Berbeda dengan sumpah promissoir, sumpah assertoir atau dapat juga disebut sebagai sumpah confirmatoir adalah sumpah untuk mengkonfirmasi benar tidaknya suatu keterangan. Sumpah ini adalah sumpah yang dapat digunakan sebagai alat bukti karena sifat meneguhkannya (Sudikno Mertokusumo, 2002).Â
Dalam Hukum Acara Perdata juga dikenal tiga jenis sumpah sebagai alat bukti yang terbagi menjadi sumpah pelengkap (suppletoir), sumpah penaksiran (aestimatoir), dan sumpah pemutus (decisoir) (Sudikno Mertokusumo, 2002). Sumpah pelengkap lebih dalam diatur dalam Pasal 155 HIR dan Pasal 182 RBg. Pengertian dari sumpah pelengkap adalah sumpah yang diperintahkan oleh hakim kepada salah satu pihak atas dasar jabatannya guna melengkapi pembuktian peristiwa dijadikan hakim sebagai dasar putusannya.Â
Sumpah ini tidak bersifat wajib diberikan, akan tetapi lebih kepada sebuah bentuk kewenangan yang diberikan oleh hakim untuk membebankan kepada para pihak. Pada dasarnya, untuk dapat dilakukannya sumpah pelengkap, harus ada bukti permulaan terlebih dahulu yang dianggap belum cukup, akan tetapi tidak memungkinkan didukung oleh alat bukti lain sehingga cara terakhir untuk mendukungnya adalah melalui sumpah pelengkap.Â
Sehingga, pada akhirnya bila bukti permulaan yang tadinya tidak cukup dapat dijadikan dasar putusan oleh hakim karena telah didukung oleh alat bukti sumpah pelengkap. Jenis sumpah ini memiliki fungsi menyelesaikan perkara sehingga kekuatan pembuktiannya dianggap sempurna, akan tetapi masih terbuka kemungkinan untuk dibantah dengan pembuktian dari pihak lawan. Bila hakim memberikan beban sumpah pelengkap ini kepada salah satu pihak, pihak tersebut berhak untuk menolak atau menerima (H. Enju Juanda, 2016).
Adapun bentuk sumpah selanjutnya yaitu sumpah penaksiran yang diatur dalam Pasal 155 HIR, Pasal 182 RBG, dan Pasal 1940 KUHPerdata. Pengertian dari sumpah penaksiran adalah sumpah yang diperintahkan hakim atas dasar jabatannya kepada pihak penggugat untuk menentukan nominal ganti kerugian.Â
Sumpah ini hanya dapat dibebankan kepada penggugat saat kesalahan pihak tergugat telah terbukti, akan tetapi jumlah kerugian yang dituntut sulit dihitung secara nominal dan bentuknya. Sumpah penaksiran ini pada dasarnya berguna untuk menentukan jumlah besaran ganti rugi yang harus dibayarkan tergugat. Sama seperti sumpah pelengkap, sumpah penaksiran memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna, walaupun masih dapat dibuktikan lain oleh pihak lawan (H. Enju Juanda, 2016).Â
Jenis sumpah yang terakhir adalah sumpah pemutus atau disebut juga sebagai sumpah decisoir yang diatur lebih jelas dalam Pasal 156, 157, dan 177 HIR. Pengertian dari sumpah ini adalah sumpah yang diajukan dari satu pihak dengan hakim sebagai pengantara kepada pihak lawannya dengan tujuan menggantungkan pemutusan perkara yang sedang diadili.Â
Disebut sebagai sumpah penentu karena sumpah ini harus dilakukan sungguh-sungguh dan dapat mengakhiri perkara sebagai upaya terakhir. Inisiatif untuk sumpah ini bukan berasal dari hakim melainkan dari pihak sehingga berbeda dengan dua sumpah sebelumnya. Pihak yang mengajukan juga wajib menyusun rumusan sumpahnya.Â
Pengajuan sumpah ini dapat diartikan sebagai bentuk pelepasan hak dan pihak pengaju pengakuan rela untuk dikalahkan apabila pihak lawannya berani bersumpah. Bentuk sumpah ini juga dapat dikembalikan dan dituntutkan kepada pihak yang tadinya mengajukan (H. Enju Juanda, 2016).Â
Kesimpulannya, dalam jenis sumpah pemutus ini, siapa yang berani melakukan sumpah atas inisiatif dan permohonan dari pihak lawannya akan memenangkan sengketa dan perkara itu akan selesai dengan sendirinya. Sebaliknya, jika ia menolak melakukan sumpah, ia akan dikalahkan. Kekuatan pembuktian untuk alat bukti sumpah decisoir adalah sempurna dan menentukan, serta harus dilakukan di depan persidangan dan pada hadapan pihak yang mengajukan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H