Yang membuat saya semakin bertambah panik, Si Buta itu bergeraknya malah ke arah para kelompok Geng. Mata saya seperti hampir terbelalak menyaksikannya. Bukannya berusaha menghindar, malah seperti menyerang lagi.
Tapi anehnya, para anggota kelompok geng tersebut malah terlihat menyingkir. Menghindari si Buta yang kadang hampir menabrak siapa saja dari mereka. Karena si Buta bergeraknya tak tentu arah. Dan yang paling mengherankan, yang akhirnya membuat saya tambah menangis tersedu-sedu adalah ketika salah seorang dari anggota Geng tersebut memungut tongkat yang sedari tadi tergeletak lalu menyerahkannya kepada si Buta.
Saya baru mengerti, oh, aksi si Buta tersebut ternyata ingin mencari-cari tongkatnya yang kemungkinan dalam pikirannya harus sesegera mungkin dikuasainya lagi sebelum hilang atau dihilangkan oleh kelompok Geng tersebut, atau malah dipakai lagi oleh mereka sebagai alat untuk membalas perbuatannya ke mereka. Tetapi diluar dugaan, kelompok Geng tersebut malah membantunya. Bukan menyerang balik untuk membalasnya. Atau misalnya, setidaknya membiarkan si Buta itu mencari-cari sendiri yang sedang dicarinya sampai ketemu. Salut
Setelah menerima kembali tongkatnya si Butapun langsung pergi melanjutkan perjalanannya. Dengan aman.
***
Karena fokus saya hanya mau menceritakan atau sharing kenapa saya sampai bisa menangis, sementara dalam keadaan duka sekalipun tidak bisa menangis, saya tidak mau membahas “pesan moral”dari kisah si Buta dan kelompok Geng ini, silakan dibahas dalam hati masing-masing saja.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H