Jika dikatakan menjadi seorang murid adalah sebuah keniscayaan maka memilih menjadi seorang guru sejatinya sebuah panggilan jiwa. Panggilan jiwa itu menggerakkan seseorang untuk menjatuhkan pilihan hidupnya pada sebuah pengabdian agung sebagai seorang guru. Terlalu dangkal rasanya jika guru itu dipandang sebagai sebuah profesi semata. Akan kering dan kerontang tanpa adanya sebuah motivasi etis sebagai pondasinya.
Maka pada akhirnya si guru akan terjebak pada pola pikir pragmatisme sempit tanpa makna. Melaksanakan tugas hanya sekedar menggugurkan kewajiban. Sekedarnya saja tidak kurang dan tidak lebih. Lalu apakah tipe guru yang seperti ini akan berhasil melahirkan murid yang hebat? Saya sungguh menyangsikannya.
Hari-hari ini agaknya para guru memang dihadapkan pada situasi yang tidak mudah. Terhimpit oleh berbagai kepentingan dan keadaan yang terkadang menyesakkan dada. Persoalan yang membelit dunia pendidikan pun seakan tidak kunjung usai dan terurai. Tugas dan tanggung jawab mendidik murid menjadi lebih rumit oleh karena faktor ketimpangan yang terjadi dimana-mana.
Sang guru yang dipuja-puja sebagai pahlawan insan cendekia harus berjuang lebih keras dalam pergulatan berbagai macam situasi. Perilaku amoral, kekerasan, pornografi dan segala bentuk penyimpangan agaknya menjadi sesuatu yang tidak mengherankan dewasa ini. Tugas dan fungsi mendidik kadang terabaikan karena tuntutan administrasi dan tugas tambahan.
Perlu sikap dan mindset berpikir bijak agar para guru tetap survive dan terus berkarya demi melahirkan para murid juara dan berjaya. Apakah bisa? Pasti bisa dan harus bisa. Semua berpulang pada pribadi sang guru itu sendiri. Selamat berjuang para guru hebat nusantara. Selamat berjuang demi para generasi penerus bangsa yang luar biasa. Salam blogger persahabatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H