Mohon tunggu...
Prisca Yulanda
Prisca Yulanda Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kajian Pembuktian dalam Hukum Acara Perdata di Indonesia

6 Maret 2024   22:05 Diperbarui: 6 Maret 2024   22:19 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

TAHAP PEMBUKTIAN

Tahap pembuktian dalam proses beracara di pengadilan adalah tahap yang krusial karena berfungsi untuk menggali kebenaran dalam perkara yang diajukan. Dalam proses pembuktian, dalil para pihak akan diuji dan disandingkan guna menemukan titik terang sehingga hakim dapat menilai apakah perbuatan tersebut dapat ditindak secara hukum (Riawan Tjandra W., dan H. Chandera, 2001). 

Dalam Hukum Acara Perdata, telah diatur 5 alat bukti dalam Pasal 164 HIR, yaitu Alat Bukti Surat/Tulisan, Keterangan Saksi, Persangkaan, Pengakuan, dan Sumpah. Alat-alat bukti tersebut memiliki pengaturan yang lebih rinci dan kekuatan pembuktian yang berbeda-beda. Segala jenis alat bukti yang dapat dihadirkan oleh para pihak ke muka pengadilan pada akhirnya akan menjadi bahan pertimbangan dari hakim.

KLASIFIKASI ALAT BUKTI DALAM HUKUM ACARA PERDATA 

Dalam Pasal 164 HIR, disebutkan bahwa dalam acara perdata, terdapat lima alat bukti yang dapat diajukan oleh para pihak yang bersengketa, yakni alat bukti tertulis/surat, keterangan saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah. Kelima alat bukti tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam dua jenis berdasarkan sifatnya (Lonna Yohanes Lengkong, 2020):

  1. Alat Bukti Langsung (Direct Evidence)

Jenis alat bukti ini dapat secara fisik diajukan oleh para pihak yang bersengketa. Oleh karena itu, jenis alat bukti yang termasuk dalam klasifikasi ini secara nyata mempunya bentuk, serta disampaikan depan persidangan secara nyata dan konkret. Adapun yang dapat digolongkan ke dalam jenis alat bukti ini adalah surat/tulisan dan alat keterangan saksi. 

  1. Alat Bukti Tidak Langsung (Indirect Evidence)

Jenis alat bukti ini tidak bersifat fisik, akan tetapi berbentuk seperti kesimpulan dari persidangan yang dilakukan. Alat bukti yang dapat dikategorikan ke dalam jenis ini adalah persangkaan (vermoeden), pengakuan, dan sumpah. Ketiga jenis alat bukti ini sebenarnya tidak membuktikan secara langsung suatu dalil. 

Alat bukti persangkaan merupakan bentuk kesimpulan yang ditarik dari suatu kejadian yang terang ke yang gelap. Sedangkan alat bukti pengakuan tidak membuktikan suatu dalil, tetapi lebih mengarah kepada pembebasan lawan dari beban pembuktian suatu dalil. Sama dengan sumpah tidak memiliki fungsi pembuktian seperti halnya akta dan saksi, akan tetapi lebih kepada pernyataan kebenaran mengenai suatu hal yang dinyatakan dalam sumpah tersebut. 

ALAT BUKTI SURAT

Alat bukti surat diatur dalam beberapa pasal, yaitu Pasal 1866 ayat (1) KUHPer, Pasal 164 HIR, serta dalam Pasal 284 RBg (Fernando Lobis, 2017). Menurut Sudikno Mertokusumo, alat bukti surat sendiri dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang memuat tanda bacaan, berisi curahan hati atau buah pikiran, dan dibuat untuk tujuan pembuktian (Sudikno Mertokusumo, 2002). 

Secara garis besar, surat dapat dibagi menjadi surat berupa akta dan surat lainnya (bukan akta). Lebih jauh lagi, akta dapat dibagi menjadi akta di bawah tangan dan akta otentik yang dapat dibagi juga menjadi akta pejabat dan akta pihak. 

Surat sebagai akta sengaja dibuat untuk tujuan pembuktian bahwa suatu kejadian hukum telah dilakukan tanpa mempedulikan medianya. Artinya, pembuatan akta tidak selalu berarti bahwa bukti tersebut akan digunakan di persidangan (Deasy Soeikromo, 2014). Adapun persyaratan menurut Sudikno Mertokusumo untuk sebuah surat dikatakan sebagai akta, maka diperlukan adanya tanda tangan dari para pihak yang membuatnya yang berfungsi untuk identifikasi akta yang dibuat seseorang agar tidak dipalsukan oleh orang lain (H. Enju Juanda, 2016). 

Tanda tangan ini juga tidak bisa dilakukan oleh seseorang yang masih dianggap belum cakap untuk melakukan  perbuatan hukum. Jika hal ini dilanggar, maka perbuatan hukum tersebut dianggap sebagai tidak sah dan akta tersebut tidak dapat diajukan sebagai alat bukti. Mengenai tanda tangan dalam akta juga diatur dalam Pasal 1869 KUHPerdata. Surat sebagai akta dibagi menjadi akta otentik dan akta bawah tangan.

Akta otentik merupakan akta yang bentuknya telah diatur dan ditentukan undang-undang serta harus dibuat oleh pejabat yang telah diberi wewenang oleh penguasa dan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam undang-undang. Dalam Pasal 165 HIR, akta otentik diartikan sebagai surat yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang atas permintaan pihak yang berkepentingan.

 Inisiatif dalam pembuatan akta oleh pejabat yang berwenang berasal dari pejabat itu sendiri, contohnya adalah berita acara persidangan. Lain dengan hal tersebut, akta yang dibuat dihadapan pejabat yang berwenang inisiatifnya berasal dari para pihak dan contohnya adalah akta notaris untuk kegiatan jual beli . 

Akta ini dibuat untuk pembuktian bahwa suatu perbuatan hukum telah terjadi dan dapat digunakan sebagai alat bukti apabila di masa depan terdapat sengketa yang berhubungan dengan perbuatan hukum tersebut. Kekuatan pembuktian dari akta otentik adalah sempurna (volledig) dan mengikat (bindende). 

Walaupun begitu, tetap terdapat persyaratan untuk kekuatan pembuktian tersebut, yaitu harus dipenuhinya ketentuan dalam pembuatan akta dan tidak ada bukti dari pihak lawan yang dapat membuktikan lain dari akta tersebut sebagaimana yang diatur secara khusus dalam Pasal 138 HIR (H. Enju Juanda, 2016).

Akta bawah tangan di sisi lain merupakan akta yang dibuat oleh para pihak tanpa campur tangan pejabat dengan tujuan pembuktian. Akibatnya, kekuatan pembuktian akta bawah tangan hanya dapat menjadi sempurna seperti akta otentik apabila tanda tangan yang tercantum telah diakui oleh para pihak pembuat akta sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 Stbl 1867 Nomor 29. 

Apabila tanda tangan tersebut disangkal oleh pihak yang menandatangani, maka pihak yang mengajukan akta tersebut harus berusaha membuktikan kebenaran tanda tangan tersebut kepada hakim sehingga kekuatan pembuktiannya jadi tidak mengikat (tidak mempunyai kekuatan pembuktian lahir). Pengaturan lainnya mengenai akta bawah tangan tidak dapat ditemukan di HIR, akan tetapi terdapat dalam Pasal 286 -- Pasal 305 RBg untuk luar Jawa dan Madura serta dalam Pasal 1874 -- Pasal 1880 KUHPerdata (H.R. Benny Riyanto, 2021).

Selanjutnya untuk alat bukti surat lainnya yang bukan akta tidak diatur secara khusus dalam HIR dan RBg. Alat bukti surat bukan akta hanya disebutkan dalam Pasal 1874, 1881 dan 1883 KUHPerdata yang mengatur bentuk alat bukti surat bukan akta, yaitu dalam bentuk buku daftar (register), surat rumah tangga dan juga catatan yang dibubuhi oleh seorang kreditur pada suatu alas hak yang selamanya dipegangnya . 

Alat bukti surat jenis ini tidak sengaja dibuat sebagai alat bukti sehingga tidak selalu dibubuhi tanda tangan. Terhadap surat yang tidak termasuk akta ini tidak terdapat pengaturan khusus mengenai kekuatan pembuktian yang melekat pada surat tersebut sehingga kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada pertimbangan hakim (Sudikno Mertokusumo, 2002). 

Pada prakteknya, dalam persidangan banyak diajukan alat bukti surat berupa salinan atau fotokopi. Mengenai hal ini diatur dalam Putusan MA No. 3609 K/Pdt/1985 yaitu apabila surat asli dari fotokopi tidak pernah diajukan atau eksis , maka surat tersebut harus dikesampingkan sebagai alat bukti. Adapun Putusan MA No. 112 K/Pdt/1996 menyatakan bahwa fotokopi surat yang tidak dapat disertai dokumen aslinya dan tanpa diperkuat atai didukung  oleh keterangan saksi dan alat bukti lainnya tidak dapat digunakan sebagai alat bukti (Albert Aries,2013). 

ALAT BUKTI KETERANGAN SAKSI

Saksi adalah pihak yang memberikan keterangan di hadapan pengadilan mengenai apa yang mereka ketahui, lihat dan alami sendiri sehingga melalui kesaksian tersebut, suatu perkara menjadi jelas (Darwan Prinst, 1996). Dalam memberikan kesaksian, maka saksi akan memberikan penjelasan secara lisan dan pribadi (tidak dapat diwakili oleh pihak lain) di persidangan kepada hakim mengenai peristiwa yang disengketakan. 

Dalam hal apabila ada seorang saksi testimonium de auditu, yang berarti ia memberikan keterangan berdasarkan apa yang ia dengar dari orang lain, maka seharusnya kesaksian tersebut tidak dapat dipertimbangkan sebagai alat bukti saksi. Akan tetapi, dalam hal hakim merasa perlu, maka kesaksian tersebut dapat digunakan untuk menyusun persangkaan dan melengkapi keterangan saksi yang dapat dipercaya (Sudikno Mertokusumo, 2002). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kekuatan pembuktian keterangan saksi adalah bebas sesuai dengan kebijaksanaan hakim. 

Seperti halnya dengan Hukum acara Pidana, pada Hukum Acara Perdata juga diterapkan asas Unus Testis Nullus Testis yang berarti bahwa satu saksi bukanlah saksi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 169 HIR. Artinya, dalam membuktikan sesuatu dengan saksi, maka setidak-tidaknya harus ada minimal dua orang saksi. 

Dalam Pasal 171 HIR, agar keterangan seorang saksi dapat dianggap benar, maka saksi tersebut juga harus dapat menjelaskan sebab ia mengetahui peristiwa yang diterangkannya. Kekuatan pembuktian dalam hal alat bukti keterangan saksi tidak mengikat hakim. Dalam Pasal 172 HIR dijelaskan bahwa dalam pertimbangan mengenai dipercaya atau tidaknya suatu kesaksian, hakim harus mempertimbangkan kesesuaian antar-saksi dan juga dengan alat bukti lainnya yang diajukan. 

selain itu, yang perlu diperhatikan juga adalah mengenai hubungan kesaksian dengan perkara yang disengketakan, adat-istiadat dan martabat saksi, dan segala hal yang dapat dijadikan dasar dipercayai atau tidaknya suatu kesaksian. Apabila ada alasan bagi hakim untuk tidak mempercayai suatu kesaksian, maka hakim dapat menolak kesaksian tersebut.

Kewajiban yang dimiliki oleh orang yang dipanggil sebagai saksi dalam persidangan adalah wajib untuk menghadap, wajib untuk bersumpah, dan wajib untuk memberikan keterangan (H. Enju Juanda, 2016). Akan tetapi, terdapat beberapa golongan orang yang tidak diperbolehkan untuk bertindak sebagai saksi, yang secara umum dapat dibagi menjadi mereka yang dianggap tidak mampu secara mutlak dan yang tidak mampu secara nisbi. 

Mereka yang tidak mampu secara mutlak tidak diperbolehkan memberikan kesaksian kepada hakim. Saksi yang tidak mampu secara mutlak terdiri dari keluarga sedarah dan keluarga semenda menurut garis keturunan yang lurus. Pasal 145 ayat (1) HIR, Pasal 172 ayat (1) RBG, dan Pasal 1910 KUHPerdata memberi batasan tersebut karena mereka dianggap tidak objektif dalam memberikan kesaksian serta untuk menjaga hubungan keluarga yang baik. 

Akan tetapi, dalam Pasal 145 ayat (2) HIR, Pasal 172 ayat (2) RBg, dan Pasal 1910 KUHPerdata, kesaksian mereka tidak dapat ditolak dalam perkara yang menyangkut kedudukan keperdataan serta dalam perkara perjanjian kerja. Sebaliknya, dalam kasus pemberian nafkah dan pencabutan kekuasaan orang tua, mereka tidak dapat mengundurkan diri dalam memberikan kesaksian (Pasal 1910 KUHPerdata). 

Bagi suami atau isteri, walaupun sudah bercerai, tidak dapat memberikan kesaksian berdasarkan Pasal 145 ayat (1) HIR dan 172 ayat (1) Rbg (Sudikno Mertokusumo, 2002). 

Selanjutnya, ada saksi yang secara nisbi dianggap tidak mampu untuk memberikan kesaksian. Keterangan yang mereka berikan dapat didengarkan oleh hakim, akan tetapi tidak sebagai saksi, hanya sebatas keterangan tanpa harus disumpah (Pasal 145 HIR). Kategori saksi ini terdiri dari anak-anak dibawah umur berdasarkan Pasal 145 ayat (1) jo. ayat (4) HIR dan Pasal 172 ayat (1) jo. 173 RBg dan juga orang yang memiliki gangguan mental walaupun terkadang ingatannya terang berdasarkan Pasal 145 ayat (1) HIR dan Pasal 172 ayat (1) RBg. 

Lalu, ada juga sekelompok orang yang atas permintaannya sendiri dibebaskan dari kewajiban memberi keterangan sebagai saksi berdasarkan Pasal 146 HIR, 174 RBg, dan 1909 KUHPerdata mengenai hak ingkar. Sekelompok orang ini terdiri dari saudara dan ipar dari salah satu pihak, keluarga sedarah menurut keturunan lurus dari salah satu pihak, dan setiap orang yang karena jabatan diwajibkan menjaga kerahasiaan seperti dokter, advokat, notaris, polisi, dan lainnya. 

ALAT BUKTI PERSANGKAAN

Mengenai alat bukti persangkaan dibahas di HIR pada Pasal 173 dan dibahas lebih jauh lagi dalam KUHPerdata. Pasal 173 HIR yang berbunyi:

"Persangkaan saja yang tidak berdasarkan sesuatu peraturan perundang-undangan yang tertentu hanya harus diperhatikan oleh hakim waktu menjatuhkan keputusan, jika persangkaan itu penting, saksama, tertentu dan satu sama lain bersetujuan."

Dalam pasal a quo, persangkaan dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah apabila bersifat penting, seksama, tertentu dan juga terdapat kesesuaian dengan alat bukti lainnya. 

Persangkaan sendiri dapat diartikan sebagai kesimpulan yang ditarik dari sebuah peristiwa yang dianggap terbukti dan telah diketahui (terang) ke suatu peristiwa yang belum terbukti (kabur). Untuk dianggap sebagai alat bukti, sebuah persangkaan tidak dapat terdiri dari satu persangkaan saja. 

Menurut Subekti, asas Unus Testis Nullus Testis juga harus diberlakukan dalam persangkaan sehingga hakim saat memutus dilarang berdasarkan satu buah persangkaan saja. Pendapat subekti ini ditarik lebih jauh dari kata "satu sama lain bersetujuan" pada Pasal 173 HIR. 

Berdasarkan pendapat Subekti juga, persangkaan dapat dibagi menjadi dua, yaitu persangkaan menurut undang-undang (praesumptiones juris) dan persangkaan Hakim (praesumptiones factie) (Yahya Harahap, 2007). Dasar hukum untuk persangkaan undang-undang diatur dalam Pasal 1916 KUHPerdata yang mendefinisikannya sebagai persangkaan yang ditentukan berdasarkan ketentuan khusus dalam undang-undang dihubungkan dengan suatu tindakan tertentu. Jadi, dalam persangkaan ini, undang-undanglah yang menghubungkan suatu peristiwa yang harus dibuktikan dengan peristiwa yang terang. Persangkaan berdasarkan undang-undang juga dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

  1. Praesumptiones juris tantum, yang berarti persangkaan yang memungkinkan pembuktian lawan; dan

  2. Praesumptiones juris et de jure, yang berarti persangkaan yang tidak memungkinkan pembuktian lawan (Sudikno Mertokusumo, 2002).

Adapun jenis persangkaan ini dijelaskan dalam pasal 1916 KUHPerdata, sebagai berikut:

  1. Perbuatan yang oleh undang-undang dinyatakan batal, karena semata-mata demi sifat dan wujudnya dianggap telah dilakukan untuk menyelundupkan hukum;

  2. Perbuatan yang oleh undang-undang diterangkan bahwa hak milik dan pembebasan utang disimpulkan dari suatu keadaan tertentu;

  3. Kekuatan yang oleh undang-undang diberikan pada suatu putusan hakim yang sudah berkekuatan hukum tetap;

  4. Kekuatan yang oleh undang-undang diberikan kepada pengakuan serta sumpah salah satu pihak.

Persangkaan ini memiliki limitasi dan segala kondisi yang telah diatur dalam undang-undang tersebut harus dipenuhi agar dapat dianggap sebagai alat bukti persangkaan. Dalam hal kekuatan pembuktian untuk persangkaan undang-undang bersifat sempurna, mengikat, dan memaksa sehingga hakim harus menjadikan kebenaran yang melekat pada persangkaan undang-undang sebagai dasar pengambilan putusan (Michael Agustin, 2019). 

Contoh dari persangkaan berdasarkan undang-undang ini adalah dalam Pasal 1394 KUHPerdata ditentukan bahwa tuga kwitansi terakhir sudah dapat membuktikan suatu perbuatan hukum, kecuali dalam hal pihak lawan dapat membuktikan sebaliknya.

Selanjutnya, ada juga yang disebut persangkaan hakim atau persangkaan yang tidak berdasarkan undang-undang atau persangkaan berdasarkan kenyataan karena biasanya didasarkan pada kenyataan atau fakta (Sovia Hasanah, 2018). Persangkaan hakim sendiri diatur dalam Pasal 1922 KUHPerdata. 

Persangkaan jenis ini diserahkan kepada pertimbangan dan kebebasan hakim untuk menyimpulkan suatu persangkaan tertentu dengan cara memutuskan berdasarkan kenyataan sebesar dan sejauh apa suatu kemungkinan terjadi dengan membuktikan peristiwa lain. Dalam persangkaan hakim, yang diperhatikan hanyalah persangkaan yang penting, tertentu, dan telah dengan teliti disesuaikan dengan persangkaan lainnya. 

Dalam penggunaannya, persangkaan ini hanya dapat digunakan hakim saat undang-undang tidak melarang pembuktian yang didapatkan dari keterangan saksi. Artinya, persangkaan ini bersumber dan datang setelah adanya alat bukti surat dan saksi terlebih dahulu dan melalui kedua alat bukti tersebut dapat diperoleh suatu kesimpulan yang akan menjadi alat bukti persangkaan. 

Ada dua unsur yang dapat membentuk suatu persangkaan hakim, yaitu unsur yang sudah terbukti dan diketahui serta unsur akal atau intelektualitas. Kedua faktor ini saling berhubungan dengan satu sama lain dan tidak dapat berdiri sendiri. Dalam pembentukan persangkaan hakim, maka dirinya akan melihat fakta prosesuil yang dapat dijadikan unsur utama persangkaan hakim. 

Selanjutnya, sang hakim akan menggunakan akalnya untuk menarik kesimpulan yang berupa fakta, wujud, atau niat dari suatu kejadian (Sudikno Mertokusumo, 2002). Contoh penerapannya dalam persidangan adalah kesimpulan hakim untuk memutus perkara gugatan cerai atas dasar perzinahan.

ALAT BUKTI PENGAKUAN

Alat bukti pengakuan diatur dalam Pasal 174-176 HIR dan Pasal 311 RBg. Pengakuan masih banyak diperdebatkan oleh ahli hukum karena dianggap bukan alat bukti walaupun secara tegas telah disebutkan sebagai alat bukti dalam Pasal 164 HIR. Menurut para ahli, apabila dalil salah satu pihak telah diakui pihak lain, maka tidak ada keperluan untuk tetap dibuktikannya dalil tersebut. 

Dengan telah diakuinya suatu perbuatan, maka terbukalah kemungkinan hakim untuk memberikan pendapatnya dari hal yang diakui sehingga tidak ada kewajiban membuktikan untuk para pihak yang mendalilkan (Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, 1997).

Dalam Hukum Acara Perdata, dikenal dua jenis pengakuan, yaitu pengakuan yang dilakukan di hadapan persidangan dan yang dilakukan di luar persidangan. Pengakuan di depan persidangan dapat dilakukan secara lisan maupun tertulis dengan tegas dan dapat membenarkan baik sebagian maupun seluruhnya dari suatu peristiwa atau hal yang diajukan sehingga pada akhirnya tidak diperlukan pemeriksaan dan pembuktian lebih lanjut terkait hal tersebut. 

Terkait alat bukti pengakuan, dijelaskan dalam Pasal 311 RBg, "pengakuan yang dilakukan di depan hakim merupakan bukti lengkap, baik terhadap yang mengemukakannya secara pribadi, maupun lewat seorang kuasa khusus." Pengakuan yang dilakukan di depan persidangan harus memperhatikan prinsip kehati-hatian karena apa yang telah disampaikan tidak dapat ditarik kembali kecuali si pengaku dapat membuktikan bahwa pengakuan tersebut adalah didasarkan kekhilafan tentang fakta sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1926 KUHPerdata. 

Selanjutnya, dalam Pasal 174 HIR pengakuan dianggap memiliki kekuatan pembuktian yang mengikat dan sempurna. Pasal 1916 KUHPerdata juga menambahkan bahwa pengakuan bersifat menentukan dan tidak dapat dibuka kemungkinan untuk adanya bukti lawan. Oleh karena itu, hakim terikat oleh apa yang telah diakui oleh para pihak yang berperkara dan pengakuan tersebut harus dianggap benar sehingga putusan harus didasarkan pada alat bukti pengakuan ini. 

Lalu, pengakuan yang dilakukan di luar persidangan merupakan keterangan yang diberikan pihak untuk membenarkan pernyataan dalil yang dibenarkan oleh lawannya dan dapat juga dilakukan secara lisan maupun tulisan (H. Enju Juanda, 2016). Perbedaan antara pengakuan di dalam dan di luar pengadilan terletak pada kekuatan pembuktiannya. 

Pengakuan di dalam persidangan bersifat mengikat dan sempurna, sedangkan pengakuan yang dilakukan di luar persidangan kekuatan pembuktiannya kembali diserahkan pada kebijaksanaan hakim (kekuatan pembuktian bebas). Pengakuan di luar sidang dan dilakukan secara tertulis tidak harus dibuktikan lagi tentang eksistensi pengakuan tersebut. 

Sebaliknya, apabila pengakuan di luar persidangan tersebut adalah secara lisan, maka agar dapat dianggap terbukti mengenai eksistensi pengakuan tersebut harus dibuktikan lebih lanjut dengan adanya saksi atau alat bukti lain. Perbedaan lainnya adalah pengakuan di luar persidangan ini dapat ditarik kembali (Sudikno Mertokusumo, 2002).

Dalam Hukum Acara Perdata, terdapat tiga jenis pengakuan yang dikenal, yaitu pengakuan murni, pengakuan dengan klausul, dan juga pengakuan dengan kualifikasi. Pengakuan murni (aveu pur et simple) adalah pengakuan paling sederhana dan mengakui sepenuhnya tuntutan yang diajukan oleh pihak lawan. 

Contohnya apabila pihak penggugat telah menyatakan bahwa tergugat telah melakukan jual beli tanah di Jakarta dengan harga sekian, maka dalam pengakuan tergugat adalah ia membeli tanah tersebut di Jakarta dengan harga sekian pada penggugat (Sudikno Mertokusumo, 2002). 

Selanjutnya adalah pengakuan dengan klausula (aveu complexe) yang berarti pengakuan yang diikuti dengan keterangan yang memiliki sifat membebaskan. Contoh dari pengakuan ini adalah bahwa pihak penggugat menyatakan bahwa tergugat membeli tanah di Jakarta dengan harga sekian, maka pengakuan tergugat adalah betul ia telah membeli tanah di Jakarta dengan harga sekian dan ditambahkan keterangan bahwa bahwa harga tersebut telah ia bayar lunas. 

Kesimpulannya, jenis pengakuan ini adalah mengakui apa yang diajukan pihak lawan, akan tetapi disertakan keterangan yang bersifat menolak apa yang diajukan oleh lawan tersebut (Sudikno Mertokusumo, 2002).

Jenis pengakuan yang terakhir adalah pengakuan dengan kualifikasi (aveu qualifie). Pengertiannya adalah pengakuan yang diikuti dengan keterangan berupa sangkalan terhadap sebagian dari tuntutan yang diajukan oleh pihak lawan. Contohnya adalah bahwa pihak penggugat menyatakan bahwa pihak tergugat telah membeli tanah di Jakarta dengan harga sekian, maka pengakuan pihak tergugat adalah bahwa betul ia membeli tanah di Jakarta kepada penggugat, akan tetapi dengan harga yang berbeda dari yang dinyatakan oleh pihak penggugat. 

Jadi, pada jenis pengakuan ini, ada sebagian pengakuan dan diikuti dengan sangkalan terhadap sebagian dari apa yang diajukan oleh pihak lawan. 

Pengakuan dapat juga diklasifikasi menjadi pengakuan murni dan pengakuan berembel (pengakuan dengan kualifikasi dan pengakuan dengan klausula) (Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, 1997). Pengakuan berembel-embel harus diterima oleh hakim tanpa adanya pemisahan atau pengurangan keterangannya berdasarkan Pasal 176 HIR. Hal ini disebut juga sebagai asas onsplitsbare aveu. 

ALAT BUKTI SUMPAH

Alat bukti sumpah sendiri diatur dalam Pasal 155-158 dan Pasal 177 HIR dan juga Pasal 182-183 RBg. Alat bukti ini adalah upaya terakhir apabila alat bukti lainnya tidak dapat lagi diusahakan. Apabila masih dapat diupayakan alat bukti lainnya, maka sumpah akan dikesampingkan penggunaannya. 

Sumpah sendiri diartikan sebagai penyataan religius dan berdasarkan sifat Maha Kuasa Tuhan YME bahwa keterangan yang salah akan dihukum oleh-Nya, yang diucapkan saat memberikan suatu janji atau keterangan (Sudikno Mertokusumo, 2002). 

Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa sumpah dapat dibagi menjadi dua, yaitu sumpah promissoir dan juga sumpah assertoir. Sumpah promissoir adalah sumpah yang diberikan oleh salah satu pihak untuk melakukan ataupun tidak melakukan sesuatu. Sumpah yang dilakukan oleh saksi dan ahli sebelum menyampaikan kesaksian atau keterangannya dalam persidangan adalah jenis sumpah yang ini. Sumpah ini pada umumnya menyatakan bahwa pernyataan yang akan disampaikan olehnya dalam kesaksian adalah yang sebenar-benarnya.

Berbeda dengan sumpah promissoir, sumpah assertoir atau dapat juga disebut sebagai sumpah confirmatoir adalah sumpah untuk mengkonfirmasi benar tidaknya suatu keterangan. Sumpah ini adalah sumpah yang dapat digunakan sebagai alat bukti karena sifat meneguhkannya (Sudikno Mertokusumo, 2002). 

Dalam Hukum Acara Perdata juga dikenal tiga jenis sumpah sebagai alat bukti yang terbagi menjadi sumpah pelengkap (suppletoir), sumpah penaksiran (aestimatoir), dan sumpah pemutus (decisoir) (Sudikno Mertokusumo, 2002). Sumpah pelengkap lebih dalam diatur dalam Pasal 155 HIR dan Pasal 182 RBg. Pengertian dari sumpah pelengkap adalah sumpah yang diperintahkan oleh hakim kepada salah satu pihak atas dasar jabatannya guna melengkapi pembuktian peristiwa dijadikan hakim sebagai dasar putusannya. 

Sumpah ini tidak bersifat wajib diberikan, akan tetapi lebih kepada sebuah bentuk kewenangan yang diberikan oleh hakim untuk membebankan kepada para pihak. Pada dasarnya, untuk dapat dilakukannya sumpah pelengkap, harus ada bukti permulaan terlebih dahulu yang dianggap belum cukup, akan tetapi tidak memungkinkan didukung oleh alat bukti lain sehingga cara terakhir untuk mendukungnya adalah melalui sumpah pelengkap. 

Sehingga, pada akhirnya bila bukti permulaan yang tadinya tidak cukup dapat dijadikan dasar putusan oleh hakim karena telah didukung oleh alat bukti sumpah pelengkap. Jenis sumpah ini memiliki fungsi menyelesaikan perkara sehingga kekuatan pembuktiannya dianggap sempurna, akan tetapi masih terbuka kemungkinan untuk dibantah dengan pembuktian dari pihak lawan. Bila hakim memberikan beban sumpah pelengkap ini kepada salah satu pihak, pihak tersebut berhak untuk menolak atau menerima (H. Enju Juanda, 2016).

Adapun bentuk sumpah selanjutnya yaitu sumpah penaksiran yang diatur dalam Pasal 155 HIR, Pasal 182 RBG, dan Pasal 1940 KUHPerdata. Pengertian dari sumpah penaksiran adalah sumpah yang diperintahkan hakim atas dasar jabatannya kepada pihak penggugat untuk menentukan nominal ganti kerugian. 

Sumpah ini hanya dapat dibebankan kepada penggugat saat kesalahan pihak tergugat telah terbukti, akan tetapi jumlah kerugian yang dituntut sulit dihitung secara nominal dan bentuknya. Sumpah penaksiran ini pada dasarnya berguna untuk menentukan jumlah besaran ganti rugi yang harus dibayarkan tergugat. Sama seperti sumpah pelengkap, sumpah penaksiran memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna, walaupun masih dapat dibuktikan lain oleh pihak lawan (H. Enju Juanda, 2016). 

Jenis sumpah yang terakhir adalah sumpah pemutus atau disebut juga sebagai sumpah decisoir yang diatur lebih jelas dalam Pasal 156, 157, dan 177 HIR. Pengertian dari sumpah ini adalah sumpah yang diajukan dari satu pihak dengan hakim sebagai pengantara kepada pihak lawannya dengan tujuan menggantungkan pemutusan perkara yang sedang diadili. 

Disebut sebagai sumpah penentu karena sumpah ini harus dilakukan sungguh-sungguh dan dapat mengakhiri perkara sebagai upaya terakhir. Inisiatif untuk sumpah ini bukan berasal dari hakim melainkan dari pihak sehingga berbeda dengan dua sumpah sebelumnya. Pihak yang mengajukan juga wajib menyusun rumusan sumpahnya. 

Pengajuan sumpah ini dapat diartikan sebagai bentuk pelepasan hak dan pihak pengaju pengakuan rela untuk dikalahkan apabila pihak lawannya berani bersumpah. Bentuk sumpah ini juga dapat dikembalikan dan dituntutkan kepada pihak yang tadinya mengajukan (H. Enju Juanda, 2016). 

Kesimpulannya, dalam jenis sumpah pemutus ini, siapa yang berani melakukan sumpah atas inisiatif dan permohonan dari pihak lawannya akan memenangkan sengketa dan perkara itu akan selesai dengan sendirinya. Sebaliknya, jika ia menolak melakukan sumpah, ia akan dikalahkan. Kekuatan pembuktian untuk alat bukti sumpah decisoir adalah sempurna dan menentukan, serta harus dilakukan di depan persidangan dan pada hadapan pihak yang mengajukan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun