Mohon tunggu...
Intan Puri Hapsari
Intan Puri Hapsari Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Penikmat alam semesta. Pengamat fenomena dunia. Pecinta seni manusia berevolusi dan berinteraksi Penulis jadi jadian yang ingin terus belajar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dunia Rasa Pandemi atau Pandemi Rasa Dunia?

3 Mei 2020   21:15 Diperbarui: 3 Mei 2020   21:09 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Desember 2019, bulan penghujung tahun yang memiliki makna tersendiri bagi setiap insan. Dipenghujung tahun ini, ide, rencana, harapan dan kenangan biasanya dibukukan dan dijadikan bahan refleksi diri guna menyambut tahun yang baru. 

Namun, siapa yang menduga tahun 2020 membawa peristiwa yang berbeda.  Tahun ini telah merubah cara hidup manusia di seluruh penjuru dunia tanpa terkecuali. 

Saya tidak pernah menyangka, kelak generasi penerus saya akan mendengar cerita bersejarah yang terjadi di abad ini. Rasanya teori bumi berputar pada porosnya berlaku juga seperti sejarah yang akan selalu berputar antara generasi. 

Kali ini kami sedang berperang, tetapi bukan berperang untuk menaklukan wilayah ataupun adu otot bak gladiator di jaman Romawi. Perang kami kali ini melawan musuh yang memang muncul akibat dari ulah manusia itu sendiri yang merasa sudah merajai semesta.

Januari 2020, saya mendengar China mendeklarasikan wabah Covid-19 di kota Wuhan sebagai pusat epidemi. WHO (World Health Organization) menyambut berita ini dengan kepala dingin tanpa bermaksud memperbesar-besarkan permasalahan.  Negara dibelahan dunia lainpun, tidak merasa virus ini sebagai sebuah ancaman dunia. 

Jarak tempuh yang cukup jauh dan pengalaman epidemi yang pernah lalu menjadi sebuah pelajaran yang kemudian diinterpretasikan secara berbeda oleh setiap negara. 

Akhir bulan januari, pemerintah China menkarantina Wuhan secara ketat, dan tentu saja strategi ini menjadi perbincangan hangat dimata dunia. Kritikan dan skandal terhadap Negara bambu ini menjadi topik utama yang diperbincangkan di surat kabar internasioanl. 

Berdasarkan investigasi jurnalis lokal, terkuak sudah bahwa epidemi ini sebenarnya telah berlangsung sejak akhir tahun lalu. Namun kebenaran berita ini menghilang bersamaan dengan lenyapnya dokter dan beberapa jurnalis lokal. 

Selagi China sibuk mengatasi epidemi, kehidupan di negara lain tetap berjalan dengan normal. Namun, siapa yang pernah menduga bahwa suatu hari virus ini akan berubah menjadi pandemi yang tidak mengenal perbatasan wilayah?

February 2020, hanya sebagian Negara di Asia yang mengambil inisiatif dengan cepat guna meminimalisir penyebaran wabah Covid-19. Pengalaman buruk  wabah SARS yang pernah mereka alami pada tahun 2003 menjadi contoh nyata untuk menindak cepat penyebaran virus. Taiwan dinilai sebagi negara yang paling cekatan dalam penanganan wabah baru ini. 

Berkat statusnya sebagai nonanggota WHO, pemerintah setempat dapat mengambil keputusan tanpa harus menunggu aba aba dari anggota kesehatan ternama tersebut.  Taiwan menghentikan export masker, memutuskan penerbangan dengan negara China serta menkarantina suspect Covid-19 yang dilacak melalui rapid test. 

Tindakan dini pemerintah Taiwan seharusnya patut dicontoh oleh Negara lain, terutama di Eropa. Karena pada bulan ini, rakyat Eropa masih saja disibukkan dengan planning wisata liburan musim dingin mereka. Resort resort ski di Perancis masih penuh didatangin wisatawan mancanegara ataupun lokal. Bahkan salah satu resort ski di haute savoie, sebuah daerah di Perancis pernah menjadi saksi keberadaan Covid-19. Sudah nyata adanya bahwa pada bulan ini virus telah beredar di kontinen Eropa. 

Namun, pada saat itu Perancis tampaknya tidak terlalu ambil pusing untuk mengeluarkan kebijakan terkait epidemi. Bulan Februari tetap berjalan seperti biasanya, restaurant, toko, pesta, pertandingan olahraga masih terus berlangsung!

 Disaat negara tetangga, Italy sudah mendeklarasikan diri menjadi pusat wabah baru Covid-19 diluar negara China, Perancis masih berusaha mencerna epidemi ini tanpa mengambil tindakan yang signifikan. Ya, tentu saja sebagai negara demokrasi semua kebijakan tidak bisa diambil secara cepat, semua butuh proses!

Maret 2020, dunia mulai menganggap epidemi Covid-19 sebagai hal yang tidak bisa dipandang sebelah mata. WHOpun mengganti status epidemi menjadi pandemi. 

Pada bulan ini, Perancis  baru mulai menganggap serius keberadaan virus ini diwilayahnya. Namun lucunya, strategi karantina draconian a la China, masih saja sibuk diperdebatkan oleh banyak Negara. Pada tahapan kasus pandemic seperti ini saja,  strategi karantina yang teramat ketat masih dianggap menyalahi Hak Asasi Manusia. 

Landasan ideologi politik seperti liberal demokrasi seakan akan menghambat pengambilan keputusan para pemimpin negara liberal tersebut.  Penanganan pandemi Covid-19 di Eropapun tidak sesigap di negara Asia. 

Apakah memang ini konsekuensi dari keberhasilan demokrasi di kontinen ini?  Apakah ini hasil dari pemikiran Hak Asasi Manusia yang dijunjung tinggi atau sebenarnya ini hanya persoalan faktor ekonomi saja?. 

Tertanda 16 maret 2020, Perancis mengumumkan karantina sebagai jawaban atas berkembangnya pandemi dengan kecepatan yang tidak terduga. Amerika, Italy, Spanyol, Perancis menjadi negara dengan korban terkontaminasi yang menempati peringkat 10 besar. Ada apa dengan Negara modern berdemokrasi ini? Mengapa pemerintah setempat tidak mengantisipasi bahaya pandemi sedari awal tahun? 

Padahal saat itu negara negara ini sibuk memperbincangkan skandal yang sedang terjadi di China. Namun tampaknya mereka terlalu menganggap enteng persoalan ini sehingga tidak menyiapkan diri sendiri kalau kalau Covid-19 akan berimgrasi.  Bulan maret menandakan bahwa covid-19 susah  menjadi milik dunia. Pandemi ini berhasil menghentikan aktivitas manusia secara serentak. 

Pemilihan strategi penanganan epidemi yang berbeda antara Negara satu dengan lainnya mengisyaratkan  ideologi politik yang dianut. Sejak tahun 1960, liberalisme menjadi ideologi yang sedang mendunia. 

Pada era ini terjadi juga beberapa pergerakan sosial yang menuntut perubahan yang politik yang mendasar. Peristiwa Mai 1968 mewarnai pergerakan sosial yang sering menjadi acuan warga Perancis saat berdemonstrasi. Mungkin saja demokrasi dan hak asasi yang diagung agungkan oleh Negara Eropa berdampak pada pengambilan keputusan yang terlalu berbelit belit dalam menangani pandemi. 

Alasan apa yang bisa mengalahkan liberalisme demi memaklumi karantina ala draconian di Wuhan? Bagaimana bisa pemerintah mengurung kebebasan rakyatnya yang merupakan hak asasi manusia. Ditambah lagi dengan system pelacak melalui GPS telephone seluler demi menguraikan jejak Covid-19.  

Apakah mungkin Negara yang berlandaskan HAM seperti Perancis mengontrol warganya dengan cara serupa seperti Negara di Asia seperti Taiwan, Korea Selatan ataupun Singapura? 

Rasanya wacana ini akan memakan waktu yang lama untuk diperdebatkan. Rancah demokrasi dimana pemerintah tidak bisa mengambil keputusan sepihak seakan akan menjadi boomerang dalam situasi gawat darurat seperti sekarang.

Perang akan lawan yang tak kasat mata ini, bukan saja merusak tatanan perekonomian dunia. Ketika kegiatan manusia terhenti, roda perekonomianpun tidak akan berjalan. Memang benar manusia modern pada era sekarang berpusat pada perekonomian. 

Dunia modern seperti mengharuskan perekonomian terus berjalan tanpa henti. Sistem perekonomian yang sudah seharusnya seperti ini atau memang sebenarnya manusia bisa merubahnya? 

Sampai sampai harus ada virus terlebih dahulu untuk menghentikan roda perekonomian. Mungkin tujuan virus ini agar dunia dapat berpikir kembali tentang sistem perekonomian yang baru. 

Butuh waktu sekitar 2 tahun untuk menyembuhkan diri dari krisis keuangan subprime 2008. Krisis tersebut hanya menyentuh financial saja, namun krisis kesehatan hari ini menyentuh berbagai aspek. Maka dapat dibayangkan akan butuh berapa tahun untuk bangkit lagi dari situasi nol ini. Pertanyaan besar saat ini adalah bagaimana hidup akan berjalan setelah karantina berakhir? 

Apakah pengaturan dunia tidak akan sama lagi? relasi seperti apa yang akan kita bangun terhadap sesama ?apakah bersosialisasi tidak akan seperti dulu lagi? Walaupun bisa dibilang  secara mayoritas manusia dijaman modern ini adalah individu yang cenderung individualis. 

Akan tetapi ketika karantina, social distancing atau physical distancing diberlakukan, hal pertama yang terlintas adalah "bagaimana kita bersosialisasi?". Mungkin sebelum virus ini muncul kita terlalu disibukkan untuk menghidupi hidup hingga lupa bahwa kita tidak bisa hidup tanpa orang lain.

Yuval Noah Harari dan bukunya "Homo Deus" menjabarkan bahwasanya manusia berevolusi dari jaman ke jaman. Pada jaman modern ini, individualisme semakin meruncing karena didukung oleh kemajuan teknologi dan revolusi internet. 

Tampaknya perkembangan teknologi akan semakin dipercepat demi menghambat penyebaran pandemi. Seperti di China, dimana hidup setelah karantina sangat bergantung oleh QR code yang bisa melacak jejak keberadaan seseorang sebelumnya. 

Pemberian data personal yang mengatasnamakan kesehatan menjadi hal yang wajar diberlakukan. Dengan adanya pandemi ini, pola pikir manusia juga akan berubah. Para anti teknologi akan tunduk atas keberhasilan Big Data untuk melacak lebih cepat penyebaran virus.

Yuval telah memprediksi bahwa manusia di era yang akan datang lebih mengandalkan internet daripada insting untuk mengambil keputusan. Nyatanya hal ini benar dibuktikan, seperti Aplikasi stop Covid-19 a la Perancis (yang masih ramai diperdebatkan penggunaannya) akan dapat melacak keberadaan orang yang terkena virus. 

Kalau sudah begini, keputusan kita akan berada ditangan teknologi dan Bigdata daripada insting kita sendiri. Aneh rasanya mengakui bahwa pada era yang lalu, kita merasa lebih mengenal diri sendiri, namun pada hari ini seakan aka internet dan teknologi lebih bisa mengenal diri kita. 

Tapi, kalau harus disandingkan dengan kesehatan, mungkin pada akhirnya liberalisme yang sangat dielu elukan oleh Negara modern akan menjadi sebuah fantasi saja!

Jikalau liberalisme akan lenyap dengan perlahan dengan kemajuan teknologi, lalu bagaimana dengan negara berdemokrasi yang berlandaskan prinsip ini?

Akan banyak perubahan fundamental politik yang terjadi akibat dari dampak krisis kesehatan ini. Francis Fukuyama menjabarkan adanya fenomena pergeseran nilai demokrasi modern melalui analisanya ; "The rise of modern democracy is the story of the displacement of megalothymia by isothymia"- Identity-.  

Demokrasi modern yang kekinian menuntut persamaan derajat untuk semua manusia tanpa terkecuali.  Megalothymia yang merupakan bagian dari jiwa manusia yang ingin dianggap lebih daripada manusia yang lain sudah mulai pudar masa kejayaannya. Peperangan yang sering kali terjadi pada abad ini kurang lebih karena persoalan ketidakadilan yang dirasakan oleh kaum minoritas.  

Cikal bakal teroris, perang saudara atau munculnya gerakan neoliberal juga merupakan hasil dari pemikiran seperti ini. Sekarang dengan adanya pandemi, manusia akhirnya merasakan kesamarataan yang selalu diimpi-impikan. Paling tidak covid-19 tidak mengenal identitas korbannya. 

Lalu, apakah sekarang manusia ini jauh  berbahagia daripada hidup sebelumnya? Semoga setelah pandemi ini berakhir, manusia akan lebih bijak untuk tidak membesar besarkan masalah sepele demi membesarkan ego. Ideology, budaya, agama, kekayaan pada akhirnya akan tunduk pada satu esensi kehidupan; hidup itu sendiri!. 

Hidup seperti terlalu singkat untuk mengurusi masalah persamaan derajat saja. Sampai di tahapan ini, manusia memang harus belajar lagi untuk menata hidup baru yang lebih seimbang sesuai dengan perannya masing-masing. Karena pada akhirnya manusia saling terhubung satu sama lain begitu pula dengan alam semesta!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun