Tentu sebisa dan semampu guru itu sendiri. Banyak jalan menuju roma, banyak cara dan akal untuk mencapai sebuah tujuan. Yang terpenting apapun caranya dalam mencapai tujuan yang diharapkan haruslah tetap berpegang teguh pada nilai-nilai etika dan moral. Moralitas itu harus tetap dijaga.
Ada ujar-ujar lama: guru kencing berdiri murid kencing berlari. Apapun yang dilakukan guru akan ditiru oleh murid-muridnya. Guru yang rajin membuat video jogad-joged tanpa tujuan jelas misalnya, akan dicontoh muridnya dengan lebih vulgar lagi. Jangan salahkan murid semakin liar karena bisa jadi ia belajar dari lingkungannya. Termasuk dari gurunya sendiri.
Jadi, menjadi guru kognitif dan guru kreatif merupakan satu kesatuan nafas tak terpisahkan. Guru sudah selayaknya memiliki tingkat kognitif (baca: kecerdasan) yang tinggi.
Sebagaimana itu juga guru haruslah memiliki jiwa kreativitas yang kental. Karena ini saling melengkapi dan saling menguatkan. Unsur kognitif adalah pada domain otak kiri (logika dan rasional) sementara kreativitas adalah domain otak kanan (inovasi, kreasi dan seni).
Semoga para guru tidak terjebak pada dikotomi-dikotomi yang bisa mereduksi peran dan eksistensi guru itu sendiri. Sebagaimana doktrin dalam aliran pendidikan humanistis bahwa setiap orang itu unik dan membawa bakat serta minatnya masing-masing.
Demikian pula pribadi sang guru yang membawa karakteristik serta memiliki keunikannya masing-masing. Jangan pernah lelah dan jangan pernah menyerah untuk menginspirasi bangsa ini wahai para guru Indonesia. Kemajuan peradaban bangsa dan negara ini ada di pundak para guru hebat Indonesia.
Tetap semangat dan salam blogger persahabatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H