Mohon tunggu...
Syahru Reza
Syahru Reza Mohon Tunggu... Lainnya - Suka membaca buku nonfiksi dan berdiskusi dengan yang tidak sependapat agar bisa selalu punya sudut pandang yang baru

seorang warga Aceh yang tidak terlalu suka dengan perdebatan politik karena terlalu menguras energi dan suka berbagai acara variaty show terutama genre petualangan dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Mukim: Lembaga Adat yang Dimasukkan ke Dalam Struktur Pemerintahan Provinsi Aceh

14 Februari 2022   17:34 Diperbarui: 14 Februari 2022   17:35 719
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ketika Indonesia merdeka yang dideklarasikan pada 17 Agustus 1945, keluar  Peraturan Keresidenan Aceh No.2 Tahun 1946 yang memberlakukan Pemerintahan  Mukim di seluruh Aceh termasuk lembaga adat lainnya. Ketika era Orde Baru,  seluruh strata pemerintahan di Indonesia diseragamkan dengan UU No. 5 Tahun  1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Aturan ini membuat lembaga-lembaga adat di Indonesia tidak diakui keberadaannya secara resmi termasuk  lembaga adat di Provinsi Aceh. Setelah UU No. 44 Tahun 1999 tentang  Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh lembaga-lembaga adat mulai diakui kembali  dan semakin diperkuat setelah berlakunya UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi  Khusus dan dirubah dengan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh  yang berlaku sampai sekarang (Sulaiman Tripa, Senjakala Mukim, https://www.jkma-aceh.org/senjakala-mukim/).

Beberapa aturan tentang lembaga adat yang ada di Provinsi Aceh dan  kabupaten/kota termasuk Kabupaten Aceh Tamiang yaitu Qanun Aceh No. 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong, Qanun Aceh No. 9 Tahun 2008 tentang  Pembinaan Kehidupan Adat Qanun Aceh No. 10 tahun 2008 tentang Lembaga Adat,  Qanun Aceh No. 3 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pemilihan Imuem Mukim. Sedangkan di Kabupaten Aceh Tamiang ada Qanun Kabupaten Aceh Tamiang No.  25 Tahun 2005 tentang Majelis Duduk Setikar Kampung, Peraturan Bupati Aceh  Tamiang No. 36 tahun 2019 tentang Majelis Duduk Setikar Kampung, Qanun Kabupaten Aceh Tamiang No. 13 Tahun 2010 tentang Mukim dan banyak peraturan peraturan lainnya perihal lembaga-lembaga adat di Provinsi Aceh.

Setelah UUPA berlaku memberi angin segar untuk kehidupan adat istiadat  hidup kembali di Provinsi Aceh walau sempat mendapat rintangan era Orde Baru.  Lembaga-lembaga Adat di Aceh terus dilestarikan dan dimasukkan ke dalam  peraturan daerah guna mendapat kepastian hukum salah satunya Qanun Aceh No. 10  Tahun 2008 tentang Lembaga Adat. Dalam aturan tersebut ada beberapa lembaga  adat yang di akui dalam Pemerintahan Provinsi Aceh yaitu Majelis Adat Aceh  (MAA), Mukim, Imuem Chik, Keuchik, Tuha Peut, Tuha Lapan, Imuem Meunasah,  Keujreun Blang, Panglima Laot, Pawang Glee/Uteun, Peutua Seuneubok, Haria  Peukan dan Syahbanda. Nama-nama lembaga adat tersebut bisa disesuaikan  penyebutannya berdasarkan adat istiadat setempat yang berlaku di Kabupaten/Kota  di Provinsi Aceh seperti lembaga tuha peut di Kabupaten Aceh Tamiang disebut  Mejelis Duduk Setikar Kampung (MDSK) dan lain sebagainya. Selain lembaga lembaga yang disebut di atas ada adat lain yang di bentuk setelah UUPA berlaku  yaitu Lembaga Wali Nanggroe. Lembaga Wali Nanggroe adalah lembaga  kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat dan pelestarian kehidupan adat  dan budaya.

Adapun penjelasan mengenai lembaga-lembaga adat tersebut adalah sebagai  berikut:

  • Majelis Adat Aceh (MAA). Majelis Adat Aceh (MAA) adalah lembaga yang membantu Wali Nanggroe  dalam membina, mengkoordinir lembaga-lembaga adat lainya dalam wilayah  Provinsi Aceh.
  • Mukim. Mukim adalah lembaga Mukim adalah kesatuan masyarakat adat hukum di  bawah kecamatan yang terdiri atas gabungan beberapa kampung yang  mempunyai batas wilayah tertentu yang dipimpin oleh Kepala Mukim dan  berkedudukan langsung di bawah Camat.
  • Imuem Chik. Imuem Chik berkedudukan di pemerintahan mukim. Imuem Chik bertugas  mengkoordinasikan pelaksanaan keagamaan termasuk pelaksanaan syariat  Islam dalam kehidupan masyarakat desa. Selain itu tugas Imuem Chik mengurus, menyelenggarakan dan memimpin kegiatan yang berkaitan erat  dengan pemeliharaan dan pemakmurasn mesjid serta menjaga dan  memelihara nilai-nliat adat agar tidak bertentangan dengan syariat Islam. 
  • Keuchik. Keuchik adalah sebutan untuk pimpinan pemerintah desa di wilayah Provinsi  Aceh (kepala desa). Tugas keuchik sebagai pemimpin desa adalah  memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa, membina kehidupan beraga  dan pelaksanaan syariat Islam, menjaga dan memelihara adat istiadat yang  hidup dalam masyarakat dan tugas-tugas lainnya yang sebagaimana Qanun Aceh No. 10 Tahun 2008 tentang Lembaga adat dan aturan-aturan lainnya  yang berkenaan tentang desa.
  • Tuha Peut. Tuha peut terbagi dua yaitu tuha peut mukim yang berkedudukan di mukim  dan tuha peut gampong yang berkedudukan di desa. Tuha peut gampong  merupakan badan permusyawaratan desa. Tuha peut memiliki tanggung  jawab di antaranya membahas dan menyetujui Anggapan Pendapatan dan  Belanja Gampong, membahas dan menyetujui qanun gampong, mengawasi  pelaksanaan pemerintahan gampong dan lainnya sesusai dengan Qanun Aceh  No. 10 Tahun 2008 Pasal 18.
  • Tuha Lapan. Pada tingkat Gampong atau nama lain dan Mukim dapat dibentuk Tuha Lapan  atau nama lain sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat. Tuha  Lapan atau nama lain dipilih melalui musyawarah Gampong atau nama lain  atau musyawarah mukim. Tuha Lapan atau nama lain beranggotakan unsur  Tuha Peut atau nama lain dan beberapa orang mewakili bidang keahlian sesuai  dengan kebutuhan Gampong atau nama lain atau Mukim.
  • Imuem Meunasah. Imuem Meunasah berkedudukan di gampong (desa). Tugas Imuem Meunasah memimpin, mengkoordinasikan kegiatan peribadatan, pendidikan serta  pelaksanaan Syari'at Islam dalam kehidupan masyarakat, mengurus,  menyelenggarakan dan memimpin seluruh kegiatan yang berkenaan dengan pemeliharaan dan pemakmuran meunasah atau nama lain, memberi nasehat  dan pendapat kepada Keuchik baik diminta maupun tidak diminta,  menyelesaikan sengketa yang timbul dalam masyarakat bersama pemangku  adat, dan menjaga dan memelihara nilai-nilai adat, agar tidak bertentangan  dengan syariat Islam.
  • Kejreun Blang. Kejreun blang bertugas menentukan dan mengkoordinasikan tata cara turun ke  sawah, mengatur pembagian air ke sawah petani, membantu pemerintah dalam  bidang pertanian, mengkoordinasikan khanduri atau upacara lainnya yang  berkaitan dengan adat dalam usaha pertanian sawah, memberi teguran atau  sanksi kepada petani yang melanggar aturan-aturan adat berwasah atau tidak  melaksanakan kewajiban lain dalam sistem pelaksanaan pertanian sawah  secara adat, dan menyelesaikan sengketa antar petani yang berkaitan dengan  pelaksanaan usaha pertanian sawah.
  • Panglima Laot. Di masa Kerajaan Aceh Panglima laot berfungsi sebagai pembamtu Imuem  mukim. Peran panglima laot adalah memimpin dan bertanggungjawan atas  semua kegiatan yang berkenaan dengan mata pencaharian hidup di laut.  Panglima laot berfungsi juga sebagai pemimpin penyelenggaraan adat yang  berhubungan erat dengan penangkapan ikan, mengatur area penangkapan ikan  dan menyelesaikan sengketa yang terjadi di laut atau yang berhubungan  dengannya.  Dalam Qanun Aceh No. 10 Tahun 2008 Pasal 28 menyebutkan  kewenangan panglima laot yaitu: menentukan tata tertib penangkapan ikan  termasuk bagi hasil dan hari-hari pantang melaut (dilarang ke laut),  menyelesaikan sengketa adat dan perselisihan yang terjadi di kalangan  nelayan, mengkoordinasi pelaksanaan hukum adat laut dan lain sebagainya.
  • Peutua Seunebok. Peutua seunebok mempunyai tugas yaitu mengatur dan membagi tanah lahan  garapan dalam kawasan seuneubok, membantu tugas pemerintah bidang  perkebunan dan kehutanan, mengurus dan mengawasi pelaksanaan upacara  adat dalam wilyah seunebok, menyelesaiskan sengketa yang terjadi dalam  wilayah seunebok, dan melaksanakan serta menjada hukum adat diwilayah  kerjanya.
  • Haria Peukan.  Haria peukan dibentuk untuk pasar-pasar tradisional. Pembentkan haria peukan dilakukan pada pasar-pasar tradisional yang belum ada petugas  Pemerintah. Jika haria peukan sudah terbentuk (eksis) maka petugas  pemerintah harus bekerja sama dengan haria peukan. Haria peukan dibentuk  oleh camat setelah menerima masukan dari gampong. Tugas-tugas haria  peukan antara lain: membantu pemerintah dalam mengatura tata pasar,  ketertiban, keamanan dan tugas-tugas lainnya, menegakkan hukum adat  dalam pelaksanaan aktifitas peukan, menjaga kebersihan peukan, dan  menyelesaikan sengketa yang terjadi di peukan (pasar).
  • Syahbanda. Syahbanda untuk pelabuhan rakyat. Pembentukan syahbanda dilakukan pada  pelabuhan-pelabuhan rakyat yang belum ada petugas pemerintah. Jika  syahbanda sudah terbentuk (eksis), maka petugas pemerintah yang ada pada  pelabuhan rakyat harus bekerja sama dengan syahbanda. Pembentukan yahbanda dilakukan oleh Bupati/Walikota dengan memperhatikan usul  panglima laot dan tokoh-tokoh masyarakat. Syahbanda dipilih setiap 6 (enam)  tahun sekali. Tugas syahbanda antara lain: mengelola pemanfaatan pelabuhan  rakyat, menjaga ketertiban, keamanan di wilayah kerjanya, menyelesaikan  sengketa yang terjadi di wilayah kerjanya dan mengatur hak dan kewajiban  yang berkaitan dengan pemanfaaatan pelabuhan di wilayah kerjanya. 

B. Lembaga Mukim di Aceh

  1. Lembaga Mukim

Mukim dalam kamus bahasa Indonesia berarti orang yang tetap tinggal di  Mekah (lebih dari satu masa haji), penduduk tetap, tempat tinggal, kediaman, daerah  dalam lingkungan masjid dan kawasan. Dalam kehidupan masyarakat Aceh  terdahulu mukim merujuk kepada kumpulan masyarakat desa-desa agar cukup syarat  melaksanakan kewajiban shalat jumat. 

Mukim merupakan federasi atau gabungan dari beberapa kampung. Ukuran  standar awalnya adalah jumlah laki-laki dewasa sebanyak 1000 orang. Pimpinan  mukim disebut Imuem Mukim. Istilah Imuem mukim sebenaranya adalah pembesar  adat tanpa sifat keagamaan, dimana diantaranya dapat mencapai kedudukan mandiri  sederajat dengan Uleebalang. Pengaruh mukim pada masa kerajaan sangat besar dan  berwibawa, sedangkan setelah Indonesia merdeka cenderung menurun, karena tidak  diberi wewenang mengatur wilayahnya lagi. Namun secara moral peradaban,  peranan mukim masih eksis. Realitas tersebut terlihat jika terjadi persoalan atau  perselisihan dalam masyarakat. 

Mukim adalah federasi desa-desa (dalam bahasa Aceh disebut gampong) yang minimal terdiri atas 8 desa dan mempunyai sebuat mesjid untuk melaksanakan  shalat jumat. Mukim dipimpin oleh Imuem Mukim dan seorang Kadhi Mukim dan  beberapa waki. Para Imuem Mukim sebenarnya adalah pembesar adat tanpa sifat  keagamaan, yang diangkat dan diberhentikan oleh Uleebalang. Namun kedudukan  Imuem Mukim yang mula-mula bersifat keagaman, kemudian, dibeberapa tempat  berubah dengan mencoba merebut kedudukan yang lebih besar yaitu  uleebalang (Thamrin &  Mulyana, 2008). Dalam Qanun Aceh Tamiang No.13 Tahun 2010 tentang Mukim Pasal  1 ayat 5, mukim diartikan sebagai kesatuan masyarakat hukum di bawah kecamatan  yang terdiri atas gabungan kampung yang mempunyai batas wilayah tertentu yang  dipimpin oleh Kepala Mukim dan berkedudukan langsung di bawah camat. 

Dari penjelasan di atas mengenai mukim setidaknya telah diketahui bahwa  mukim sudah ada sejak era kerajaan Islam di Aceh dan berfungsi sebagai  pelaksanaan keagamaan khususnya shalat jumat dan tetap dipertahankan hingga  sekarang. 

  1. Proses Pemilihan Mukim

Dalam Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Tata Cara Pemilihan Dan  Pemberhentian Imum Mukim Pasal 13 disebutkan bahwa calon imuem mukim harus  didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang Keuchik atau lebih. Dukungan  terhadap calon imuem mukim diusulkan oleh keuchik atau nama lain berdasarkan  kesepakatan tuha peut gampong yang dinyatakan secara tertulis.

Pasal 14 Qanun tersebut menyebutkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh  calon imuem mukim adalah :  

  •  warga negara Republik Indonesia,
  • berdomisili sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun di kemukiman yang  bersangkutan dan dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP)
  • beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT dan menjalankan syariat  Islam, setia dan taat kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan  pemerintah yang sah
  • berpendidikan sekurang-kurangnya lulusan sekolan lanjutan tingkat  pertama atau sederajat dan dibuktikan dengan Surat Tanda Tamat  Belajar,
  • berusia 40 (empat puluh) tahun dan pada saat pencalonan sudah  berumah tangga/berkeluarga,
  • sehat jasmansi dan rohani, mampu membaca Al-Qur'an.
  • tidak menjadi pengurus partai politik dan tidak pernah dihukum karena  tindak pidana dan pelanggaran syariat Islam.
  • egawai negeri sipil, pegawai BUMN dan BUMD yang mencalonkan  diri sebagai imum mukim harus memiliki surat izin tertulis dari pejabat  yang berwewenang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun