Contohnya, kita bisa mengedukasi mereka tentang dampak negatif dari body shaming khususnya dari sisi psikologis bagi korban. Dimulai dari hilangnya rasa kepercayaan diri, cenderung membandingkan diri sendiri dengan orang lain, bahkan tidak jarang akhirnya menjadi kurang bersyukur atas pemberian dari Tuhan, atau lebih parahnya lagi bisa mengakibatkan depresi yang berujung pada keinginan untuk bunuh diri. Ihh, serem banget kan?
Tetapi untuk menegur orang lain perlu adanya standar ketat agar kita tidak menjadi hakim yang menegur orang sana-sini.Â
Untuk mengajukan keluhan, kita harus paham perspektif orang tersebut dan benar-benar yakin bahwa orang itu dalam situasi dan kondisi yang keliru, sehingga memang butuh teguran.Â
Maka dari itu, untuk memberikan instruct, kita tidak disarankan hanya karena keegoisan semata atau merasa paling benar, tetapi dibutuhkan kebijaksanaan. Karena bisa saja kita yang justru keliru dalam memberikan penilaian.Â
Jika memang masih ada keraguan, mungkin opsi terbaik adalah diam dan endure.
4. Selektif memilih teman dan lingkungan
Jauhi lingkungan yang menurut kalian dapat merusak mental. Pada akhirnya, kita akan menemukan orang yang tidak mau dikoreksi.Â
Mau dikoreksi susah, maunya menang sendiri, selalu merendahkan atau bahkan ada keinginan untuk menghancurkan orang lain. Jika untuk menoleransi dan mengoreksi pun rasanya sulit. Maka, jalan terakhir adalah hindari orang-orang 'tertentu' itu.Â
Stoisisme tidak mengajarkan kita untuk membiarkan fenomena body shaming terjadi. Hal yang ingin ditekankan adalah jika kamu menggantungkan kebahagiaan pada hal-hal yang ada di luar kendali, maka sifatnya akan sangat rapuh.Â
Hal yang sering kali tidak kita sadari adalah hidup dalam tirani opini orang lain. Inilah yang membuat kita menjadi tidak pernah merasa cukup atau lebih parahnya lagi tidak bersyukur.Â
Kenapa? Karena standar yang kita ikuti adalah standar manusia, misal, "cantik itu harus A,B, atau C". Artinya, jika standar manusia yang diikuti, maka tidak akan pernah ada habisnya.Â