Saya sendiri waktu itu dalam radius kurang lebih lima puluh meter dari mereka-mereka ketika sedang saling berpapasan. Dengan kondisi yang tidak terlihat oleh mereka. Karena sedang mengintip dari dalam rumah.
Entah bagaimana cerita persisnya, tiba-tiba saja langsung terjadi insiden.
Bermula dari adanya terdengar kata-kata dengan nada membentak: “dasar buta!” si Buta langsung mengamuk dengan cara melemparkan tongkatnya ke arah kelompok Geng tersebut. Hebatnya meskipun tidak melihat sasaran, tetapi ternyata bisa mengenai salah satu angota kelompok Gengtersebut. Kena pas di bagian pundaknya.
Karena jarak antara si Buta dengan Kelompok Geng tersebut tidak sedang dalam jarak pukul, makanya dia tidak bisa menggunakan tongkatnya tersebut untuk memukul. Bisanya hanya dengan posisi melempar. Tapi benar-benar bertenaga. Karena didorong oleh rasa yang sangat marah.
Si anggota Kelompok Geng yang terkena langsung terduduk. Mengusap-usap pundaknya sambil menahan rasa sakit.
Sempat semua terdiam sesaat. Yang anggota Geng saling melihat satu sama lain. Sementara si Buta nampak sedang konsentrasi. Entah sedang mengkonsentrasikan apa. Yang jelas tidak mungkin sedang berpikir untuk kabur. Karena dengan segala keterbatasannya. Apalagi tongkat sebagai satu-satunya yang menjadi alat bantunya sedang tidak dalam penguasaannya.
Saya sendiri?
Saya sendiri mulai khawatir. Bahkan sampai gemetar. Memikirkan nasib si Buta yang akan menjadi bulan-bulanan para anggota Kelompok Geng. “Akan habislah dia. Tulangnya akan remuk dibantai. Mukanya bisa tidak akan ada bentuknya lagi. Giginya rontok. Dan darah bisa mengucur dari mana-mana. Lalu mereka akan meninggalkan begitu saja dalam keadaan tidak berdaya. Bisa--bisa malah membawanya entah kemana untuk menghilangkan jejak,” pikirku dalam hati. Waswas. Saya pasti tidak akan sanggup melihatnya. Tidak akan.
“Lalu, saya harus ngapain? Apa yang harus saya lakukan?”
Namun ditengah saya sedang memikirkan nasibnya itu, secara tiba-tiba si Buta nampak melakukan aksi. Dia terlihat bergerak cepat setengah berlari. Berlari khas orang buta. Kakinya seperti merangkak. Diangkat agak tinggi. Namun mendaratkan kakinya seperti ragu-ragu. Takut ada lubang mungkin yang malah akan membuatnya terperosok. Atau penghalang lain yang bisa membuatnya tersandung. Maklum karena tidak ada alat bantu.
Dan disitu pulalah saya langsung mulai menangis. Seraya bertanya dalam panik. “Bagaimana nih?