Mohon tunggu...
Puja Nor Fajariyah
Puja Nor Fajariyah Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer Assistant, Early Childhood Enthusiast

Kia Ora! Find me on ig @puja.nf

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Tentang Ruminasi, Sulitnya Berhenti Memikirkan Hal yang Tak Pasti dan Membuat Sakit Hati

8 Mei 2021   09:42 Diperbarui: 8 Mei 2021   09:45 2353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Bagaimana bila patah hati berujung depresi?"

Banyak orang bilang, proses berdamai paling sulit adalah berdamai dengan kenyataan pahit. Terlebih apabila kenangan pahit tadi muncul atau hasil dari kenangan yang awalnya begitu manis. Perkara asmara misalnya, yang awalnya bermula dari rasa suka, dijalani dengan rasa cinta hingga berakhir menjadi rasa sakit, banyak orang yang lantas menyerah dan putus asa karenanya.

 Ah lebay! Tidak. Pada kenyataan bagi sebagian orang, untuk dapat keluar dari sebuah kenangan pahit adalah sebuah sesuatu yang nyatanya jauh lebih rumit. Mau dibilang udah move-on juga, secara tidak sadar akan kembali teringat juga. 

Pun ada yang memang secara sadar untuk terus mengingat kenangan pilu tadi untuk kembali disimpan didalam memori serta tidak memiliki keinginan atau usaha apa-apa untuk mengubah keadaan. Well, mengenai hal ini dijelaskan dalam psikologi dan kita mengenalnya dengan istilah ruminasi. Teruntuk kamu yang merasa sedang berada pada kondisi seperti ini, aku sarankan kepadamu untuk membaca tulisanku kali ini hingga selesai ya. 

Menurut pengertiannya, ruminasi merupakan kondisi dimana seseorang memikirkan sesuatu masalah tanpa henti. Pemikiran ini umumnya disertai dengan perasaan tidak mampu, sehingga akan meningkatkan rasa cemas seseorang. Ya, fenomena seperti ini kalau kita lihat begitu mudah untuk kita temui, kita sendiri pernah atau bahkan sedang dalam kondisi seperti ini sekarang? Ya istilah sederhananya kita bisa menyebut kalau kita sendiri sedang berada dalam kondisi gagal move-on. 

Dalam penjelasan melalui berbagai teori psikologi sendiri, terdapat beberapa karakteristik dalam ruminasi dan aku akan mencoba untuk menjabarkannya. 

Pertama, datang dari seorang profesor psikologi dari Yale University, Susan Nolen-Hoeksema. Dia memiliki sebuah teori yang kerap diklaim paling empirik dalam menjelaskan fenomena ruminasi yang dinamakan sebagai teori Response Styles Theory (RST). 

Teori ini Nolen-Hoeksema tuangkan dalam salah satu risetnya pada tahun 2008 mengenai 'Rethinking Rumination' dimana disana dijelaskan bahwa ruminasi adalah bentuk dari refleksi diri yang maladaptif sebab ia menciptakan pandangan baru yang justru menambah atau memperpanjang durasi stres hingga depresi yang dirasakan oleh seseorang.  

Dalam prosesnya sendiri, ia akan melewati tiga tahap yaitu pertama, ruminasi akan membuat seseorang terpikir secara kontinyu mengenai masa silam yang pahit dan menimbulkan perasaan sakit yang juga mendalam dan memicu rasa tertekan. Kedua, seorang ruminator atau orang yang mengalami ruminasi sulit untuk memecahkan masalah secara efektif. Dan ya, ruminator cenderung berpikir pesimistis dan fatalistis. Ketiga, ruminasi nantinya akan mengganggu perilaku instrumental seseorang hingga sampai ke tahap depresif. 

Bahkan, apabila ruminator sudah berada di tahap menalami ruminasi kronis, pada akhirnya ia akan kehilangan dukungan dari jejaring sosial, karena ia telah menghilangkan sama sekali konsultasi atau bahkan dukungan dari mereka. Pada akhirnya, ruminator akan mendapatkan konsekuensi berupa gejala depresi yang mereka alami di awal akan berevolusi menjadi lebih parah. Ya, seperti apa yang telah aku tulis di awal tadi, durasi terjadinya pun akan menjadi lebih panjang. 

Selain teori RST dari Nolen-Hoeksema, terdapat pemahaman lain mengenai ruminasi ini, terangkum dalam Goal Progress Theory (GPT) yang dikemukakan oleh Edward Watkins. Kalau kamu pernah mengetahui mengenai Zeirganik Effect atau penjelasan ilmiah mengenai mengapa seseorang lebih mudah untuk mengingat sesuatu yang belum selesai daripada yang sebaliknya, maka ruminasi secara spesifik telah terkonsep dalam teori RST tadi sebagai bentuk respon mengenai sebuah kegagalan dalam mencapai suatu tujuan. Kalau berbicara mengenai mekanisme, ia berjalan sebagaimana semestinya. Sama seperti yang tadi telah aku jelaskan di awal yaitu karena ruminator memikirkan secara kontinyu terkait berbagai faktor penyebab kegagalan tadi. 

Ada lagi rangkuman yang tertulis dalam Roadmap to Rumination dari National Center for Biotechnology  on sadness, Stress Reactive Rumination, Self-Regulatory Executive  Function, Conceptual Evaluative & Experiental, hingga Rumination & Self-Regulation yang mana ini semua adalah varian baru dari ruminasi.

 Meskipun memiliki berbagai varian baru tadi, ruminasi ini sendiri tetap adalah salah satu penyebab utama dari terjadinya kecemasan atau anxiety, depresi, dan stres akut. Berdasarkan data terakhir yang ada di lapangan, pada tahun 2000 menunjukkan bahwa sepanjang 2,5 tahun terakhir, terdapat 137 orang mengalami depresi akibat ruminasi. Riset ini terdapat di American Psychological Association (APA) yang dilakukan oleh Nolen-Hoeksema juga. 

Apabila melihat pada contoh tindakan yang biasanya dilakukan oleh ruminator, karakteristik umum yang dilakukan adalah meliputi kecenderungan dalam mengonsumsi alkohol secara berlebihan, memiliki keinginan untuk bunuh diri, hingga kesulitan yang amat pelik dalam hal memaafkan diri sendiri. 

Lantas, apabila ada yang bertanya, apakah gejala yang dimiliki oleh ruminator perempuan dan laki-laki itu sama? Jelas jawabannya adalah tidak.

Kita ketahui bersama bahwa dari kecenderungan berperilaku dan berpikir pada laki-laki dan perempuan itu berbeda. Ada istilah yang lazim kita kenal dengan 'Kalau laki-laki berpikirkan pake logika, kalau perempuan memakai rasa alias perasaan"

Coba deh kamu perhatikan mereka atau kamu yang pernah mengalami patah hati yang sedemikian pahit. Pernah gak sih kamu ketika mengingat kejadian pahit tadi, alih-alih coba mengalihkannya, eh malah gak bisa. Nah, bisa jadi kamu adalah seorang ruminator yang sedang mengalami ruminasi. Well, ruminasi ini bisa juga dibilang sebagai bentuk refleksi diri agar diri tak lagi mengalami rasa pahit yang sama lagi. Namun, pada kasus ruminasi akut, itu akan membuat seseorang akan terobsesi untuk selalu mengingat hal tersebut, meskipun pada nyatanya sekarang tidak lagi merasakan hal yang sama. 

Nah dari sana kemudian, pikiran seperti ini akan mengakibatkan terkuasainya ia oleh emosi negatif dari berbagai lini. Ibaratnya nih ya, orang yang terkena ruminasi ini seperti hamster yang berlari di atas lingkaran berputarnya tanpa jeda. 

Ruminator akan terjebak dan secara kontinyu akan memikirkan kenangan pahit yang telah terjadi tapi tidak menemukan jalan keluar atasnya. Ya tentu saja kalau sudah begini, situasi yang terjadi justru akan menjadi semakin parah. Sudah tidak menemukan solusi, eh beban di pikiran justru semakin berlipat. Sungguh sia-sia bukan?

Sejatinya, orang-orang yang terkena ruminasi perlu untuk menerima dan meminta bantuan dari non-ruminator atau profesional atas apa yang mereka hadapi. Dan ya biasanya, hal ini cukup berhasil. Meskipun, tidak berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Biasanya, efeknya hanya sebentar dan ketika ruminator dihadapkan pada keadaan pemicu ia untuk mengingat apa yang membuatnya sakit hati, ia akan memikirkan lagi mengenai hal-hal tadi. 

Pernyataan mengenai hal ini pernah dikutip oleh Bridget Murray Law dari APA dimana tertuang dalam sebuah esai miliknya yang berjudul 'Probing The Depression-Rumination Cycle".  

" Nolen-Hoeksema mengatakan bahwa para ruminator akan kembali menarik diri, dan bahkan memusuhi orang-orang yang telah mencoba membantu mereka. Mereka akan berpikir: 'Kenapa orang-orang itu menelantarkan saya, kenapa mereka begitu kritis terhadap saya?"

Masih berbicara seputar gender, terdapat riset lain yang tertera dalam NCBI pada tahun 2013. Judul dari riset yang dilakukan tersebut adalah 'Gender Differences in Rumination: A Meta-Analysis'. Disana membahas mengenai perbedaan yang mendasari antara ruminator laki-laki dan perempuan. 

Berdasarkan hasilnya, ruminator pria cenderung lebih fokus pada emosi daripada perasaan sedih yang muncul ketika ia mengalami ruminasi. Biasanya gejalanya adalah usaha mereka untuk mengalihkan rasa sakit dan pikirannya melalui hal-hal yang destruktif alias merusak mereka. Seperti halnya contoh yang sempat aku sebutkan di awal yaitu mengkonsumsi alkohol secara berlebih atau yang ekstrem adalah melakukan tindakan bunuh diri. 

Sedangkan pada perempuan, untuk menyalurkan emosi negatif yang dirasakan, biasanya ia sendiri akan menangis secara terus menerus, melamun, dan terjebak dalam kebingungan yang mendalam. Itulah mengapa, perempuan memiliki resiko yang lebih tinggi untuk mengalami depresi daripada laki-laki. Sebenarnya hasil riset ini juga pernah dilakukan oleh Nolek-Hoeksema, namun ia berpendapat apabila memgacunya pada perbedaan diatas, maka ini terjadi karena faktor budaya bukan karena gender. 

Tentu saja, siapa yang ingin hal seperti ini terus meliputi hidup kita atau orang-orang terdekat yang kita kenal. Meskipun benar tidak mudah untuk menghadapi ruminasi, tetapi bukan tidak mungkin apabila kita mencoba melakukan pengobatan secara serius hal ini dapat teratasi. Kembali mengacu pada riset yang dilakukan oleh Nolen-Hoeksema bersama rekannya dari Stanford University, Sonja Lyubomirsky, keduanya memberikan cara-cara agar ruminator dapat meminimalisir atau bahkan terlepas dari ruminasi yang mereka alami. Adapun macam-macamnya adalah sebagai berikut,

Pertama, melakukan tindakan-tindakan kecil untuk mengalihkan perhatian.

Kedua, melepaskan hasrat untuk meraih tujuan yang tidak menyehatkan, kecil kemungkinan atau bahkan tidak mungkin untuk tercapai.

Ketiga, mengalihkan pikiran untuk meningkatkan harga diri.

Keempat, menekan pikiran negatif serta ekspektasi berlebih terhadap sesuatu atau seseorang.

Kelima, memikirkan dengan matang mengenai skenario paling buruk dari tindakan yang kamu lakukan.

Keenam, kamu perlu untuk memahami pemicu apa saja yang membuat dirimu merasa tertekan dan berusaha untuk tenang ketika perasaan tersebut muncul

Ketujuh, belajar dari apa yang telah terjadi di masa lalu

Kedelapan, terapi meditasi dan menerapkan mindfulness

Selain delapan hal di atas ada cara lain yang cukup menyenangkan lainnya. Yaitu dengan memainkan permainan teka-teki silang serta sudoku. Bukan tanpa alasan, kedua permainan ini direkomendasikan oleh Edward Selby, seorang psikolog dari Rutgers University, dalam esainya yang berjudul 'Rumination: Problem Solving Gone Wrong' yang tayang di Psychology Today. 

Kedua permainan ini dipilih dengan alasan kedua permainan ini mengharuskan pemainnya untuk secara aktif memikirkan teka-teki yang ada bukan pada masalahnya. Tips lain yang juga diberikan olehnya adalah menghabiskan waktu dengan melakukan hal yang menyenangkan bagi kita seperti membaca buku, menonton film, bermain bersama teman, jalan-jalan, atau kegiatan lainnya.  Pada intinya, hal apapun selama kamu merasa senang melakukannya. 

Terakhir, penting untuk kamu ingat bahwa ruminasi merupakan kebiasaan buruk, jadi kamu harus melakukan kegiatan secara teratur yang dapat mendistraksimu dari kebiasaan tersebut. Dan jika kamu ingin menghentikan ruminasi, mengalihkan perhatian sekali atau dua kali saja tidak cukup. Perlu untuk kamu melakukan hal-hal yang menyenangkan tadi secara kontinyu. Semoga bermanfaat.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun