Mohon tunggu...
Puja Nor Fajariyah
Puja Nor Fajariyah Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer Assistant, Early Childhood Enthusiast

Kia Ora! Find me on ig @puja.nf

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Wahai Orang Tua, Berikan Tanggapan yang Baik jika Anak Kecil Menegurmu

1 Oktober 2020   18:55 Diperbarui: 3 Oktober 2020   10:55 3228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Eh, tau apa kamu anak kecil"

Aku sedang duduk menunggu bus untuk pulang ke rumah. Saat itu di pinggir jalan. Aku tak sendirian, ada seorang ibu dan anaknya serta seorang bapak-bapak yang tengah asyik dengan rokoknya.  

Awalnya suasana ya hening, tak ada obrolan sama sekali di antara kami. Ya barangkali pandemi, jadi untuk berinteraksi saja kami membatasi diri. Tapi, tiba-tiba anak usia dini yang tadi di sampingku bersuara dan mengatakan, "Pak, merokok itu kata bu guru enggak baik loh. Nanti paru-parunya bisa rusak dan bisa meninggal", tegurnya.

Alih-alih sadar, berhenti atau pindah tempat, si bapak malah berkata,"Eh, tau apa kamu anak kecil", ujar si bapak dengan nada yang sama sekali tak bersahabat.

Kemudian, si anak kembali ke tempatnya semula, menyembunyikan diri di belakang badan ibunya. Dan si bapak, tetap dengan rokoknya, seolah teguran yang baru saja ia dapatkan, tak perlu untuk dihiraukan.

Setelah menunggu cukup lama, bus yang ditunggu akhirnya datang. Kami berempat naik. Aku duduk satu kursi dengan si anak usia dini tadi, ia dipangku oleh ibunya. 

Kebetulan bus yang kami tumpangi hanya bus angkutan umum biasa, yang tak ada larangan merokok atau wajib menggunakan masker di dalamnya saat kondisi pandemi saat ini. Sayup-sayup aku mendengar, si anak usia dini di sampingku ini berbisik-bisik ke ibunya.

"Ma, kok banyak yang gak pakai masker ya? Kan nanti bisa kena corona", katanya.

"Ma, bilangin om-om itu Ma, biar pakai masker"

"Ma, kok bapak yang tadi itu ngerokok lagi ya?"

Ibunya hanya mengangguk-angguk tanpa memberi penjelasan apa-apa. Karena memang anak usia dini adalah masa anak biasanya banyak bertanya, ia terus saja mengulang-ulang pertanyaanya. Akhirnya, kuberanikan saja menjawab pertanyaan si anak usia dini itu,

"Dek, coba bilang sendiri aja dek, dikasi tau om-om itu, biar maskernya dipakai. Kasih tau bapak itu biar jangan merokok, ini di dalam bus".

Dan si anak ini menjawab, "Enggak, takut. Aku kan cuma anak kecil"

Karena anak ini enggan untuk menegur, akhirnya aku coba sampaikan dengan baik-baik, agar si bapak berhenti merokok dan si mas-mas yang maskernya ia buka ku minta untuk memakai maskernya dengan benar. 

Entah, sebab apa kemudian keduanya mengikuti apa yang aku sampaikan. Atau memang, karena saat aku menegur itu, sontak banyak mata yang menyoroti dua orang ini, seolah menuntut dan nuraninya kalau bisa ditebak, sedang berkata, "tuh dengerin".

Dari kejadian ini aku terpikir bahwasanya memang pada kenyaatannya sering kali dari kita yang enggan untuk mendengarkan nasehat atau pesan baik, ketika penyampainya adalah seorang anak usia dini. 

Seolah, dengan kapasitasnya, nasehat yang keluar dari mulut seorang anak usia dini muncul atas dasar pengetahuan dan minim, atas dasar anak usia dini yang dianggap tak tahu apa-apa. Hal ini tentu merupakan sebuah kebiasaan atau persepsi buruk yang tidak untuk dipelihara. Sebab, dampaknya banyak sekali.

Kita menginginkan mereka mendengar setiap perkataan kita, tetapi kita lupa belajar mendengar suara nurani mereka. Kita ingin anak kita cerdas, enerjik, dan kreatif, tetapi kita lah yang pertama kali membunuh bakat-bakat mereka, inisiatif-inisiatif dan bahkan ide-ide mereka

Kalimat ini aku kutip dari pak Fauzil Adhim, seorang pegiat parenting di mana pada beberapa hari yang lalu aku mengikuti salah satu kelas virtualnya. 

Ternyata, sebegitu besar dampaknya apabila suara dari anak usia dini tidak didengar. Dari mulai mematahkan semangat dan bisa sampai mengubur dan membunuh bakat yang mereka punya. 

Kalau ibarat pribahasa yang terkenal, "Karena nila setitik, rusak susu sebelanga", hanya karena kita yang tidak peduli dan tak mengetahui bagaimana harusnya menanggapi anak, hancur sudah kepribadian si anak tadi.

Kata-kata dari pak Fauzal Adhim tadi, apabila coba ku tarik benangnya dengan cerita di awal tulisan ini benar adanya, untuk seorang anak mampu mengutarakan pikirannya, mengumpulkan keberanian, hingga akhirnya muncul sebuah pesan yang keluar dari apa yang ia resahkan, pasti melibatkan sebuah proses berpikir yang sederhana. 

Aku saja, sebenarnya ketika melihat si bapak yang merokok tadi ingin sekali menegur, tapi balik lagi di otakku berkecamuk dengan pengadaan berbagai macam kemungkinan-kemungkinan.

"Ah, bagaimana kalau pertanyaanku nanti diabaikan, bagaimana kalau ternyata pernyataanku membuat bapak ini tersinggung, aku takut disangka sok tau dan lancang". Sampai pada keadaan seolah di anak yang bersamaku tadi dapat merasakan dan mendengar obrolan semu di dalam otakku. 

Ia, yang masih anak usia dini itu, lebih berani menegur, ya sebab, anak usia dini memang sangat "polos" dan jujur dalam mengekspresikan apa yang ia pikirkan dan rasakan.

Aku bukan seorang yang bisa membaca perasaan, tapi aku bisa mengetahui apa yang anak tadi rasakan ketika pesan baiknya malah dimentahkan. Dengan alasan, yang hanya pembenaran. Seolah, apa yang dikatakan anak itu salah, dan orang dewasa selalu benar. 

Ia yang pada akhirnya tak berani menegur untuk kedua kalinya secara langsung karena keberaniannya telah ciut di awal. 

Ia yang awalnya berani mengutarakan, pada akhirnya memerlukan orang lain untuk mewakilkan apa yang ia rasakan. 

Keberanian dan rasa percaya diri anak itu ibarat kaca, saat ia telah retak, sulit untuk mengembalikannya menjadi sempurna. Memerlukan proses yang lama, tergantung bagaimana pemulihannya. 

Banyak faktor yang mempengaruhi hal ini, dari faktor internal, dan eksternal tentunya. Dari faktor kepribadian, juga faktor lingkungan.

Berbicara perihal ini, orang tua atau bisa dikatakan setiap orang dewasa, jangan hanya umurnya "tua" tapi nyatanya tidak "dewasa". 

Konotasi ini berbeda sebab, menjadi orang tua atau orang yang tua berpikiran dewasa itu tidak terjadi dengan tiba-tiba. Memerlukan sebuah proses belajar yang bisa dibilang cukup lama. 

Belajar dari mana? Dari mana saja dan pengalaman merupakan guru sepanjang masa. Mengapa pengalaman, iya. Ada baiknya setiap orang tua ketika berhubungan dengan anak usia dini perlu kiranya memposisikan diri sejajar dengan mereka. 

Memposisikan diri menjadi teman bicara, teman berbagi cerita. Selaiknya teman, ia mendengar ketika diberitahu sesuatu, menanggapi bila perlu, dan tak mengambil hati apabila ternyata, si anak lebih tahu. Sebab, masih anak-anak, tak selalu kekanak-kanakan.

Coba dipikirkan, apabila kita dipertemukan dengan dua kondisi seperti ini:

"Ayah, kalau minum duduk ya,"

"Oh, iya Nak, terima kasih ya sudah diingatkan,"

Dan pada kondisi kedua:

"Ayah, kalau minum duduk ya,"

"Udah gakpapa, ini juga udah mau habis minumnya,"

Kira-kira, kita bisa menebak siapa yang anak-anak dan siapa orang dewasanya? Apakah kita menebak, sikap mana yang kekanak-kanakan, dan yang mana yang lebih dewasa? Tak perlu dijawab, hanya pikirkan saja. 

Fenomena ini membenarkan, bahwa usia tidak dapat dijadikan sebagai sebuah tolak ukur sebuah kedewasaan. Usia, bukanlah sebuah pembenaran untuk menolak sebuah pesan.

Kalau mengutip kembali ke sebuah peribahasa arab yang bunyinya:

"Undzur maa qoola, wa laa tandzur man qoola", yang artinya "lihatlah apa yang dikatakan, jangan lihat siapa yang menyampaikan".

Sebuah nasehat, dan sebuah pelajaran bisa datang dari mana saja, yang harusnya dijadikan sebagai sebuah tolak ukur diterimanya sebuah pesan, adalah baik atau tidaknya pesan yang disampaikan bukan siapa yang menyampaikan.

Mendengar bisa dikatakan sebagai sebuah hal yang terkadang disepelekan. Padahal dengan mendengar, banyak sekali dampak baik yang kita dapatkan atau berikan. 

Tanpa mendengar, kita tidak akan mengetahui apa-apa. Saat ini, aku di kampus tengah mengikuti mata kuliah pendidikan inklusi. Dosenku pernah mengatakan seperti ini:

"Biasanya, kalau anak yang tunanetra, peluang untuk mengidap tunarungu dan tunawicara itu sedikit. Lalu kalau dia tunawicara, peluang ia menjadi tunarungu juga sedikit. Tapi kalau anak yang tunarungu, sudah pasti ia akan menjadi tunawicara."

Hal ini disebabkan, sebab otak sudah tidak merangsang sebuah informasi. Ketika hal itu terjadi saat usia dini, maka sudah pasti anak akan menjadi tunawicara sebab memang sudah tidak mengetahui bagaimana caranya untuk dapat mengungkapkan isi yang ada dalam otak mereka. Kalau bisa dibilang, kalau tidak mendengar, bagaimana bisa ngomong? 

Kalau pesan yang baik saja tidak didengar, apakah layak untuk berbicara memprotes?

Laiknya bapak yang diawal menerima pesan baik, enggan mendengar tapi berbicara tanpa perasaan. Ketika mendengarkan suara terpateri saja enggan bagaimana bisa mendengar suara nurani yang sifatnya imaji?

Jadilah pendengar yang baik dan dengarkan suara nurani dengan hati-hati. Sebab munculnya ia bukan tiba-tiba dan tahu-tahu jadi. Ia datang dengan adanya proses yang kita sendiri tak bisa mengira-ngira kapan itu terjadi. 

Terakhir, barangkali benar, anak-anak usianya masih dini. Tapi itu bukan lantas dijadikan sebagai pembenaran kepada setiap orang tua dan orang dewasa lari dari kewajiban untuk mendengar suara mereka yang muncul dari nurani. 

Jangan menjadi manusia yang cacat pikir, manusia yang mudah menjadi dalang argumen ad hominem. Di mana ketar-ketir dan menyerang sosok pribadi dan latar belakang si penyampai pesan saat sedang berada di posisi terpojokkan alih-alih mendengar dan mengiyakan pesan yang tersampaikan.


Semoga tulisan ini bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun