Mohon tunggu...
Priyasa Hevi Etikawan
Priyasa Hevi Etikawan Mohon Tunggu... Guru - Guru SD || Pecinta Anime Naruto dan One Piece

Penulis buku Asyiknya Menjadi Penulis Pemula (2023) | Antologi 1001 Kisah Guru (2023)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Mengayuh di Antara Dua Paradigma: Guru Kognitif Vs Guru Kreatif

14 April 2024   16:42 Diperbarui: 15 April 2024   07:48 1087
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sosok guru di kelas | Sumber: Dokpri

Dunia pendidikan kita agaknya sedang bertransformasi dari era tradisional menuju era digital. Seperti menjadi sebuah keniscayaan bahwa di dunia ini tidak ada sesuatu yang abadi kecuali Tuhan dan perubahan itu sendiri. Pendidikan pun mengalami perubahan dan penyempurnaan dari waktu ke waktu dari zaman ke zaman.

Dahulu di era dekade 90'an masih teringat dalam benak saya, bahwa saat itu penggunaan kapur tulis dan papan tulis berwarna hitam adalah hal yang sangat wajar. Dan ditemui hampir di seluruh sekolah pada semua jenjang. Entah sekolah di pelosok kampung maupun sekolah elite di perkotaan. Kapur tulis dan papan tulis berwarna hitam pasti ada di setiap kelas menjadi salah satu media dalam kegiatan belajar mengajar.

Dewasa ini penggunaan kapur tulis dan papan tulis tersebut agaknya sudah semakin jarang dan diganti dengan spidol dan papan tulis berwarna putih. Bahkan mungkin di kelak kemudian hari dalam ruang kelas kita tidak lagi membutuhkan papan tulis secara fisik melainkan sudah digantikan dengan papan tulis digital. Begitulah adanya. Pendidikan selalu berubah mengikuti perkembangan dan tuntutan zaman.

Para guru dewasa ini pun dituntut untuk memiliki banyak keterampilan guna mendukung tugas profesionalnya sebagai guru. Sehingga jika dulu saya pribadi banyak dididik oleh sosok guru yang dominan menggunakan metode ceramah dan hafalan dalam pembelajaran, sekarang para guru dituntut untuk bisa mengemas pembelajaran dengan lebih kreatif dan interaktif. 

Pembelajaran yang bukan semata mencatat dan menghafal saja. Tetapi pembelajaran yang menumbuhkan kreativitas dan nalar kritis siswanya. Pembelajaran yang berpusat pada siswa bukan lagi berpusat pada guru sebagai sumber pengetahuan. Karena sumber pengetahuan di era sekarang sudah tersedia melimpah dan berserakan dimana-mana. Tidak lagi seperti era dahulu ketika teknologi internet belum maju seperti sekarang.

Lalu, bagaimana cara kita memandang persoalan ini?

Guru Kognitif

Beberapa waktu lalu saya menyimak sebuah video pendek di salah satu akun Facebook. Video pendek tersebut menampilkan konsep perbedaan guru kognitif dan guru kreatif menurut pembuatnya. Bahwa guru kognitif diantaranya memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

  • Sangat berpengetahuan dan hafal banyak rumus serta pemecahannya (pada mata pelajaran tertentu).
  • Lebih banyak menasehati bicara mendominasi dan sedikit mendengar.
  • Nilai tinggi itu membanggakan.
  • Berpegangan pada tugas pokok dan fungsi (tupoksi) dengan disiplin ilmu dan waktu.
  • Fokus pada target kurikulum.
  • Prinsip makin berpengetahuan, tandanya makin pintar dan makin dekat dengan sukses.
  • Kejuaraan lomba (olimpiade) adalah hal yang membanggakan dan memuaskan. Selengkapnya di sini

Begitulah kira-kira kriteria guru kognitif yang dibuat oleh si pemilik akun. Tentu saya tidak tahu dari mana dasarnya dia merumuskan kriteria tersebut.

Tetapi jujur saat menyimaknya langsung terlintas dalam benak tentang praktik pendidikan yang saya alami semasa sekolah dulu. Bahwa saya pernah merasakan iklim dan suasana semacam itu. Lalu apakah kriteria yang diuraikan di atas adalah sebuah kekurangan?

Saya rasa tidak sepenuhnya. Misal dalam konteks sangat berpengetahuan dan hafal banyak rumus bukannya itu bagus ya karena memang sosok guru haruslah berpengetahuan dan menghafalkan rumus bukanlah sebuah kekurangan apalagi bagi guru-guru yang mengajar mata pelajaran eksakta (Matematika dan IPA) justru menurut saya wajib jika guru tersebut hafal berbagai rumus terkait mata pelajaran yang diajarkan.

Semua kriteria diatas menurut saya wajar saja hanya satu yang agak mengganjal dalam benak saya adalah jika dikatakan guru kognitif itu guru yang lebih banyak menasehati, bicara mendominasi dan sedikit mendengar. 

Siapapun orangnya entah itu anak didik, anak-anak bahkan orang dewasa tentu tidak akan suka jika terlalu banyak dinasehati. Akan lebih baik didengarkan keluh kesahnya serta mengarahkan dengan secukupnya saja. Kecuali ada hal-hal serius yang memang membutuhkan diskusi dan berbagi pikiran secara lebih mendalam. Menjadi pendengar yang baik tentu akan lebih baik.

Guru Kreatif

Lebih lanjut dalam video pendek tersebut si pemilik akun juga memaparkan tentang kriteria guru kreatif. Menurutnya guru kreatif adalah guru yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

  • Lebih banyak senyum.
  • Badan lebih aktif memfasilitasi murid.
  • Lebih banyak mendengar daripada bicara.
  • Selalu memanfaatkan media sekitar sebagai alat peraga.
  • Prinsip belajar tak selalu harus berada di balik tembok kelas.
  • Prinsip berbuat banyak daripada tahu banyak.
  • Kadang keluar dari tupoksi dan silabus.
  • Menjadikan kelas lebih variatif dan nyaman untuk belajar.
  • Lebih banyak mengajarkan life skill daripada soft skill dan hard skill.
  • Lebih banyak learning by doing daripada sekedar ceramah dan menghafalkan.

Begitulah rumusan kriteria guru kreatif menurut si pemilik akun. Terlihat sangat tendensius mengunggulkan guru kreatif daripada guru kognitif. Padahal sejatinya tugas dan tujuan seorang guru adalah membentuk anak didiknya agar menjadi pribadi cerdas sekaligus memiliki budi pekerti baik.

Dan setiap guru yang baik akan memiliki caranya masing-masing untuk mencapai tujuan mulia itu. Kita tidak bisa menerapkan satu metode sapu jagad untuk banyak situasi dan kondisi di lingkungan pendidikan kita yang penuh dengan kesenjangan itu. Sekolah-sekolah kita memiliki kondisi yang sangat beragam. Tentu dalam hal ini guru juga harus adaptif terhadap situasi dan kondisi yang dihadapinya.

Kita tidak bisa memvonis bahwa guru kreatif itu lebih baik daripada guru kognitif atau sebaliknya. Karena saya yakin jikalau apa yang disampaikan dalam konten video tersebut kita jadikan parameter toh para guru hari ini merupakan produk dari guru kognitif di masa lalu. Kita bangga dengan rangking, dengan kejuaraan, pintar itu lebih dekat dengan sukses dan seterusnya.

Hari ini itu semua juga masih kita pakai sebagai acuan keberhasilan: skor PISA menjadi salah satu buktinya. Kita bangga rangking skor PISA kita kemarin meningkat.

Perkara kreativitas tentu dalam profesi apa pun itu diperlukan. Misal tukang martabak tentu harus kreatif dalam meracik dan membuat martabaknya enak, spesial serta berbeda dengan tukang martabak lain sebagai kompetitornya. Maka di situ membutuhkan kreativitas dan inovasi dari si tukang martabak. Agar ia tetap eksis dan usaha dagang martabaknya laku di pasaran serta ramai pembeli.

Guru juga demikian untuk mencapai tujuan pendidikan yang mulia itu pastinya ia haruslah menjadi sosok yang kreatif baik dari sisi pedagoginya maupun sisi profesionalnya dalam menjalani tugas mulianya sebagai guru. Situasi dan kondisi beragam yang dihadapi guru mesti dijawab dengan kreativitas dan inovasi.

Tentu sebisa dan semampu guru itu sendiri. Banyak jalan menuju roma, banyak cara dan akal untuk mencapai sebuah tujuan. Yang terpenting apapun caranya dalam mencapai tujuan yang diharapkan haruslah tetap berpegang teguh pada nilai-nilai etika dan moral. Moralitas itu harus tetap dijaga.

Ada ujar-ujar lama: guru kencing berdiri murid kencing berlari. Apapun yang dilakukan guru akan ditiru oleh murid-muridnya. Guru yang rajin membuat video jogad-joged tanpa tujuan jelas misalnya, akan dicontoh muridnya dengan lebih vulgar lagi. Jangan salahkan murid semakin liar karena bisa jadi ia belajar dari lingkungannya. Termasuk dari gurunya sendiri.

Jadi, menjadi guru kognitif dan guru kreatif merupakan satu kesatuan nafas tak terpisahkan. Guru sudah selayaknya memiliki tingkat kognitif (baca: kecerdasan) yang tinggi.

Sebagaimana itu juga guru haruslah memiliki jiwa kreativitas yang kental. Karena ini saling melengkapi dan saling menguatkan. Unsur kognitif adalah pada domain otak kiri (logika dan rasional) sementara kreativitas adalah domain otak kanan (inovasi, kreasi dan seni).

Semoga para guru tidak terjebak pada dikotomi-dikotomi yang bisa mereduksi peran dan eksistensi guru itu sendiri. Sebagaimana doktrin dalam aliran pendidikan humanistis bahwa setiap orang itu unik dan membawa bakat serta minatnya masing-masing.

Demikian pula pribadi sang guru yang membawa karakteristik serta memiliki keunikannya masing-masing. Jangan pernah lelah dan jangan pernah menyerah untuk menginspirasi bangsa ini wahai para guru Indonesia. Kemajuan peradaban bangsa dan negara ini ada di pundak para guru hebat Indonesia.

Tetap semangat dan salam blogger persahabatan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun