Aku bisa saja mengatakannya terus terang, tetapi aku terlalu takut untuk patah hati yang nyata hingga memilih jadi pecundang. Aku terlalu sadar diri untuk memilikinya. Dia yang sempurna dan aku yang serba kekurangan. I'm not perfect. Inginku rasa ini enyah, tetapi malah semakin kukuh. Harapku rasa ini menyingkir, tetapi malah semakin menggelegar.
Lihat dia, Farah! Menjadi pusat perhatian, sedangkan aku adalah barisan yang mungkin adalah pilihan terakhirnya di antara barisan pilihan yang ada. Aku selalu menekankan hati ... jika aku tulus mencintainya, maka aku akan tegar bila melihat dia mencintai orang lain."
Rasa itu akhirnya aku suarakan juga, Farah memang pendengar yang baik. Dia usap punggung tanganku dengan tetap tersenyum memotivasi. Kadang, kisah cinta memang sepelik itu. Sebagian orang memilih mencintai dalam diam, sebagian pula memilih mengungkapkan terus terang dengan segala kemungkinan buruknya.
Dan, aku berada di bagian pertama. Aku rasa, percuma dia tahu perasaanku padanya. Aku takut dia semakin menjauh hingga tidak bisa aku gapai. Cukup sudah beberapa masalah membuat kami cukup jauh, jangan sampai rasaku membuatnya semakin lebih jauh lagi. Aku memang bodoh, katakan saja begitu, mencintai dia semakin hebat yang padahal dia sering mengabaikan hadirku.
Tiga tahun lamanya memupuk rasa, hingga mekar bunga-bunga rindu dan cinta, tidak pernah layu ... merekah sepanjang waktu. Aku pilu karena aku tiada jua bisa membunuh rasa di dada. Aku selemah itu, dijajah rasa yang tidak bisa aku suarakan. Bila disuarakan, maka bunga-bunga itu tidak akan pernah dihargai.
"Kak, cinta bukan perihal siapa yang memupuk rasa lebih lama, tetapi tentang siapa yang digariskan takdir untuk bersama dengan kita. Jika saja Kak Naina mengungkapkan rasa Kakak kepadanya, lalu dia memilih menjauh dan menghindar, boleh jadi dia bukan yang tepat untuk Kakak. Kadang diam jauh lebih baik, mendoakan dia di setiap waktu untuk menjadi milik kita.
Bila pada akhirnya yang kita sebut namanya dalam lafaz doa bukanlah yang akan kita aminkan doanya kelak, berarti akan ada orang lain yang akan kita cintai lebih besar lagi, lebih hebat lagi, begitu pula dengan dia kepada kita. Tugas kita sekarang adalah mencintai, meyakinkan hati bahwa kita adalah sosok yang mampu mencintai sepenuh hati."
*
Aku hanya belum terima, mengapa aku semakin besar mencintai dia yang bahkan menganggap aku tiada? Seharusnya rasa ini berkurang untuk akhirnya hilang. Sudahlah, rindu menang, dan usaha melupakan kalah. Aku terima, aku akan terus menyimpan rasa ini. Aku akan berusaha menjaga rasa ini, agar kelak bisa aku berikan kepada yang lebih pantas menerima.
Cintaku padanya mungkin tidak berlebihan, terkesan seawajarnya saja. Aku harap memang begitu. Aku sering bertanya-tanya, adakah dia memikirkan aku sebanyak aku memikirkan dia? Adakah dia merindukan aku sesering aku merindukan dia? Adakah dia mengharapkan aku sebanyak aku mengharapkan dia dalam bait-bait doaku?
Adalah aku yang sering melempar tanya pada pekatnya malam tanpa lentera. Menggantung harapan-harapan dalam relung angin, semoga tersampaikan pada Sang Pencipta. Kemudian, ketika malam terlelap ... aku mulai bertanya-tanya, apa yang diinginkan hati sebenarnya?