaga dan  memelihara nilai-nliat adat agar tidak bertentangan dengan syariat Islam. 
  • Keuchik. Keuchik adalah sebutan untuk pimpinan pemerintah desa di wilayah Provinsi  Aceh (kepala desa). Tugas keuchik sebagai pemimpin desa adalah  memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa, membina kehidupan beraga  dan pelaksanaan syariat Islam, menjaga dan memelihara adat istiadat yang  hidup dalam masyarakat dan tugas-tugas lainnya yang sebagaimana Qanun Aceh No. 10 Tahun 2008 tentang Lembaga adat dan aturan-aturan lainnya  yang berkenaan tentang desa.
  • Tuha Peut. Tuha peut terbagi dua yaitu tuha peut mukim yang berkedudukan di mukim  dan tuha peut gampong yang berkedudukan di desa. Tuha peut gampong  merupakan badan permusyawaratan desa. Tuha peut memiliki tanggung  jawab di antaranya membahas dan menyetujui Anggapan Pendapatan dan  Belanja Gampong, membahas dan menyetujui qanun gampong, mengawasi  pelaksanaan pemerintahan gampong dan lainnya sesusai dengan Qanun Aceh  No. 10 Tahun 2008 Pasal 18.
  • Tuha Lapan. Pada tingkat Gampong atau nama lain dan Mukim dapat dibentuk Tuha Lapan  atau nama lain sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat. Tuha  Lapan atau nama lain dipilih melalui musyawarah Gampong atau nama lain  atau musyawarah mukim. Tuha Lapan atau nama lain beranggotakan unsur  Tuha Peut atau nama lain dan beberapa orang mewakili bidang keahlian sesuai  dengan kebutuhan Gampong atau nama lain atau Mukim.
  • Imuem Meunasah. Imuem Meunasah berkedudukan di gampong (desa). Tugas Imuem Meunasah memimpin, mengkoordinasikan kegiatan peribadatan, pendidikan serta  pelaksanaan Syari'at Islam dalam kehidupan masyarakat, mengurus,  menyelenggarakan dan memimpin seluruh kegiatan yang berkenaan dengan pemeliharaan dan pemakmuran meunasah atau nama lain, memberi nasehat  dan pendapat kepada Keuchik baik diminta maupun tidak diminta,  menyelesaikan sengketa yang timbul dalam masyarakat bersama pemangku  adat, dan menjaga dan memelihara nilai-nilai adat, agar tidak bertentangan  dengan syariat Islam.
  • Kejreun Blang. Kejreun blang bertugas menentukan dan mengkoordinasikan tata cara turun ke  sawah, mengatur pembagian air ke sawah petani, membantu pemerintah dalam  bidang pertanian, mengkoordinasikan khanduri atau upacara lainnya yang  berkaitan dengan adat dalam usaha pertanian sawah, memberi teguran atau  sanksi kepada petani yang melanggar aturan-aturan adat berwasah atau tidak  melaksanakan kewajiban lain dalam sistem pelaksanaan pertanian sawah  secara adat, dan menyelesaikan sengketa antar petani yang berkaitan dengan  pelaksanaan usaha pertanian sawah.
  • Panglima Laot. Di masa Kerajaan Aceh Panglima laot berfungsi sebagai pembamtu Imuem  mukim. Peran panglima laot adalah memimpin dan bertanggungjawan atas  semua kegiatan yang berkenaan dengan mata pencaharian hidup di laut.  Panglima laot berfungsi juga sebagai pemimpin penyelenggaraan adat yang  berhubungan erat dengan penangkapan ikan, mengatur area penangkapan ikan  dan menyelesaikan sengketa yang terjadi di laut atau yang berhubungan  dengannya.  Dalam Qanun Aceh No. 10 Tahun 2008 Pasal 28 menyebutkan  kewenangan panglima laot yaitu: menentukan tata tertib penangkapan ikan  termasuk bagi hasil dan hari-hari pantang melaut (dilarang ke laut),  menyelesaikan sengketa adat dan perselisihan yang terjadi di kalangan  nelayan, mengkoordinasi pelaksanaan hukum adat laut dan lain sebagainya.
  • Peutua Seunebok. Peutua seunebok mempunyai tugas yaitu mengatur dan membagi tanah lahan  garapan dalam kawasan seuneubok, membantu tugas pemerintah bidang  perkebunan dan kehutanan, mengurus dan mengawasi pelaksanaan upacara  adat dalam wilyah seunebok, menyelesaiskan sengketa yang terjadi dalam  wilayah seunebok, dan melaksanakan serta menjada hukum adat diwilayah  kerjanya.
  • Haria Peukan.  Haria peukan dibentuk untuk pasar-pasar tradisional. Pembentkan haria peukan dilakukan pada pasar-pasar tradisional yang belum ada petugas  Pemerintah. Jika haria peukan sudah terbentuk (eksis) maka petugas  pemerintah harus bekerja sama dengan haria peukan. Haria peukan dibentuk  oleh camat setelah menerima masukan dari gampong. Tugas-tugas haria  peukan antara lain: membantu pemerintah dalam mengatura tata pasar,  ketertiban, keamanan dan tugas-tugas lainnya, menegakkan hukum adat  dalam pelaksanaan aktifitas peukan, menjaga kebersihan peukan, dan  menyelesaikan sengketa yang terjadi di peukan (pasar).
  • Syahbanda. Syahbanda untuk pelabuhan rakyat. Pembentukan syahbanda dilakukan pada  pelabuhan-pelabuhan rakyat yang belum ada petugas pemerintah. Jika  syahbanda sudah terbentuk (eksis), maka petugas pemerintah yang ada pada  pelabuhan rakyat harus bekerja sama dengan syahbanda. Pembentukan yahbanda dilakukan oleh Bupati/Walikota dengan memperhatikan usul  panglima laot dan tokoh-tokoh masyarakat. Syahbanda dipilih setiap 6 (enam)  tahun sekali. Tugas syahbanda antara lain: mengelola pemanfaatan pelabuhan  rakyat, menjaga ketertiban, keamanan di wilayah kerjanya, menyelesaikan  sengketa yang terjadi di wilayah kerjanya dan mengatur hak dan kewajiban  yang berkaitan dengan pemanfaaatan pelabuhan di wilayah kerjanya. 

B. Lembaga Mukim di Aceh

  1. Lembaga Mukim

Mukim dalam kamus bahasa Indonesia berarti orang yang tetap tinggal di  Mekah (lebih dari satu masa haji), penduduk tetap, tempat tinggal, kediaman, daerah  dalam lingkungan masjid dan kawasan. Dalam kehidupan masyarakat Aceh  terdahulu mukim merujuk kepada kumpulan masyarakat desa-desa agar cukup syarat  melaksanakan kewajiban shalat jumat. 

Mukim merupakan federasi atau gabungan dari beberapa kampung. Ukuran  standar awalnya adalah jumlah laki-laki dewasa sebanyak 1000 orang. Pimpinan  mukim disebut Imuem Mukim. Istilah Imuem mukim sebenaranya adalah pembesar  adat tanpa sifat keagamaan, dimana diantaranya dapat mencapai kedudukan mandiri  sederajat dengan Uleebalang. Pengaruh mukim pada masa kerajaan sangat besar dan  berwibawa, sedangkan setelah Indonesia merdeka cenderung menurun, karena tidak  diberi wewenang mengatur wilayahnya lagi. Namun secara moral peradaban,  peranan mukim masih eksis. Realitas tersebut terlihat jika terjadi persoalan atau  perselisihan dalam masyarakat. 

Mukim adalah federasi desa-desa (dalam bahasa Aceh disebut gampong) yang minimal terdiri atas 8 desa dan mempunyai sebuat mesjid untuk melaksanakan  shalat jumat. Mukim dipimpin oleh Imuem Mukim dan seorang Kadhi Mukim dan  beberapa waki. Para Imuem Mukim sebenarnya adalah pembesar adat tanpa sifat  keagamaan, yang diangkat dan diberhentikan oleh Uleebalang. Namun kedudukan  Imuem Mukim yang mula-mula bersifat keagaman, kemudian, dibeberapa tempat  berubah dengan mencoba merebut kedudukan yang lebih besar yaitu  uleebalang (Thamrin &  Mulyana, 2008). Dalam Qanun Aceh Tamiang No.13 Tahun 2010 tentang Mukim Pasal  1 ayat 5, mukim diartikan sebagai kesatuan masyarakat hukum di bawah kecamatan  yang terdiri atas gabungan kampung yang mempunyai batas wilayah tertentu yang  dipimpin oleh Kepala Mukim dan berkedudukan langsung di bawah camat. 

Dari penjelasan di atas mengenai mukim setidaknya telah diketahui bahwa  mukim sudah ada sejak era kerajaan Islam di Aceh dan berfungsi sebagai  pelaksanaan keagamaan khususnya shalat jumat dan tetap dipertahankan hingga  sekarang. 

  1. Proses Pemilihan Mukim

Dalam Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Tata Cara Pemilihan Dan  Pemberhentian Imum Mukim Pasal 13 disebutkan bahwa calon imuem mukim harus  didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang Keuchik atau lebih. Dukungan  terhadap calon imuem mukim diusulkan oleh keuchik atau nama lain berdasarkan  kesepakatan tuha peut gampong yang dinyatakan secara tertulis.

Pasal 14 Qanun tersebut menyebutkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh  calon imuem mukim adalah :  

  •  warga negara Republik Indonesia,
  • berdomisili sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun di kemukiman yang  bersangkutan dan dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP)
  • beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT dan menjalankan syariat  Islam, setia dan taat kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan  pemerintah yang sah
  • berpendidikan sekurang-kurangnya lulusan sekolan lanjutan tingkat  pertama atau sederajat dan dibuktikan dengan Surat Tanda Tamat  Belajar,
  • berusia 40 (empat puluh) tahun dan pada saat pencalonan sudah  berumah tangga/berkeluarga,
  • sehat jasmansi dan rohani, mampu membaca Al-Qur'an.
  • tidak menjadi pengurus partai politik dan tidak pernah dihukum karena  tindak pidana dan pelanggaran syariat Islam.
  • egawai negeri sipil, pegawai BUMN dan BUMD yang mencalonkan  diri sebagai imum mukim harus memiliki surat izin tertulis dari pejabat  yang berwewenang

Pemilihan imuem mukim dilakukan melalui pemungutan suara. Pemlih yang  mempunyai hak untuk memilih imum mukim adalah anggota musyawarah mukim  terdiri atas: imuem chik, para keuchik dalam wilayah mukim yang bersangkutan, tuha peut mukim, imuem gampong dan para ketua lembaga adat yang ada di mukim  bersangkutan, dan 3 (tiga) orang tokoh masyarakat yang mencerminkan ulama, tokoh  perempuan dan tokoh pemuda.

Dalam Qanun Kabupaten Aceh Tamiang Nomor 13 Tahun 2010 disebutkan  struktur organisasi mukim terdiri atas Kepala Mukim, Sekretariat Mukim, Majelis  Duduk Setikar Mukim (MDSM) dan Imam Besar. Kepala Mukim mempunyai tugas  mengkoordisi penyelenggaraan urusan pemerintahan kampung, pembangunan  gampong, pemberdayaan masyarakat, memelihara adat dan istiadat dengan  berlandaskan syariat Islam. Kepala mukim juga berperan sebagai hakim adat dalam  penyelesaian persengketaan adat dibantu oleh MDSM.

Sekretariat Mukim dipimpin oleh seorang sekretaris mukim yang diangkat dan diberhentikan oleh Bupati. Sekretaris mukum diusul oleh kepala mukim dari  unsur masyarakat setelah mendapat pertimbangan dari Bupati melalui Camat. Untuk  kelancaran tugas-tugas Sekretaris Mukim dibentuk seksi-seksi yang meliputi: seksi pemerintahan dan umum, seksi pembangunan dan pemberdayaan masyarakat, dan  seksi keistimewaan Aceh.

MDSM dipimpin oleh seorang ketua merangkap anggota yang dipilih oleh  dan dari anggota MDSM. Keanggotan MDSM paling sedikti 5 (lima) orang dan  paling banyak 9 (sembilan) orang. MDSM terdiri atas Imam Besar, unsur ulama,  pemuka adat, unsur pemuda da perempuan. MSDM mengadakan pertemuan paling  sedikit 3 (tiga) bulan sekali, masa jabatan MDSM selama 5 (lima) tahun.

  1. Fungsi dan Tugas Mukim

Mukim merupakan unsur wilayah di bawah kecamatan dan membawahi  beberapa desa. Kewenangan mukim terdiri meliputi:

  • melindungi adat dan adat istiadat, membina dan meningkatkan  kualitas pelaksanaan syariat Islam,  
  • mengkoordinasikan penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan  pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan di desa,
  • melaksanakan tugas yang dilimpahkan oleh camat berkenan dengan  pembanguan dan pembinaan kemasyarakatan
  • dalam bidang pertanahan mukim dapat menjadi saksi dalam proses  perbuatan yang memiliki konsekuensi hukum terkait pemindahan atau  peralihan hak atas tanah dan hak milik satuan rumsah susun yang  dilakukan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berwenang
  • terlibat dalam proses perencanaan dan pembangunan kawasan desa  dalam wilayah kemukiman yang dilakukan oleh pemerintah atau  pihak ketiga, dan melaksanakan tugas pembantuan dari Pemerintah  Aceh dan/atau Pemerintah Kabupaten melalui camat. terkait tugas  pembantuan yang diberikan kepada mukim melalui camat, mukim  berhak menolak pelaksanaan tugas tersebut jika tersedia pembiayaan  serta sarana dan prasarananya.

Lembaga mukim memiliki fungsi antara lain sebagai berikut:  

  • penyelenggaraan bidang pelaksanaan syariat Islam, kerukuan hidup  beragama dan antar umat beragama serta adat dan adat istiadat.
  • Pelaksanaan tugas pembantuan serta urusan pemerintahan lainnya  yang berada di kemukiman yang belum dapat dilaksanakan oleh  pemerintahan desa,
  • Koordinasi pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan dan  kehidupan berdemokrasi secara berkeadilan di wilayah kerja mukim,
  • Koordinasi penyelenggaraan pemerintahan desa di wilayah kerja  mukim,
  • pembinaan dan koordinasi dan memfalilitasi bidang pendidikan, sosial  budaya, perlindungan hak-hak dasar, ketentraman dan ketertiban
  •  Pelaksanaan penyelesaian sengketa secara adat.

Kepala mukim sebagai pimpinan lembaga mukim juga memiliki tugas dan  kewajiban yaitu: membina kerukunan beragama dan antar umat beragama serta  meningkatkan kualitas pelaksanaan syariat Islam dalam masyarakat, menjalankan  tugas pembantuan yang diberikan camat, menjaga dan memelihara kelestarian adat  dan istiadat serta kebiasaan-kebisaan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat,  membina kesejahteraan masyarakat, memelihara ketenteraman dan ketertiban serta  sikap saling menghargai secara inklusif dalam masyarakat dan menjadi hakim adat  dalam penyelesaian persengketaan adat di wilayah kerja mukim dan dibantu oleh  MDSM.

MDSM sebagai bagian dari organisasi mukim juga memiliki tugas dan  tanggung jawab yaitu: menyelenggarakan pemilihan kepala mukim, membantu  kepala mukim dalam menyelesaikan sengketa adat, bersama-sama dengan kepala  mukim menyusun dan menetapkan anggaran pendapatan dan belanja mukim,  memberi pertimbangan kepada kepala mukim terhadap calon sekretaris mukim,  menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat di wilayah kerja mukim, dan  meminta laporan keterangan pertanggungjawaabn kepala mukim. 

C. Lembaga Mukim Sebagai Penyelenggara Pemerintahan

Kata pemerintahan diberikan berbagai pandangan dalam literatur oleh para  ahli, namun dalam tulisan ini hanya menguraikan beberapa saja, dimana kata  pemerintahan dapat diartikan secara luas dan sempit. Dalam arti luas pemerintahan  adalah segala urusan yang dilakukan oleh negara dalam menyelenggarakan  kesejahteraan, memelihara keamanan dan meningkatkan derajat kehidupan rakyat  serta dalam menjamin kepentingan negara itu sendiri. Dalam konteks fungsi  legislatif, eksekutif dan yudikatif, pengertian pemerintahan mencakup kesemua  fungsi tersebut di atas. Dalam arti sempit hanya menyangkut eksekutif saja (mukhlis, 2016)

Senada dengan definisi di atas Pamudji S, menyebutkan Pemerintahan  diartikan menjadi, yaitu Pertama, Pemerintahan dapat diartikan dalam arti luas legislatif, eksekutif dan yudikatif dalam rangka mencapai tujuan pemerintahan  negara (tujuan nasional); Kedua, Pemerintah dalam arti sempit adalah perbuatan  memerintah yang dilakukan oleh organisasi eksekutif dan jajarannya dalam rangka  mencapai tujuan pemerintahan ( Pramudji, 1992).  Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan,  pemerintahan 1. Proses, perbuatan, cara memerintah yang berdasarkan demokrasi;  gubernur memengang tampuk di daerah Tingkat I; 2. Segala urusan yang dilakukan  oleh negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat dan kepentingan  negara. Bagir Manan menguraikan bahwa pemerintahan diartikan sebagai  keseluruhan lingkungan jabatan dalam suatu organisasi. Zainuddin menyatakan  bahwa mukim merupakan Atjehche Organisasi atau sebuah organisasi khas Aceh.

Mukim sebagai penyelenggara pemerintahan dapat dilihat dalam Pasal 112  ayat (3b) UU No. 11 Tahun 2006 disebutkan kata-kata "pemerintahan mukim".  Ketentuan lebih lanjut mengenai mukim sebagai penyelenggara pemerintahan telah  pula diatur dengan qanun tersendiri, yaitu Qanun NAD No. 4 Tahun 2003 tentang  Pemerintahan Mukim. Judul Qanun NAD No. 4 Tahun 2003 dengan tegas disebutkan  tentang Pemerintahan Mukim.13 Ini berarti, mukim adalah pemerintahan. Lebih  lanjut Pasal 3 Qanun tersebut jelas dinyatakan bahwa, mukim mempunyai tugas  menyelenggarakan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan  kemasyarakatan dan peningkatan pelaksanaan Syari'at Islam. Pasal 1 angka 6 Qanun  Aceh No. 3 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pemilihan dan Pemberhentian Imuem  mukim disebutkan bahwa imeum mukim adalah kepala pemerintahan mukim. Hal yang sama juga dicantumkan kembali dalam Pasal 1 angka 18 Qanun Kabupaten  Abdya Nomor 10 Tahun 2012 tentang Pemerintahan Mukim (Mukhlis, 2016).

 Berdasarkan ketentuan tersebut menegaskan bahwa mukim adalah lembaga  pemerintahan, yang dikepalai (dipimpin) oleh imeum mukim. Mukim di Aceh juga  mempunyai peranan untuk mengkoodinirkan gampong-gampong, supaya gampong gamp on berjalan sesuai dengan tatanan yang telah disepakati oleh musyawarah  gampong. Peranan mukim berlandaskan kepada nilai-nilai Islam.

Berdasarkan ketentuan Pasal 114 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun  2006, bahwa perintah pengaturan lebih lanjut mengenai organisasi, tugas, fungsi, dan kelengkapan mukim diatur dengan qanun kabupaten/kota. Berdasarkan perintah  Pasal tersebut Kabupaten Aceh Barat Daya pada tanggal 16 November 2012 telah  mengesahkan Qanun Aceh Barat Daya Nomor 10 Tahun 2012 tentang  Pemerintahan Mukim.

Pengaturan atau pemberian dan pelimpahan mengenai organisasi, tugas,  fungsi, dan kelengkapan mukim diatur dengan Qanun kabupaten/kota untuk  menghormati ciri khas kabupaten/kota yang ada di Aceh. Faisal menyebutkan Karena  Undang-Undang Pemerin tahan Aceh (UUPA) dan keberagaman di Aceh,  memberikan peluang kepada kabupaten/kota untuk menata mukim.15 Terkait dengan  hal ini Taqwaddin menyebutkan bahwa dimaksudkan sebagai pengakuan prularisme  adat dan kultural masyarakat Aceh. Sehingga, mukim di Aceh pesisir bisa jadi  berbeda organisasi dan alat kelengkapannya dengan mukim di bagian tengah Aceh. 

 Pandangan yang berbeda terkait hal tersebut Mussawir, menyebutkan dalam UU  keistimewaan Aceh dan UU otonomi khusus dulu itu mukim diatur di provinsi,  ketika di UUPA sudah dipisah menyebabkan kebupaten/kota diberi kewenangan  sehingga mukim berbeda-beda, seharusnya diatur oleh provinsi sebab itu kekhususan  dan khas Aceh, bukan kekhususan kabupaten/kota, dan yang khusus itu diberikan  kepada Propinsi, jadi kita juga ibaratnya satu komando, jangan dibeda-bedakan.

Ketentuan Pasal 114 ayat (4)Undang-Undang Nomor11 Tahun 2006, bahwa  mengenai organisasi, tugas, fungsi, dan kelengkapan mukim diatur dengan Qanun  kabupaten/kota, sedangkan ketentuan mengenai mengenai tata cara pemilihan imeum mukim diatur dengan Qanun Aceh, hal tersebut dapat dikarenakan berkaitan dengan  beban anggaran berkaitan dengan kelembagaan yang dibebankan kepada Propinsi  dalam bentuk Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) disebabkan imuem mu  kim merupakan salah satu lembaga pelaksana otonomi khusus. Pengaturan tata cara  pemilihan imuem mukim diatur oleh Qanun Aceh untuk terjadinya keseragaman  dalam pemilihan imuem mukim. Hal tersebut kurang relevan disebabkan bahwa  keinginan pasal tersebut memberikan keleluasaan kepada kabupaten/ kota terhadap  pengakuan terhadap keberagaman kabupaten/kota. Berdasarkan kenyataan tersebut,  kiranya akan lebih baik mana kala mengenai fungsi, tugas dan  kelengkapan/perangkat lembaga dan proses pemilihan/pengisian jabatan lembaga  tersebut (mukim) diatur dalam satu peraturan (Qanun) (Mukhlis, 2016).

D. Mukim Dalam Perundang-Undangan Indonesia

Ada perbedaan antara mukim zaman kerajaan dengan mukim setelah  Indonesia merdeka yaitu sebelum Indonesia merdeka mukim berada di bawah Ulee  Balang (setingkat bupati/walikota) sedangkan sesudah merdeka mukim berada di  bawah kecamatan (Thamrin & Mulyan, 2008). 

Ketika era Orde Baru, seluruh strata pemerintahan di Indonesia diseragamkan  dengan UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Aturan  ini membuat mukim tidak diakui sebagai satuan pemerintahan resmi. Setelah Era  Orba berganti dengan era reformasi Provinsi Aceh diizinkin menjalankan  menjalankan adat istiadatnya kembali dan memboleh dijalankan syariat Islam (walau dalam perakteknya masih sangat kurang) setelah berlakunya UU No. 44 Tahun 1999  tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh. Setelah UU No. 44 Tahun 1999  berlaku mukim kembali diakui sebagai lembaga pemerintahan di bawah kecamatan.  Keberadaan mukim semakin diperkuat setelah berlakunya UU No. 18 Tahun 2001  tentang Otonomi Khusus dan dirubah dengan UU No. 11 Tahun 2006 tentang  Pemerintahan Aceh yang berlaku sampai sekarang (Sulaiman Tripa, Senjakala Mukim, https://www.jkma-aceh.org/senjakala-mukim/).

Setelah UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) sebagai  bagian dari penyelesaian konflik antara GAM dan RI lahir beberapa Qanun Aceh  mengenai mukim antara lain Qanun Aceh No. 9 Tahun 2008 tenntang Pembinaan  Kehidupan Adat, Qanun Aceh No. 10 tahun 2008 tentang Lembaga Adat, Qanun  Aceh No. 3 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pemilihan Imuem Mukim. Sedangkan di Kabupaten Aceh Tamiang ada Qanun Aceh Tamiang No. 13 Tahun 2010 tentang  Mukim.

Daftar Pustaka:

Sulaiman Tripa, Senjakala Mukim, https://www.jkma-aceh.org/senjakala-mukim/ 

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi IV (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008)

Kelelurahan Tembangan, Kelembagaan, https://keltambangan.semarangkota.go.id/  kelembagaan

Yulia, Buku Ajar Hukum Adat, (Lhokseumawe: Unimal Press, 2016),

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pedoman Penataan  Lembaga Kemasyarakatan

H.M. Thamrin Z dan Edy Mulyana, Leburnya Provinsi Aceh, (Banda Aceh : Badan Arsip  dan Perpustakaan Provinsi Aceh Darussalam, 2008)

M. Jakfar Puteh, Sistem Sosial Budaya dan Adat Masyarakat Aceh, (Yogyakarta: Grafindo  Litera Media, 2013),

Rusdi Sufi, Negeri dan Rakyat Aceh Dahulu dan Sekarang, terj. J. Jongejans (Banda Aceh:  Badan Arsip dan Perpustakaan Provinsi Aceh, 2008)

Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat

Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh 

Qanun Kabupaten Aceh Tamiang Nomor 13 tahun 2010 tentang Mukim.

Qanun Aceh No. 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong.

Mahdi Syahbandir, "Sejarah Pemerintahan Imuem Mukim Di Aceh", Kanun Jurnal Ilmu Hukum No.62 Th. XVI (April, 2014)

Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Tata Cara Pemilihah dan Permberhentian  Imum Mukim

Mukhlis, Penataan Mukim Sebagai Penyelenggara Pemerintahan Di Kabupaten Aceh  Barat Daya, Jurnal Al-Risalah Forum Kajian Hukum dan Sosial Kemasyarakatan Vol, 16, No. 2  (Desember 2016)

Pamudji S Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara,1992)

.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun