Saya lalu menuju dua tamu yang sudah duduk di ruang tamu itu; satu di kursi dari kayu dan satu di sofa. Tak pedulikan muka kucel, rambut awut-awutan, (baru kali ini memanjangkan rambut, biasanya gundul), dan bau mulut masih terasa. Menatap keduanya, saya juga menyempatkan membatin, bahwa mereka adalah seorang pengacara (lawyer). Sebab, wajah-wajah mereka mirip yang sekarang banyak “bergentayangan” di lembaga-lembaga hukum Negara : kepolisian (polda), kejaksaan, maupun pengadilan.
Sambil memegangi cangkir dan posisi masih berdiri ; saya menjabat. Lalu saya bertanya, “ Dari mana bapak… “ tanya saya.“Sepertinya pernah lihat. Apa bapak seorang pengacara, “ ucap saya lancang. Kami ketawa.
“Pengacara, pengangguran banyak acara, “ celetuk yang duduk di kursi kayu.
“Bukan! Kami dari Saksi Yehuwa, “ kata yang duduk di sofa.
“Oh…, “ desau saya dan segera mempersilkan mereka duduk kembali, begitu melihat mereka berdiri.
“Silakan duduk…, “ kata saya.
“Bapak masih berdiri, “ sahutnya dengan sedikit mensejajarkan tangannya ke depan ke arah saya.
Bagi saya, begitu mereka menyebut asal bukan istilah yang jarang saya dengar. Meski saya tidak pernah beragama Kristen. Sebab, istilah Yehuwa termasuk trend, menjadi bahan diskusi di warung kopi komunitas; selain figur-figur hebat seperti Muhammad, Isa, Ibrahim, Dalai Lama, Sidharta Gautama, Sun Tzu, hingga Tan Malaka. Saya hanya membatin, “orang Kristen, “ tanpa kecurigaan lain.
“Bapak pernah dengar Saksi Yehuwa, “ kata yang duduk di sofa lagi.
“Kristen kan?, “ sahut saya.
“Benar, “ masih kata yang duduk di sofa. “Tapi…, “