"Eh, kok kamu makin gendut aja sih?"
"Jerawat kamu makin banyak ya?"
"Kamu kurus banget sih?"
Dan masih banyak lagi contoh lainnya.
Apakah di antara kalian ada yang pernah mendapatkan pertanyaan seperti contoh kalimat di atas? Lalu, bagaimana perasaan kalian? Atau bagaimana respons kalian dalam menyikapi hal tersebut? Kesal, marah, langsung minder, atau sampai akhirnya malas bertemu dengan orang tersebut?Â
Sayangnya, tidak ada tempat di mana pun di dunia ini yang bisa membuat kita terhindar dari orang-orang seperti ini.Â
Kenyataannya, kita pasti akan dipertemukan dengan orang-orang yang menurut kita menyebalkan.Â
Bagi yang belum tahu, fenomena seperti kasus di atas adalah contoh dari body shaming. Apa itu body shaming?
Body shaming diartikan sebagai segala bentuk perilaku atau praktik menghina bentuk atau ukuran tubuh orang lain.
Jadi, sudah sangat jelas ya, tindakan mengkritik secara terang-terangan penampilan tubuh seseorang, atau membandingkan bentuk dan ukuran tubuh dengan orang lain, bisa dikategorikan sebagai perilaku body shaming.Â
Kendati demikian, fenomena body shaming kerap kali dianggap remeh oleh sebagian orang. Entah itu karena suatu hal yang memang tanpa sadar dilakukan orang tersebut (lost control) atau motifnya yang seringkali dibalut oleh kata 'bercanda'. Padahal, jika kita lihat dampak dari fenomena ini, bisa jauh lebih besar dari apa kita kira terutama dampak psikologis.
Respons terhadap body shaming pada setiap orang tentu berbeda-beda. Ada yang merasa kesal tapi tidak bisa diungkapkan dan akhirnya cuman bisa ngedumel dalam hati (membatin), meluapkan emosinya lantas marah-marah berujung baku hantam, atau memilih diam dan bersikap biasa aja (ah ya sudahlah). Dan semua itu adalah pilihan.
Bicara tentang fenomena dan respons dalam menyikapi body shaming, saya juga memiliki pengalaman pribadi terkait dengan hal itu.Â
Setelah sekian lama selalu memilih diam tetapi sambil ngedumel dalam hati, seperti bertanya, "Kenapa saya..? Kenapa..? dan Kenapa...?".
Sampai ada satu titik di mana akhirnya lebih memilih untuk tidak terlalu peduli dengan apa yang dibicarakan orang lain terkait dengan bentuk fisik, begitupun jika memang ada yang perlu dijawab, saya bisa menyikapinya dengan jauh lebih tenang.
Dan semua itu saya dapatkan setelah membaca buku "Filosofi Teras" karya Henry Manampiring.Â
Buku tersebut mengulas tentang salah satu aliran filsafat Yunani-Kuno yang sudah berusia lebih dari 2000 tahun, yaitu Stoisisme.Â
Alasan mengapa menggunakan Stoisisme untuk menghadapi body shaming karena tujuan dari filsafat ini adalah agar kita bisa hidup berdampingan dengan emosi negatif yang terkendali, hidup dengan kebajikan (virtue/arete), dan bagaimana kita hidup sebaik-baiknya seperti seharusnya kita menjadi manusia.
Stoisisme bukanlah agama kepercayaan, tetapi ia bisa melengkapi cara bepikir (paradigma) untuk menjalani hidup.Â
Poin penting dari filsafat Stoisisme adalah pandangannya terhadap semua hal yang terjadi dalam kehidupan kita.Â
Stoisisme memandang bahwa semua peristiwa yang terjadi pada dasarnya bersifat netral, tidak baik, dan tidak buruk.Â
Saat kita mengalami peristiwa hidup, sering kali ada penilaian otomatis yang muncul, dan jika kita bersikap irasional maka penilaian otomatis ini memicu emosi negatif.Â
Sebenarnya, aliran filsafat ini mengingatkan kita untuk selalu siap bahwa kita pun akan mendapat perlakuan buruk suatu saat dalam hidup kita. Dan saat itu terjadi, apakah kita bisa sangat tenang dalam menyikapinya? Atau, kita akan marah-marah?Â
Nah, di bawah ini akan sedikit dijelaskan bagaimana cara agar kita bisa jauh lebih tenang dan berpikir positif saat berhadapan dengan body shaming.
Bagaimana praktiknya dalam kehidupan sehari-hari?
1. Dikotomi kendali
Dikotomi kendali merupakan prinsip fundamental dari aliran filsafat Stoisisme. Dikotomi kendali adalah sebuah cara pandang bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini terdiri dari dua hal, yakni hal-hal yang bisa kita kendalikan dan hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan.Â
Contoh hal-hal yang ada di bawah kendali kita seperti, opini kita, persepsi kita, keinginan kita, tujuan kita, dan segala sesuatu yang merupakan pikiran dan tindakan kita sendiri.Â
Sedangkan contoh dari hal-hal yang tidak di bawah kendali kita seperti, tindakan orang lain, opini orang lain, popularitas, harta, jabatan, kesehatan kita, cuaca, bencana alam, jenis kelamin, dll.Â
Untuk merespons body shaming, kita bisa kembali ke dikotomi kendali dan melihat bahwa opini dan tindakan orang lain berada di luar kendali kita.Â
Kita tidak bisa mengendalikan perilaku orang lain, tetapi kita bisa mengendalikan pikiran kita apakah kita akan terganggu olehnya atau tidak, apakah kita akan marah-marah, sedangkan kita tahu bahwa itu semua termasuk hal-hal di luar kendali kita, termasuk keputusan bahwa dia akan tetap melakukan body shaming terhadap teman-temannya atau tidak meskipun sudah diperingatkan berkali-kali. Bukankah terlalu membuang-buang energi kalau kita harus sampai marah-marah?Â
2. Endure
Perlu kesabaran untuk menyikapi body shaming, dalam artian kita harus bisa menahan emosi agar tidak terpancing dan memperkeruh suasana.Â
Setelah itu, balik lagi ke dikotomi kendali, bukankah terlalu membuang energi kalau sampai marah-marah padahal kita sudah tahu dan sadar bahwa opini orang lain adalah hal di luar kendali kita?
Maka dari itu, penting sekali rasanya kita coba melihat dari sudut pandang pelaku (mencoba berprasangka baik/husnudzan). Dengan memahami niat dan perspektif mereka, kita bisa memberi respons yang lebih baik.Â
Mungkin, sebenarnya mereka tidak ada maksud untuk menyakiti hati kita tetapi karena ketidaktahuannya mungkin caranya menjadi salah atau bisa juga ada kemungkinan bahwa kita yang sebenarnya keliru.Â
Nah, inilah yang dinamakan endure them, mencoba hidup dan saling menoleransi dengan mereka.
3. Instruct
"Apakah filsafat Stoisisme hanya menyarankan kita untuk bersikap pasif, seakan-akan hanya kita yang selalu menoleransi mereka? membiarkan diri tertindas?" Jawabannya adalah tidak.Â
Dengan menoleransi bukan berarti kita membiarkan hal yang keliru terus-menerus terjadi. Jadi buat teman-teman yang mengira filsafat Stoisisme hanya tentang bersikap pasrah itu kurang tepat.
Langkah berikutnya adalah Instruct, artinya memberikan instruksi atau arahan. Jadi, kalian masih memiliki hak untuk mengajukan keluhan (complaint) dengan tujuan memperbaiki orang lain. Dan ini tidak bertentangan dengan Stoisisme.Â
Kondisi yang tidak didukung oleh Stoisisme adalah menggerutu dan menggosipkan kesalahan orang lain, tetapi tidak memperbaiki keadaan maupun membuat orang lain menjadi lebih baik.Â
Contohnya, kita bisa mengedukasi mereka tentang dampak negatif dari body shaming khususnya dari sisi psikologis bagi korban. Dimulai dari hilangnya rasa kepercayaan diri, cenderung membandingkan diri sendiri dengan orang lain, bahkan tidak jarang akhirnya menjadi kurang bersyukur atas pemberian dari Tuhan, atau lebih parahnya lagi bisa mengakibatkan depresi yang berujung pada keinginan untuk bunuh diri. Ihh, serem banget kan?
Tetapi untuk menegur orang lain perlu adanya standar ketat agar kita tidak menjadi hakim yang menegur orang sana-sini.Â
Untuk mengajukan keluhan, kita harus paham perspektif orang tersebut dan benar-benar yakin bahwa orang itu dalam situasi dan kondisi yang keliru, sehingga memang butuh teguran.Â
Maka dari itu, untuk memberikan instruct, kita tidak disarankan hanya karena keegoisan semata atau merasa paling benar, tetapi dibutuhkan kebijaksanaan. Karena bisa saja kita yang justru keliru dalam memberikan penilaian.Â
Jika memang masih ada keraguan, mungkin opsi terbaik adalah diam dan endure.
4. Selektif memilih teman dan lingkungan
Jauhi lingkungan yang menurut kalian dapat merusak mental. Pada akhirnya, kita akan menemukan orang yang tidak mau dikoreksi.Â
Mau dikoreksi susah, maunya menang sendiri, selalu merendahkan atau bahkan ada keinginan untuk menghancurkan orang lain. Jika untuk menoleransi dan mengoreksi pun rasanya sulit. Maka, jalan terakhir adalah hindari orang-orang 'tertentu' itu.Â
Stoisisme tidak mengajarkan kita untuk membiarkan fenomena body shaming terjadi. Hal yang ingin ditekankan adalah jika kamu menggantungkan kebahagiaan pada hal-hal yang ada di luar kendali, maka sifatnya akan sangat rapuh.Â
Hal yang sering kali tidak kita sadari adalah hidup dalam tirani opini orang lain. Inilah yang membuat kita menjadi tidak pernah merasa cukup atau lebih parahnya lagi tidak bersyukur.Â
Kenapa? Karena standar yang kita ikuti adalah standar manusia, misal, "cantik itu harus A,B, atau C". Artinya, jika standar manusia yang diikuti, maka tidak akan pernah ada habisnya.Â
Kalimat tadi bukan merupakan suatu perintah atau saran untuk bersikap bodo amat dengan penampilan fisik. Tetapi, kalian mungkin sulit sekali bahagia karena selalu menggantungkan kebahagiaan terhadap orang lain dan selalu merasa insecure.Â
Dengan lebih fokus pada hal-hal yang ada di bawah kendali kita, bukankah akan memudahkan kamu untuk berfikir lebih positif dan mencintai dirimu sendiri?Â
Sumber Referensi :
- Kenali Apa itu Body Shaming dan Efek Buruknya Pada Kesehatan Mental
- Manampiring, Henry. 2018. Filosofi Teras. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H