Mohon tunggu...
Intan Puri Hapsari
Intan Puri Hapsari Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Penikmat alam semesta. Pengamat fenomena dunia. Pecinta seni manusia berevolusi dan berinteraksi Penulis jadi jadian yang ingin terus belajar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dunia Rasa Pandemi atau Pandemi Rasa Dunia?

3 Mei 2020   21:15 Diperbarui: 3 Mei 2020   21:09 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pemberian data personal yang mengatasnamakan kesehatan menjadi hal yang wajar diberlakukan. Dengan adanya pandemi ini, pola pikir manusia juga akan berubah. Para anti teknologi akan tunduk atas keberhasilan Big Data untuk melacak lebih cepat penyebaran virus.

Yuval telah memprediksi bahwa manusia di era yang akan datang lebih mengandalkan internet daripada insting untuk mengambil keputusan. Nyatanya hal ini benar dibuktikan, seperti Aplikasi stop Covid-19 a la Perancis (yang masih ramai diperdebatkan penggunaannya) akan dapat melacak keberadaan orang yang terkena virus. 

Kalau sudah begini, keputusan kita akan berada ditangan teknologi dan Bigdata daripada insting kita sendiri. Aneh rasanya mengakui bahwa pada era yang lalu, kita merasa lebih mengenal diri sendiri, namun pada hari ini seakan aka internet dan teknologi lebih bisa mengenal diri kita. 

Tapi, kalau harus disandingkan dengan kesehatan, mungkin pada akhirnya liberalisme yang sangat dielu elukan oleh Negara modern akan menjadi sebuah fantasi saja!

Jikalau liberalisme akan lenyap dengan perlahan dengan kemajuan teknologi, lalu bagaimana dengan negara berdemokrasi yang berlandaskan prinsip ini?

Akan banyak perubahan fundamental politik yang terjadi akibat dari dampak krisis kesehatan ini. Francis Fukuyama menjabarkan adanya fenomena pergeseran nilai demokrasi modern melalui analisanya ; "The rise of modern democracy is the story of the displacement of megalothymia by isothymia"- Identity-.  

Demokrasi modern yang kekinian menuntut persamaan derajat untuk semua manusia tanpa terkecuali.  Megalothymia yang merupakan bagian dari jiwa manusia yang ingin dianggap lebih daripada manusia yang lain sudah mulai pudar masa kejayaannya. Peperangan yang sering kali terjadi pada abad ini kurang lebih karena persoalan ketidakadilan yang dirasakan oleh kaum minoritas.  

Cikal bakal teroris, perang saudara atau munculnya gerakan neoliberal juga merupakan hasil dari pemikiran seperti ini. Sekarang dengan adanya pandemi, manusia akhirnya merasakan kesamarataan yang selalu diimpi-impikan. Paling tidak covid-19 tidak mengenal identitas korbannya. 

Lalu, apakah sekarang manusia ini jauh  berbahagia daripada hidup sebelumnya? Semoga setelah pandemi ini berakhir, manusia akan lebih bijak untuk tidak membesar besarkan masalah sepele demi membesarkan ego. Ideology, budaya, agama, kekayaan pada akhirnya akan tunduk pada satu esensi kehidupan; hidup itu sendiri!. 

Hidup seperti terlalu singkat untuk mengurusi masalah persamaan derajat saja. Sampai di tahapan ini, manusia memang harus belajar lagi untuk menata hidup baru yang lebih seimbang sesuai dengan perannya masing-masing. Karena pada akhirnya manusia saling terhubung satu sama lain begitu pula dengan alam semesta!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun