Bagi suami atau isteri, walaupun sudah bercerai, tidak dapat memberikan kesaksian berdasarkan Pasal 145 ayat (1) HIR dan 172 ayat (1) Rbg (Sudikno Mertokusumo, 2002).Â
Selanjutnya, ada saksi yang secara nisbi dianggap tidak mampu untuk memberikan kesaksian. Keterangan yang mereka berikan dapat didengarkan oleh hakim, akan tetapi tidak sebagai saksi, hanya sebatas keterangan tanpa harus disumpah (Pasal 145 HIR). Kategori saksi ini terdiri dari anak-anak dibawah umur berdasarkan Pasal 145 ayat (1) jo. ayat (4) HIR dan Pasal 172 ayat (1) jo. 173 RBg dan juga orang yang memiliki gangguan mental walaupun terkadang ingatannya terang berdasarkan Pasal 145 ayat (1) HIR dan Pasal 172 ayat (1) RBg.Â
Lalu, ada juga sekelompok orang yang atas permintaannya sendiri dibebaskan dari kewajiban memberi keterangan sebagai saksi berdasarkan Pasal 146 HIR, 174 RBg, dan 1909 KUHPerdata mengenai hak ingkar. Sekelompok orang ini terdiri dari saudara dan ipar dari salah satu pihak, keluarga sedarah menurut keturunan lurus dari salah satu pihak, dan setiap orang yang karena jabatan diwajibkan menjaga kerahasiaan seperti dokter, advokat, notaris, polisi, dan lainnya.Â
ALAT BUKTI PERSANGKAAN
Mengenai alat bukti persangkaan dibahas di HIR pada Pasal 173 dan dibahas lebih jauh lagi dalam KUHPerdata. Pasal 173 HIR yang berbunyi:
"Persangkaan saja yang tidak berdasarkan sesuatu peraturan perundang-undangan yang tertentu hanya harus diperhatikan oleh hakim waktu menjatuhkan keputusan, jika persangkaan itu penting, saksama, tertentu dan satu sama lain bersetujuan."
Dalam pasal a quo, persangkaan dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah apabila bersifat penting, seksama, tertentu dan juga terdapat kesesuaian dengan alat bukti lainnya.Â
Persangkaan sendiri dapat diartikan sebagai kesimpulan yang ditarik dari sebuah peristiwa yang dianggap terbukti dan telah diketahui (terang) ke suatu peristiwa yang belum terbukti (kabur). Untuk dianggap sebagai alat bukti, sebuah persangkaan tidak dapat terdiri dari satu persangkaan saja.Â
Menurut Subekti, asas Unus Testis Nullus Testis juga harus diberlakukan dalam persangkaan sehingga hakim saat memutus dilarang berdasarkan satu buah persangkaan saja. Pendapat subekti ini ditarik lebih jauh dari kata "satu sama lain bersetujuan" pada Pasal 173 HIR.Â
Berdasarkan pendapat Subekti juga, persangkaan dapat dibagi menjadi dua, yaitu persangkaan menurut undang-undang (praesumptiones juris) dan persangkaan Hakim (praesumptiones factie) (Yahya Harahap, 2007). Dasar hukum untuk persangkaan undang-undang diatur dalam Pasal 1916 KUHPerdata yang mendefinisikannya sebagai persangkaan yang ditentukan berdasarkan ketentuan khusus dalam undang-undang dihubungkan dengan suatu tindakan tertentu. Jadi, dalam persangkaan ini, undang-undanglah yang menghubungkan suatu peristiwa yang harus dibuktikan dengan peristiwa yang terang. Persangkaan berdasarkan undang-undang juga dapat dibagi menjadi dua, yaitu: