"Undzur maa qoola, wa laa tandzur man qoola", yang artinya "lihatlah apa yang dikatakan, jangan lihat siapa yang menyampaikan".
Sebuah nasehat, dan sebuah pelajaran bisa datang dari mana saja, yang harusnya dijadikan sebagai sebuah tolak ukur diterimanya sebuah pesan, adalah baik atau tidaknya pesan yang disampaikan bukan siapa yang menyampaikan.
Mendengar bisa dikatakan sebagai sebuah hal yang terkadang disepelekan. Padahal dengan mendengar, banyak sekali dampak baik yang kita dapatkan atau berikan.Â
Tanpa mendengar, kita tidak akan mengetahui apa-apa. Saat ini, aku di kampus tengah mengikuti mata kuliah pendidikan inklusi. Dosenku pernah mengatakan seperti ini:
"Biasanya, kalau anak yang tunanetra, peluang untuk mengidap tunarungu dan tunawicara itu sedikit. Lalu kalau dia tunawicara, peluang ia menjadi tunarungu juga sedikit. Tapi kalau anak yang tunarungu, sudah pasti ia akan menjadi tunawicara."
Hal ini disebabkan, sebab otak sudah tidak merangsang sebuah informasi. Ketika hal itu terjadi saat usia dini, maka sudah pasti anak akan menjadi tunawicara sebab memang sudah tidak mengetahui bagaimana caranya untuk dapat mengungkapkan isi yang ada dalam otak mereka. Kalau bisa dibilang, kalau tidak mendengar, bagaimana bisa ngomong?Â
Kalau pesan yang baik saja tidak didengar, apakah layak untuk berbicara memprotes?
Laiknya bapak yang diawal menerima pesan baik, enggan mendengar tapi berbicara tanpa perasaan. Ketika mendengarkan suara terpateri saja enggan bagaimana bisa mendengar suara nurani yang sifatnya imaji?
Jadilah pendengar yang baik dan dengarkan suara nurani dengan hati-hati. Sebab munculnya ia bukan tiba-tiba dan tahu-tahu jadi. Ia datang dengan adanya proses yang kita sendiri tak bisa mengira-ngira kapan itu terjadi.Â
Terakhir, barangkali benar, anak-anak usianya masih dini. Tapi itu bukan lantas dijadikan sebagai pembenaran kepada setiap orang tua dan orang dewasa lari dari kewajiban untuk mendengar suara mereka yang muncul dari nurani.Â
Jangan menjadi manusia yang cacat pikir, manusia yang mudah menjadi dalang argumen ad hominem. Di mana ketar-ketir dan menyerang sosok pribadi dan latar belakang si penyampai pesan saat sedang berada di posisi terpojokkan alih-alih mendengar dan mengiyakan pesan yang tersampaikan.