Namun Mangir melakukan itu bukan karena ia tak tahu soal agama. Dalam hal beragama, ia punya pendapat bahwa beragama adalah murni soal urusan dia dengan sang pencipta. Orang lain, termasuk istri bahkan orang tuanya sekalipun hanya berhak untuk mengingatkan saja. Tak ada haknya untuk memaksa.
Pernah suatu ketika ia sampai bilang pada teman-temannya ketika sedang berdiskusi soal agama, "Kalau ada orang menyembah pohon, memangnya kenapa? Mau kalian bunuh? Perkara hati jangan sampai jadi urusan kita. Itu soal privasi dan hak asasi."
Tapi jangan tanyakan soal kebaikan Mangir. Di kantor tempat Mangir bekerja, ia adalah seorang pegawai yang ringan tangan. Setiap rekannya ada kesulitan, ia selalu membantu tanpa dimintai pertolongan. Ia juga orang yang dermawan. Meski gajinya pas-pasan, ia selalu menyisihkan sebagian penghasilannya untuk membantu fakir miskin di sekitar komplek yang ia tinggali.
Wajar kalau nama Mangir cukup dikenal penduduk sekitar komplek. Selain itu, hal yang membuat Mangir cukup terkenal adalah keramahannya. Tiap berpapasan dengan orang ia selalu tersenyum untuk menyapa. Bagi Mangir, senyum adalah sedekah termurah yang bisa ia lakukan kepada sesama. Tak perlu mengeluarkan uang, hanya cukup dengan menarik sedikit otot di wajah saja.
Malam harinya, usai makan malam, ternyata Maspiroh belum juga puas dengan perdebatan tadi pagi. Ia membuka pembicaraan lagi soal agama dan pahala.
"Mas, kamu tahu kan pahala dua rakaat sebelum shalat subuh?"
"Iya, lebih baik dari dunia dan seisinya kan?" kata Mangir sambil menyalakan rokoknya.
"Nah itu kamu tau. Apa kamu gak pengen dapat pahala segitu gedenya?"
"Lha kamu selama ini ibadah cuma mengharap pahala?" Mangir balik bertanya pada Maspiroh.
"Ya kan itu tujuannya mas."
Mangir menghisap rokok kreteknya dalam-dalam. Lalu menghembuskannya perlahan. Terlihat sekali ia menikmati setiap hembusan asap yang keluar dari mulutnya.