Tak ada yang berbeda dengan pagi itu. Komplek perumahan masih sepi karena belum banyak warga yang bangun. Lampu-lampu belum semuanya padam karena memang masih agak gelap. Sedangkan cahaya matahari masih berupa semburat-semburatnya saja.
Tapi kehidupan di rumah Maspiroh sudah dimulai sejak adzan subuh berkumandang. Seperti biasa, Maspiroh akan langsung terbangun ketika mendengar adzan subuh. Usai sholat, ia akan langsung memulai rutinitas hariannya, ya, ia akan membangunkan suaminya, Mangir, untuk sholat Subuh.
Segala cara akan dilakukan Maspiroh untuk membangunkan Mangir. Mulai dari menarik selimutnya, menggoyangkan badannya, sampai memercikkan air ke mukanya. Sebuah rutinitas yang tak jarang membuat mereka berdua terlibat pertengkaran serius.
"Mas, bangun! Sudah waktunya subuh." kata Maspiroh sambil merapikan mukenanya.
"Hemm." Jawab Mangir singkat.
Maspiroh memaklumi suaminya. Semalam Mangir memang pulang larut  lantaran kebagian shift jaga sampai jam 12 malam. Ia pun meninggalkan Mangir untuk selanjutnya pergi ke dapur menunaikan tugasnya sebagai seorang istri.
Waktu terus berputar. Jam menunjukkan pukul 05.30 pagi. Lampu-lampu di komplek sebagian besar telah padam. Satu per satu penghuninya mulai menampakkan diri memulai aktivitas pagi itu. Tapi Mangir masih saja tak beranjak dari tempat tidurnya.
Dari dapur terdengar suara alarm dari HP Mangir. Berulang kali bunyi, berulang kali pula dimatikan. Mangir sepertinya sengaja melakukan hal itu.
Kesabaran Maspiroh habis. Diambilnya segayung air dari kamar mandi lalu dibawanya ke kamar. Tak butuh pikir panjang, ia ambil sebagian air yang dibawanya tadi dengan tangan kanannya lalu dipercikkan ke muka suaminya.
Mangir kaget. Ia membuka mata. Tampak di depannya Maspiroh dengan muka judesnya berdiri menatapnya sambil berkata ,"Bangun!!! Sudah siang, buruan subuh."
Tanpa menjawab, Mangir bergegas ke kamar mandi dan mengambil air wudhu. Usai sholat subuh ia duduk di teras rumah. Hp di tangan kanan, dan sebatang rokok terselip di tangan kiri. Dua hal itu sudah cukup bagi Mangir untuk memulai aktivitas pagi.
Dari arah dapur Maspiroh datang sambil membawa dua cangkir kopi. Meskipun kesal, Maspiroh tetap melaksanakan kewajibannya untuk melayani Mangir.
"Mas, kamu itu sekarang sudah menjadi seorang suami. Kamu itu imam rumah tangga. Harusnya kamu yang ngajakin aku buat sholat berjamaah. Bukan malah aku yang tiap hari sibuk bangunin kamu buat sholat subuh."
"Apa sih kamu ini, pagi-pagi sudah marah-marah aja."
"Gimana gak marah coba kalau lihat kamu tiap hari kayak gitu. Subuh telat, sholat yang lain waktunya sering dipepetin, ngaji gak pernah. Kaya gitu kok pengen rejekinya lancar."
"Eh..apaan nih..kok bahas soal agama segala."
"Perempuan itu surganya ada di suami, kalau suami masuk surga, ya aku ikut ke surga. Suami masuk neraka, ya aku ikut ke neraka, suargo nunut neroko katut!"
"Tapi kan kamu sudah mengingatkan. Ya sudah gugur donk kewajiban kamu."
"Ya gak segampang itu lah mas!"
"Halah udah lah, perkara agama itu urusan masing-masing manusia dengan Tuhan. Sesama manusia cuma wajib mengingatkan."
Tak mau berdebat panjang, Mangir meninggalkan Maspiroh yang masih terus menggerutu di teras.
Untuk urusan sholat, Maspiroh memang lebih rajin daripada Mangir. Hampir tiap terdengar adzan, ia langsung akan buru-buru ambil air wudhu untuk melaksanakan sholat. Sedangkan Mangir lebih sering menunda. Bahkan tak jarang ia melwatkan sholat subuh karena bangun siang.
Namun Mangir melakukan itu bukan karena ia tak tahu soal agama. Dalam hal beragama, ia punya pendapat bahwa beragama adalah murni soal urusan dia dengan sang pencipta. Orang lain, termasuk istri bahkan orang tuanya sekalipun hanya berhak untuk mengingatkan saja. Tak ada haknya untuk memaksa.
Pernah suatu ketika ia sampai bilang pada teman-temannya ketika sedang berdiskusi soal agama, "Kalau ada orang menyembah pohon, memangnya kenapa? Mau kalian bunuh? Perkara hati jangan sampai jadi urusan kita. Itu soal privasi dan hak asasi."
Tapi jangan tanyakan soal kebaikan Mangir. Di kantor tempat Mangir bekerja, ia adalah seorang pegawai yang ringan tangan. Setiap rekannya ada kesulitan, ia selalu membantu tanpa dimintai pertolongan. Ia juga orang yang dermawan. Meski gajinya pas-pasan, ia selalu menyisihkan sebagian penghasilannya untuk membantu fakir miskin di sekitar komplek yang ia tinggali.
Wajar kalau nama Mangir cukup dikenal penduduk sekitar komplek. Selain itu, hal yang membuat Mangir cukup terkenal adalah keramahannya. Tiap berpapasan dengan orang ia selalu tersenyum untuk menyapa. Bagi Mangir, senyum adalah sedekah termurah yang bisa ia lakukan kepada sesama. Tak perlu mengeluarkan uang, hanya cukup dengan menarik sedikit otot di wajah saja.
Malam harinya, usai makan malam, ternyata Maspiroh belum juga puas dengan perdebatan tadi pagi. Ia membuka pembicaraan lagi soal agama dan pahala.
"Mas, kamu tahu kan pahala dua rakaat sebelum shalat subuh?"
"Iya, lebih baik dari dunia dan seisinya kan?" kata Mangir sambil menyalakan rokoknya.
"Nah itu kamu tau. Apa kamu gak pengen dapat pahala segitu gedenya?"
"Lha kamu selama ini ibadah cuma mengharap pahala?" Mangir balik bertanya pada Maspiroh.
"Ya kan itu tujuannya mas."
Mangir menghisap rokok kreteknya dalam-dalam. Lalu menghembuskannya perlahan. Terlihat sekali ia menikmati setiap hembusan asap yang keluar dari mulutnya.
"Kalau gitu berarti kita beda pemikiran. Buatku, ibadah ya ibadah saja. Perkara dapat pahala itu urusan Allah, bukan lagi urusan kita. Percuma ibadah kalau hanya transaksional saja. Kamu pikir ibadah itu kaya dagang, ada untung ruginya gitu?"
"Ya bukan gitu mas, kan kita dijanjikan surga kalau banyak pahalanya."
"Iya itu betul, tapi apa karena sebatas mengharap surga dan takut pada neraka saja? Kalau pendapatmu seperti itu ya monggo saja, aku gak maksa. Cuma kalau aku beribadah, sholat, ataupun melakukan kebaikan lain, ya itu karena aku butuh. Selain karena perintah Allah tentunya."
"Lha tapi kamu sendiri sholat subuh ogah-ogahan, terus jarang ngaji, pergi ke masjid cuma pas sholat Jumat saja."
"Yah..kita kan sudah memilih jalan dosa masing-masing." Terpancar senyum sinis dari wajah Mangir. Sementara Maspiroh masih terpaku menunggu lanjutan omongan suaminya.
"Contohnya aku, mungkin aku berdosa karena sholat tak tepat waktu, sedangkan kamu hampir selalu on time. Tapi kamu kan masih sering gosip sama tetangga pas beli sayuran di warung depan to?"
"Iya sih...tapi..."
"Nah itu baru contoh kecil saja. Ada yang doyan judi tapi rajin menolong orang. Ada yang menutup aurat tapi masih suka membuka aib saudaranya. Ada juga yang suka mabuk tapi tiap ramadhan puasanya full."
"Ah kamu selalu bisa cari alasan. Cari pembenaran aja."
"Bukan gitu. Pernah dengar kisah pelacur yang masuk surga karena ngasih minum anjing yang kehausan?"
"Iya pernah."
"Persis kayak gitu. Kita gak pernah tahu kebaikan mana yang akan membawa kita ke pintu surga. Yang penting usahakan selalu lakukan hal-hal baik dalam hidup ini. Kalaupun ada kekurangan, namanya juga manusia, tempatnya salah dan lupa. Wajar."
Maspiroh lantas merenung. Obrolan malam itu membuatnya berfikir lebih jauh lagi tentang makna beribadah. Ia justru menjadi bimbang, untuk siapa ia beribadah selama ini. Untuk Tuhan kah? Untuk surga kah? Atau untuk kepentingan duniawinya saja?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H