Di awal tulisan ini saya ingin bertanya terlebih dahulu kepada para pembaca sekalian. Selama kita berinteraksi dengan para guru entah dalam lembaga formal (sekolah, kampus, dsb) atau lembaga nonformal (kursus, bimbingan belajar, dsb) apakah kita lebih banyak bertemu dengan tipe guru yang menyenangkan atau sebaliknya? Berapa banyak guru yang memberikan kesan sangat mendalam di hati pembaca sekalian?
Saya yakin jumlahnya sedikit. Sosok guru istimewa itu hanya ada dalam hitungan jari kita. Padahal selama ini pasti kita bertemu dengan begitu banyak guru. Para guru kita dengan beragam karakter serta pembawaannya.
Pernah dalam suatu obrolan ringan di suatu sore saya berbincang dengan salah seorang sahabat dan rekan diskusi. Saya bertanya padanya selama bersekolah dulu di jenjang manakah yang terasa menarik dan istimewa?
Di luar dugaan saya dia menjawab semuanya biasa saja. Tidak ada yang terlalu menarik. Justru pernah mengalami pengalaman yang kurang mengenakkan saat duduk di tingkat sekolah dasar (SD) dulu. Sebuah tindakan yang dilakukan oleh seorang guru dan membekas hingga sekarang di dalam hatinya.
Pengalaman itu berbeda dengan saya. Masa-masa paling berkesan adalah saat bersekolah di SD. Karena saya bertemu dengan sosok guru yang karismatik dan inspiratif. Yang tidak saya dapati lagi di jenjang selanjutnya. Memang selalu begitu. Yang istimewa pasti sedikit jumlahnya. Kalau banyak tidak menjadi istimewa tapi biasa-biasa saja.
Kesan Mendalam
Setiap murid secara langsung atau tidak pasti akan menilai gurunya. Penilaian itu akan menimbulkan kesan di dalam benaknya. Bisa berupa kesan yang baik, biasa saja atau bahkan kesan yang buruk serta menyakitkan. Karena segala tindak tanduk serta pembawaan sang guru akan dilihat dan dicermati oleh muridnya.
Maka sangatlah benar jika dikatakan menjadi guru itu "digugu lan ditiru". Digugu berarti setiap perkataan dan perbuatannya harus bisa dipertanggungjawabkan. Sedangkan ditiru artinya menjadi teladan dan panutan bagi muridnya bahkan bagi siapapun.
Sebagaimana fitrah manusia biasa guru juga bukanlah sosok sempurna. Ia adalah individu unik dan kompleks dengan segala unsur kemanusiaannya.
Oleh karenanya ia tetaplah manusia biasa yang tak jarang bisa berbuat salah dan alpha. Sehingga memang perlu adanya sebuah pandangan dan paradigma berpikir yang lebih proporsional terhadap profesi guru.
Jikalau hari-hari ini isu terkait perundungan atau pembulian masih ramai dan hangat diperbincangkan, sejatinya kejadian perundungan itu bisa saja terjadi dari dan pada siapapun. Murid bahkan guru bisa menjadi korban perundungan bahkan pelaku perundungan itu sendiri. Mengingat bahwa persoalan perundungan atau kekerasan tidak semata menyangkut unsur fisik semata. Perundungan juga bisa terjadi secara verbal melalui kata-kata dan ucapan.
Dibutuhkan kehati-hatian dalam persoalan ini. Selalu dan selalu akan muncul tiga kesan dalam benak murid terhadap gurunya: luar biasa, biasa saja dan menyakitkan. Kesan tidak mengenakkan (menyakitkan) yang disampaikan oleh teman pada kisah di awal tulisan ini hanyalah secuil cuplikan cerita juga bisa dialami oleh siapa saja. Akan teringat sepanjang hidupnya.
Pemikiran bahwa guru harus menciptakan suasana pembelajaran yang bermakna dan menyenangkan juga harus dimaknai dengan lebih mendalam. Sebagai sebuah pendekatan dalam membangun hubungan sosial yang lebih hangat antara murid dan guru hendaknya jangan sampai melenceng dari semangat dan tujuan awalnya. Mutu dari sebuah proses pembelajaran tetap harus dipegang teguh. Selalu bahwa semuanya harus berpijak pada tujuan kebaikan bagi si murid dan gurunya.
Menjaga pola interaksi lintas generasi dengan prinsip salih asah, saling asih dan saling asuh. Saling belajar, saling menghormati dan saling menjaga juga melindungi.
Murid Hebat dan Guru Dahsyat
Menjadi seorang murid adalah sebuah keniscayaan. Karena setiap orang butuh belajar dan bersekolah pastinya. Di situlah kita bertemu dengan para guru. Proses belajar dipandang sebagai sebuah kewajiban bagi setiap insan. Untuk menggenapi fitrah kemanusiaannya. Begitu banyak kisah inspiratif tercatat dalam sejarah. Dimana dari seorang guru yang dahsyat maka lahirlah murid yang hebat.
Dikisahkan pada jaman Yunani Kuno dahulu hiduplah seorang Plato. Filsuf dari Athena dengan segala karya dan nama besarnya. Plato adalah salah satu tokoh pencetus tradisi pemikiran dan intelektualitas di dunia barat. Bersama Socrates dan Aristoteles maha karya pemikirannya masih bisa kita akses bahkan masih menjadi bahan diskusi hingga dewasa ini.
Plato adalah murid dari Socrates yang juga seorang filsuf (pemikir). Di Athena saat itu Plato berguru pada Socrates tentang segala ilmu terkait kehidupan. Peletak dasar pemikir modern ini agaknya ingin mengubah tradisi berpikir masyarakat Athena saat itu. Dari gaya berpikir mistisme menuju berpikir berdasarkan logika dan rasional. Maka lahirlah ilmu filsafat.
Singkat cerita Plato memiliki seorang murid yang kelak juga menjadi orang besar seperti dirinya. Ia adalah Aristoteles. Aristoteles juga kelak memiliki murid yang sangat luar biasa. Ia adalah sang penakluk bernama Alexander The Great. Sosok pangeran dari Macedonia yang menaklukkan lebih dari 2/3 belahan dunia di usianya yang masih sangat muda belia.
Dari para tokoh guru dan murid di atas agaknya bisa diambil sebuah kesimpulan bahwa guru yang dahsyat akan melahirkan murid yang hebat. Dan kedahsyatan serta kehebatan seorang guru terletak pada mimpi besar atau cita-cita agungnya. Bagaimana mungkin seorang guru akan menjadi besar dan hebat jika ia sendiri tidak mempunyai mimpi yang besar sebagai idealisme berpikirnya.
Mimpi inilah yang kelak akan diwariskan kepada murid-muridnya. Menjadi sebuah harapan yang menggerakkan hati dan pikiran untuk mewujudkannya. Maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa seorang murid pada dasarnya membawa cita-cita dan harapan dari sang guru.
Jika dikatakan menjadi seorang murid adalah sebuah keniscayaan maka memilih menjadi seorang guru sejatinya sebuah panggilan jiwa. Panggilan jiwa itu menggerakkan seseorang untuk menjatuhkan pilihan hidupnya pada sebuah pengabdian agung sebagai seorang guru. Terlalu dangkal rasanya jika guru itu dipandang sebagai sebuah profesi semata. Akan kering dan kerontang tanpa adanya sebuah motivasi etis sebagai pondasinya.
Maka pada akhirnya si guru akan terjebak pada pola pikir pragmatisme sempit tanpa makna. Melaksanakan tugas hanya sekedar menggugurkan kewajiban. Sekedarnya saja tidak kurang dan tidak lebih. Lalu apakah tipe guru yang seperti ini akan berhasil melahirkan murid yang hebat? Saya sungguh menyangsikannya.
Hari-hari ini agaknya para guru memang dihadapkan pada situasi yang tidak mudah. Terhimpit oleh berbagai kepentingan dan keadaan yang terkadang menyesakkan dada. Persoalan yang membelit dunia pendidikan pun seakan tidak kunjung usai dan terurai. Tugas dan tanggung jawab mendidik murid menjadi lebih rumit oleh karena faktor ketimpangan yang terjadi dimana-mana.
Sang guru yang dipuja-puja sebagai pahlawan insan cendekia harus berjuang lebih keras dalam pergulatan berbagai macam situasi. Perilaku amoral, kekerasan, pornografi dan segala bentuk penyimpangan agaknya menjadi sesuatu yang tidak mengherankan dewasa ini. Tugas dan fungsi mendidik kadang terabaikan karena tuntutan administrasi dan tugas tambahan.
Perlu sikap dan mindset berpikir bijak agar para guru tetap survive dan terus berkarya demi melahirkan para murid juara dan berjaya. Apakah bisa? Pasti bisa dan harus bisa. Semua berpulang pada pribadi sang guru itu sendiri. Selamat berjuang para guru hebat nusantara. Selamat berjuang demi para generasi penerus bangsa yang luar biasa. Salam blogger persahabatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H