Mohon tunggu...
Pulo Siregar
Pulo Siregar Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Advokasi Nasabah

Pegiat Advokasi Nasabah melalui wadah Lembaga Bantuan Mediasi Nasabah (LBMN). Pernah bekerja di Bank selama kurang lebih 15 tahun. Penulis buku BEBASKAN UTANGMU. Melayani Konsultasi/Advokasi Nasabah. WA: 081139000996 Email: lembagabantuanmediasi@gmail.com Website: www.medianasabah.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menangis Saya Mendengar Presiden Saya Disebut Anjxng dan Babx

10 November 2016   21:12 Diperbarui: 12 November 2016   14:54 1846
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Sesuai tulisan yang ada dalam Screenshot

Saya termasuk orang yang paling sulit untuk menangis.  Entah kenapa.

Hal itu saya sadari setelah kedua orang tua saya meninggal dunia.  Pertama ketika ayah saya meninggal. Saya tidak bisa sama sekali menangis. Bisanya hanya bisa  berdiam diri. Sedih.  Sesekali menutup muka dengan kedua telapak tangan. Atau dibantu dengan sehelai saputangan. Seperti itu terus. Selama masih memungkinkan duduk disamping jasad beliau sebelum diantarkan ke tempat peristirahatannya yang terakhir.

Hal yang sama juga dengan Ibu saya. Yang meninggalnya sekitar 5 tahun kemudian.  Sama juga. Tak jauh beda. Bisanya hanya seperti  ketika Ayah saya meninggal, seperti  yang saya ceritakan tadi.

***

Tapi anehnya saya bisa menangis ketika ada orang saya lihat dikeroyok rame-rame. Yang sudah minta ampun-ampun, sudah lemas bahkan tidak berdaya  lagi tapi masih dihajar, dipukul, ditendang, dihantam pake alat bantu, dan seterusnya dan seterusnya.

Kadang ingin menolong soalnya. Kasihan. Tapi apa daya.  Dalam kerumunan atau keroyokan seperti itu kadang bisa jadi serba salah.  Salah-salah bertindak  malah bisa dianggap membela yang salah.  Tidak mendukung mereka-mereka. Hanya bisa menangislah jadinya.  Tapi tentu tidak  ditempat kejadian. Paling di tempat lain yang lebih sesuai.

Seingat saya, saya ada dua kali menyaksikan kejadian seperti itu. Memang benar yang dikeroyok itu  yang salah.  Karena  yang satu copet. Yang satunya lagi maling.  Saya bukan bermaksud membelanya.  Cuma yang saya tangisi adalah yang ketidak seimbangan  itu.  Yang sudah minta ampun, sudah lemas bahkan sudah  tidak berdaya, tapi masih dihajar, dipukul, dan seterusnya seperti yang disebutkan tadi.

Salahnya saya,  kenapa malah bisa menangis untuk hal yang seperti itu,  kemungkinan besar karena kadang terlalu memikirkan kenapa mereka bisa sampai beberbuat seperti itu.  Saya kadang berpikir  mungkin saja karena keluarganya lagi krisis keuangan sementara ada beberapa perut yang harus diisi, keperluan anak sekolah yang tidak bisa ditunda, sementara cari pekerjaan  begitu sulit, dan yang lain-lainnya lagi mungkin yang membuat mereka sangat terpaksa melakukan itu.

***

Nah, setelah hampir lebih dari sepuluh tahun tidak menangis, setelah   kejadian terakhir  yang copet sama maling itu,  kemarin  kejadian lagi saya harus menangis.  Penyebabnya adalah karena   menyaksikan video di youtube (kalau link yang saya pilih itu benar sesuai aslinya)  yang meneriaki presiden saya Bpk. Joko Widodo   dibilang anj*ng, bab*

Hati saya teriris.

Presiden yang menurut saya sudah pontang-panting bekerja siang dan malam untuk bekerja dan memikirkan negeri ini untuk menuju yang lebih baik lagi, yang hasilnya sudah mulai bisa terlihat, meskipun tetap saja ada  yang tidak ma(l)u   mengakuinya, tapi harus seperti itukah yang harus diterimanya?

Tak terbayangkan rasanya bagaimana hati beliau,  isterinya, anak-anaknya,  saudara-saudaranya,  keluarga besarnya, termasuk juga mungkin seluruh  pribadi-pribadi yang lain yang ada di seluruh Pelosok tanah air  yang masih yakin dan percaya sama beliau  untuk memimpin negeri ini.

Beliau yang sudah pontang-panting bekerja siang dan malam untuk bekerja dan memikirkan negeri ini untuk menuju yang lebih baik lagi, tapi harus seperti inikah yang harus diterimanya?

Hujatan, hinaan, umpatan, terutama yang kata-kata anj*ng bab* itu?

Yang meneriak-neriakkan itu memang bisa berkelit. Ngeles. Dengan segala kelihaiannya mempermainkan kata-kata. Yang mungkin sudah dipersiapkan juga cara pengamanannya.  Tetapi  posisi dia yang sedang  melantunkan syair-syair lagunya itu? Yang oleh karenanya  ada juga  backing vocal yang turut mengikuti iramanya? Yang  para fans nya juga  turut memberikan  semacam standing applause?

Achhhh  ...

Menagislah kita. Habis itu  mengelus dada.  Apa daya. Dia  (mereka) lebih hebat.

***

Oh ya. Selain yang tadi-tadi itu, masih ada ternyata satu lagi. Jadi ingat. Cuma masalahnya  saya tidak tau persis nangisnya itu kenapa. Dan bagaimana. Karena jadi campur aduk soalnya. Makanya agak ragu sebenarnya menceritakannya.

Ketika itu masih di kampung saya sana. Kala masih pemuda tanggung.  Ceritanya, pernah seorang  Buta berpapasan di jalan dengan sekelompok anggota Geng. Ada lima orang rombongan kelompok Geng tersebut. Geng kampung tentunya. Kelompok Geng yang kerjanya sering bikin onar. Ribut. Merusak. Malak. Membuat siapapun lebih baik menghindar dari mereka-mereka daripada akan menjadi urusan.

Sementara Si Buta jalannya hanya sendiri. Karena Si Buta ini orangnya sangat mandiri. Kemana-mana tidak  pernah mau dituntun. Kalau dia mau pergi kemana, pergi saja. Tidak mau ketergantungan dengan siapa-siapa. Dia berani kemana saja cukup hanya mengandalkan tongkat ber-strip merahnya.

Saya sendiri waktu itu dalam radius kurang lebih lima puluh meter dari mereka-mereka ketika sedang saling berpapasan. Dengan kondisi yang tidak terlihat oleh mereka. Karena sedang mengintip dari dalam rumah.

Entah bagaimana cerita persisnya,  tiba-tiba saja langsung terjadi  insiden. 

Bermula dari adanya  terdengar kata-kata dengan nada membentak: “dasar buta!”   si Buta  langsung mengamuk dengan cara  melemparkan tongkatnya ke arah kelompok Geng tersebut. Hebatnya meskipun tidak melihat sasaran, tetapi ternyata bisa  mengenai salah satu angota kelompok Gengtersebut. Kena pas di bagian pundaknya.

Karena jarak antara si Buta dengan Kelompok Geng tersebut tidak sedang dalam jarak pukul, makanya dia tidak bisa menggunakan tongkatnya tersebut untuk memukul. Bisanya hanya dengan posisi melempar. Tapi benar-benar bertenaga. Karena didorong oleh rasa yang sangat marah.

Si anggota Kelompok Geng yang terkena langsung  terduduk.  Mengusap-usap pundaknya sambil menahan rasa sakit.

Sempat semua terdiam sesaat.  Yang anggota Geng  saling melihat satu sama lain. Sementara si Buta nampak sedang konsentrasi. Entah sedang mengkonsentrasikan apa. Yang jelas tidak mungkin sedang berpikir untuk kabur. Karena dengan segala keterbatasannya. Apalagi tongkat sebagai  satu-satunya yang menjadi alat bantunya sedang tidak dalam penguasaannya.

Saya sendiri?

Saya sendiri mulai khawatir. Bahkan sampai gemetar. Memikirkan nasib si Buta yang akan menjadi bulan-bulanan para anggota Kelompok Geng. “Akan habislah dia. Tulangnya akan remuk dibantai. Mukanya bisa tidak akan ada bentuknya lagi. Giginya rontok. Dan darah bisa mengucur dari mana-mana. Lalu  mereka akan meninggalkan begitu saja dalam keadaan tidak berdaya. Bisa--bisa  malah membawanya entah kemana untuk menghilangkan jejak,” pikirku dalam hati. Waswas. Saya pasti tidak akan sanggup melihatnya. Tidak akan.

“Lalu, saya harus ngapain? Apa yang harus saya lakukan?”

Namun ditengah saya sedang memikirkan nasibnya itu, secara tiba-tiba si Buta nampak melakukan aksi. Dia terlihat bergerak cepat setengah berlari.  Berlari khas orang buta. Kakinya seperti  merangkak. Diangkat  agak tinggi.  Namun mendaratkan kakinya  seperti ragu-ragu. Takut ada lubang mungkin yang malah akan membuatnya terperosok. Atau penghalang lain yang bisa membuatnya tersandung. Maklum karena tidak ada alat bantu.

Dan disitu pulalah saya langsung mulai menangis.  Seraya bertanya dalam panik. “Bagaimana nih?  

Yang membuat saya semakin bertambah  panik, Si Buta itu  bergeraknya malah ke arah para kelompok Geng. Mata saya seperti hampir terbelalak menyaksikannya. Bukannya berusaha menghindar, malah seperti menyerang lagi.

Tapi anehnya, para anggota kelompok geng tersebut malah terlihat menyingkir. Menghindari si Buta yang kadang hampir menabrak siapa saja  dari mereka. Karena si Buta bergeraknya tak tentu arah. Dan yang paling mengherankan, yang akhirnya membuat saya tambah  menangis tersedu-sedu adalah ketika salah seorang dari anggota Geng tersebut memungut  tongkat yang sedari tadi tergeletak lalu menyerahkannya kepada si Buta.

Saya baru mengerti, oh, aksi si Buta tersebut ternyata ingin mencari-cari tongkatnya yang kemungkinan dalam pikirannya harus sesegera mungkin dikuasainya lagi sebelum hilang atau dihilangkan oleh kelompok Geng tersebut, atau malah dipakai lagi oleh mereka sebagai alat untuk membalas perbuatannya ke mereka. Tetapi diluar dugaan, kelompok Geng tersebut malah membantunya. Bukan menyerang balik untuk membalasnya. Atau misalnya, setidaknya membiarkan si Buta itu mencari-cari sendiri yang sedang dicarinya sampai ketemu. Salut

Setelah menerima kembali tongkatnya si Butapun  langsung pergi melanjutkan perjalanannya. Dengan aman.

***

Karena fokus saya hanya mau menceritakan atau sharing kenapa saya sampai bisa menangis, sementara dalam keadaan duka sekalipun tidak bisa menangis, saya tidak mau membahas “pesan moral”dari kisah si Buta dan kelompok Geng ini, silakan dibahas dalam hati masing-masing saja.

***

Sumber

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun